Hari pemeriksaan akhir untuk tabib Hasanah sudah mulai dilaksanakan. Namun sampai saat ini tabib itu belum dayang juga. Hal itu membuat semua kebingungan karena menunggu.
Sementara Ningtyas sangat gelisah. Gadis itu kini diperintahkan untuk ikut menghadiri persidangan akhir. Meskipun hatinya yang tak kuasa melihat sang kakak diperlakukan tak baik, makin ia merasa harus melakukannya "apakah anda baik-baik saja Ning?"
"Aku baik baik saja Ranu. Meksipun begitu, sebenarnya hatiku tak kuat. Aku tak kuasa saat melihat kakakku yang di ikat, dan ketika semua orang menganggapnya sebagai pengkhianat"
"Jika tak kuat, alangkah lebih baik tak usah ikut menghadirinya...."
"tidak Ranu, aku harus berada disana. Karena di hari ini juga, aku akan mengatakan kebenaran tentang putra mahkota"
"Anda sungguh akan mengatakannya dihari ini juga. Apakah anda tak ingin menunggu sampai cucu dari mendiang raja Mahardika ditemukan...."
"Aku tak punya banyak waktu Ranu. Jika aku tenang dan tetap menunggu, maka besar kemungkinan kakakku tak akan selamat. Aku tak ingin kehilangan keluargaku untuk yang kedua kalinya. Aku sudah tak mempunyai siapa-siapa lagi selain kakakku, jadi sebisa mungkin aku harus melindungi satu-satunya keluargaku yang masih tersisa"
Semua orang sudah hadir di ruangan sidang, namun Hasanah masih belum terlihat juga "Ranu, kira-kira apa yang terjadi sehingga kakakku tidak datang"
"Jika anda khawatir, saya akan mengecek langsung ke lokasi penjara" namun belum sempat ia pergi, salah seorang prajurit dari penjara datang dan membawa sebuah kabar. Sebuah kabar yang membuat semua orang terkejut, apalagi Ningtyas.
"Apa yang kau katakan tadi?" Ucap ratu Mentari yang masih tak percaya.
"Benar ratu, tersangka telah bunuh diri dengan meminum sebuah botol yang sudah beracun"
Mendengar hal itu, hati Ningtyas terasa sangat hancur. Meskipun begitu, ia tak bisa jika harus diam disini "aku harus memastikannya sendiri"
"Kau hendak pergi kemana?"
Pertanyaan itu tak ia jawab. Gadis itu tetap berlari meskipun banyak orang memperhatikan dirinya. Sekuat tenaga ia berlari menuju penjara. Belum sampai pintu masuk, ia sudah melihat hal yang sama sekali masih belum ia sangka. Ia berjalan dengan tertatih-tatih ke arah jasad kakaknya. Kakinya itu mendadak lemas. Ia bahkan terjatuh tepat di samping kakaknya "kakak"
Ningtyas dengan pelan mengelus lembut pipi jasad kakaknya. Hari dimana ia kira akan bisa membongkar sebuah kejahatan, ternyata menjadi jari yang sedih baginya "kakak tidak boleh pergi. Kakak harus tetap disini"
Gadis itu beralih memeluk tubuh itu sembari dirinya yang menangis sabagt keras.
"Ningtyas, apapun yang terjadi jangan pernah lelah untuk berjuang. Kau harus bisa menjadi orang yang kuat, sehingga bisa melawan orang-orang yang berusaha menyakitiki dirimu. Kakak akan lebih tenang jika kau sudah mempunyai pendirian seperti ini. Karena jika kelak kakak meninggalkan mu, sudah tak ada lagi yang kakak khawatirkan"