Suasana hangat di pagi hari cuma ilusi semata. Sebab mulai dari pagi hingga malam hari, lalu ber-temu pagi lagi. Cuma ada ber-batuan es serta panas bara api. Satu hati berharap dengan pasti dan berani. Satu hati lagi malah terbakar, lalu mendingin hingga mengeras bagai batu di pegunungan. “Daru,“ gumam Djaka. Sebab ia tiada mau ber-bicara sepatah kata—pun jikalau Djaka tidak ber-bicara lebih dulu. Goresan di hati oleh belati masih basah—pun belum jua mengering—atau mungkin tidak akan pernah mengering.
Daru menikmati menu sarapan sederhana ia di pagi hari sambil menonton film daripada harus ber-bicara dengan Djaka. Daru diam menunggu si bengal bicara. “Daru? Tadi abang dapet telepon dari rumah. Mama nggak mau makan,“ ucap Djaka. Daru menghela nafas, lalu menoleh pada Djaka. “Trus, sangkut pautnya sama gue apa, bang?“ sahut Daru sarkasme. Putusan soal memisahkan diri dari keluarga Bramantio sudah bulat. Daru akan meniti kehidupan ini pelan-pelan sendiri. Berdiri di atas duri-duri nan tajam sendiri. Biarlah semua itu berlalu hingga lapang dada ia dapat suatu saat nanti.
“Sempetin buat jengukin mama—“
“Jengukin Bu Idah? Biar apa? Biar Bu Idah bisa gue suapin gitu? Toh, Bu Idah punya tangan, kan? Nggak perlu gue musti ke sana juga?“
“Daru,“
Djaka merasa jikalau Daru sudah sangat keterlaluan pada orang tua sendiri. Bagaimana bisa dia ber-sikap begitu? Jangan bilang ia lupa jikalau sang ibunda telah mengandung ia sembilan bulan sembilan hari? Djaka mengerutkan dahi. Jangan sampai Djaka tersulut emosi. Djaka mengingat kembali pesan dari Didin. Didin ber-ucap, “Turuti apapun mau Daru, dan jangan biarin dia patah.“. Djaka menatap Daru dalam diam. Djaka takut jikalau ia langsung bicara, maka yang keluar hanyalah amarah ber-ujung pertengkaran.
“Jangan lupa abisin salad buah sama susunya,“ ucap Djaka.
Djaka berusaha meredam emosi dalam dada. Daru tertegun, dan sempat mengira jikalau Djaka akan memaksa ia seperti biasa, tetapi beruntung Djaka tidak membahas masalah itu lebih lanjut sehingga Daru tidak perlu membuang-buang tenaga ia ber-debat dengan suami bengal seperti Djaka. Suami? Heh, persetan soal suami, batin Daru. Di mata ia; Djaka teramat hina. Di hati ia; Djaka teramat dibenci. Betapapun deras hujan yang turun, tiada mampu membuat debu-debu di tiap relung hati Daru sirna—apalagi membuat rasa benci itu tiada. Sungguh mustahil.
Di mana lagi tempat bagi Daru untuk ber-sandar? Didin dan Idah telah mengatur seluruh jalan hidup tanpa Daru bisa memilih. Bisa jadi Djaka adalah satu-satunya orang bagi Daru untuk ber-sandar dan ber-keluh kesah. Daru benci fakta ini. Daru menatap Djaka nanar. “Gue benci ortu gue, bang. Terlepas dari lu siapa buat gue saat ini. Lu nggak boleh nemuin ortu gue ato ortu lu tanpa se-pengetahuan gue,“ ucap Daru. Djaka tidak memberi tanggapan apapun, dan cuma fokus menghabiskan sarapan ia saja. Daru terus memandangi Djaka. Iba? Bisa jadi.
Hembusan angin ber-desir menandakan sepi di hati. Gersang bentala rasa. Cinta itu cuma derita bagi ia terpenjara. Pepohonan itu ber-jejer rapi sebagai pondasi, tetapi tumbang sekejap oleh amarah dalam sendu mulai membara, dan membumbung tinggi. Diam? Berontak? Semua sama saja. Dua tangan ia bagai diborgol. Dua kaki ia bagai dijerat oleh rantai besi. Bebas. Saat ini sang burung merpati memang telah bebas mengudara setelah sekian lama dikurung oleh tuan ia sendiri.
Bagaimana dengan hati? Se-gumpal daging itu tiada mampu ber-dusta, meski cuma se-tetes saja. Jujur. Saat rasa perih, pilu, dan derita itu ber-satu malah mengundang hampa tanpa ujung, dan tanpa akhir. Daru merasa begitu hampa. Di depan jalan menuju asa sana; Daru melihat seorang pangeran rela mengulurkan tangan; menunggu Daru menggenggam tangan itu, lalu keluar dari penjara ini bersama-sama. Djaka lah sang pangeran—pun rela berdiri di atas duri nan lancip tertancap hingga membuat tapak kaki ia terluka.
Betapapun terjal jalanan dilalui; Daru harus menjadi lebih kuat se-kuat baja. Jangan sampai ia ber-gantung pada orang lain—apalagi ber-gantung pada Djaka. Jangan ampe, batin Daru ber-tekad kuat. Lalu, ia pun masuk ke dalam taksi. Sungguh tidak sudi diri ia berada dalam satu motor bersama Djaka. Pergi masing-masing saja. Itu lebih baik. Djaka cuma bisa memandangi taksi itu pergi membawa sang istri menuju tempat pemotretan. Di samping ber-profesi menjadi aktor—juga ber-profesi menjadi modeling. Saat ini; Djaka belum bisa maju atau mundur. Djaka masih berdiri di tempat. Djaka harus mencari solusi dari semua masalah ini. Harus!, batin Djaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guruku Ternyata G
Romance[TAMAT] Cuman tulisan sederhana dan jelek. Beberapa nama tokoh juga ketuker, dan lupa. Jadi, jangan komen aneh-aneh. Se-umpama lu nggak suka tinggal skip aja. Ber-cerita tentang kisah cinta antara dosen dan seorang mahasiswa ber-nama Daffin.