Guruku Ternyata G 49

924 85 0
                                    

Tristan jalan-jalan ke mall; berniat ingin membeli beberapa stel pakaian kerja, dan sehari-hari. Tristan pun tidak sengaja menoleh ke depan sana. Di sana ada Hardinata, batin Tristan. Dia berjalan bersama beberapa orang pria. Kalau dilihat dari cara Hardinata berinteraksi dengan pria-pria itu—sudah pasti ini tidak jauh-jauh dari masalah bisnis. Tristan pun tersenyum penuh siasat.

Setengah jam kemudian. Saat Hardinata hendak membuka pintu mobil; tiba-tiba seseorang meraih pergelangan tangannya. “Kamu?!“ seru Hardinata kaget sambil mengernyitkan alis. Tristan tersenyum dengan wajah tanpa dosa. Ia pun menarik pergelangan tangan Hardinata dan mendorongnya masuk ke dalam mobil (baca: mobil Tristan). Hardinata marah. Tristan ini selalu saja berbuat seenaknya. “Jangan protes! Kalo nggak mau video itu kesebar,“ ucap Tristan mengancam.

Hardinata mendengus sambil memutar bola mata malas. Tristan ingin membawa Hardinata ke suatu tempat yang sangat indah—dijamin Hardinata pasti akan menyukainya; sebagaimana Tristan juga menyukai tempat itu. Hardinata memijit pelipisnya yang sama sekali tidak sakit; ia pun menoleh ke samping. “Bisa nggak kamu tuh hormat sedikit sama orang lain, hah?“ ucap Hardinata ketus. Hardinata juga harus kembali ke kantor—tapi apa? Hardinata malah diculik.

Setelah mengendarai mobil selama 23 menit dari Mall Cipinang Indah; akhirnya Hardinata dan Tristan pun tiba di Planetarium Jakarta—yang berlokasi di Menteng, Jakarta Pusat. Planetarium Jakarta adalah sebuah bangunan yang dijadikan tempat untuk pameran dan simulasi benda-benda langit seperti: bintang, planet, meteor, dan lain-lain. “Bisa lepasin nggak?“ protes Hardinata saat Tristan terus saja menggenggam tangan Hardinata sedari tadi; seolah-olah Hardinata bisa kabur kapan saja. “Nggak bisa,“ sahut Tristan. Lalu, ia dan Hardinata pun memasuki sebuah ruangan teater; ruangan ini dibuat seperti bioskop dengan langit-langit berbentuk seperti kubah; layar di teater ini diposisikan di langit-langit sehingga membuat para penonton seolah-olah melihat pemandangan asli luar angkasa.

Hardinata risih; Tristan terus saja menggenggam tangannya seperti seorang ibu menggenggam tangan anaknya. Hei! Hardinata itu bukan anak kecil lagi! Tristan tentu saja tidak peduli akan hal itu. Ia juga sempat mengerling sedikit; Hardinata terlihat sangat kesal dan marah. Tristan pun mengulum senyum. Paling-paling sebentar lagi Hardinata akan berdecak kagum, batin Tristan.

Pertunjukan teater pun dimulai. Hardinata terkejut. Bagaimana bisa ada tempat seindah ini? Ke mana saja aku selama ini?, batin Hardinata. Tempat ini benar-benar sangat indah dipandang mata. Serasa seperti berada di luar angkasa benaran. Tristan menoleh, lalu tersenyum, saat ia melihat Hardinata terlihat menikmati pertunjukan ini. “Pak CEO?“ seru Tristan. Hardinata sama sekali tidak mendengar. “Pak CEO!“ seru Tristan lagi. Saat Hardinata menoleh ke samping; Tristan pun langsung mengecup bibir Hardinata sekilas. Hardinata pun membelalakkan mata—antara kesal dan terkejut bercampur jadi satu. Tristan? Dia cuma tersenyum saja.

Setelah menonton pertunjukan teater selama kurang lebih satu jam—Tristan pun mengajak Hardinata menjelajah Galeri Astronomi di sini; tempat yang dibuat seperti terowongan; ia dan Hardinata jalan berdua tanpa melepaskan genggaman tangan itu sama sekali. Sepanjang galeri ini; kita akan disambut oleh benda-benda dan peralatan astronomi seperti: gambar-gambar bintang, pecahan baru meteor, hingga baju astronot. Bahkan di sini juga ada koleksi meteorit—yang pernah jatuh di Indonesia pada tahun 1975.

Hardinata dan Tristan pun tiba di Teleskop Observatorium setelah puas menyisiri galeri terowongan. Disana ada beberapa jenis teleskop dengan diameter lensa yang berbeda-beda. Di sini lah saat di mana Tristan melepaskan genggamannya, dan mulai menceritakan asal mulai dibangunnya gedung ini. “Dulu gedung ini tuh dibangun sekitar tahun 1964—digagas langsung oleh presiden pertama Indonesia, yaitu Bapak Ir. Soekarno. Setelah empat tahun dibangun, baru diresmiin trus diserahin deh pengelolaannya ke pemda DKI; sekitar tahun 1968 an,“ ucap Tristan menjelaskan. Sebagai seorang dosen—tentu saja Tristan memiliki pengetahuan yang sangat luas. Tristan memang cuma lulusan S1 saja. Tapi, kecerdasan yang ia miliki setara dengan orang-orang lulusan S2 dan S3.

Guruku Ternyata GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang