Guruku Ternyata G 69

707 67 16
                                    

Bibir ia terasa ber-buih tiap kali berbicara pada si posesif. Sifat posesif dia terlalu mendominasi sehingga membuat ia jengah sepanjang hari. Sudah tiada lelap di malam hari, kerjaan menumpuk, lalu ditambah lagi dengan gangguan dari si begundal tanpa dosa ini. Hardinata tambah emosi. Ingin ia marah-marah, menghina, dan mencaci Tristan, tetapi hati ia juga berat. Terlebih jikalau lengkungan bibir dia nan manis itu membuat paras dia berseri-seri. Hardinata bisa apa? Semua jerat ia telah membelenggu. Hardinata cuma tidak ingin mengakui hal itu.

Ber-bulan-bulan Tristan berjuang, dan menelan pahit penolakan demi penolakan hingga rasa benci mengitari relung hati si tampan Hardinata. Hampir saja ia ingin mundur, sebab lelah terus-menerus menerima sumpah serapah. Dianggap benalu—pun Tristan masih mau ber-lapang dada. Diperlakukan hina-dina pun ia mencoba bertahan. “Jangan diulangin lagi, Tris. Jujur aku malah jadi badmood banget,“ ucap Hardinata. Dalam tatap mata nan teduh; ia dikunci. Dikunci dalam jerat harap, dan terus berharap. Berharap jikalau Tristan bisa lebih sabar lagi.

Bohong! Hardinata terlalu pemalu dan munafik! Siapa bilang cuma berharap agar Tristan bisa lebih sabar lagi? Itu cuma alasan dari beribu-ribu alasan. Sebab jauh di dalam sana; Hardinata berharap lebih.  Lebih dalam artian menerima cinta dari Tristan. Bodoh. Hardinata memang bodoh. “Pak,“ gumam Tristan. Bermanja-manja sebentar tidak apa-apa, kan? Toh, sama pacar sendiri? Pacar? “Dah jadi pacar apa belum, ya?“ batin Tristan. “Cuma pengen bilang, kalo aku pengen hubungan kita lebih diperjelas lagi,“ ucap Tristan. Sebab tiap kali ia memancing Hardinata soal pacaran; Hardinata pasti selalu bilang, “Siapa bilang aku pacar kamu?“.

Seolah tiada penegasan pasti dalam bentuk apapun. Tristan dibuat gamang oleh ia. Hati ia bergetar. Bergetar sebab takut jikalau Hardinata menjalani hubungan ini cuma atas dasar rasa kasihan saja. Tristan cemas. Sungguh cemas. Hardinata termangu. Sebuah harapan sepele, tetapi begitu berarti bagi Tristan. “Huft, nanti kita ngobrol lagi di apartemen aku malem ini.“ ucap Hardinata. Seperti sedang menghadapi seorang bocah; Hardinata merasa jikalau diri ia lah—yang dituntut harus lebih ber-sabar.

Sup buatan sang ibunda terasa hambar. Padahal begitu lezat hingga membuat Nugraha tambah beberapa kali. Isi sms di hp ia tadi malam membuat ia jadi hilang semangat. Bagaimana ini?, batin Daffin. “Daffin?“ seru Olivia. Olivia juga cemas jikalau melihat Daffin linglung seperti ini. Pasti ada sesuatu yang nggak beres? Jangan bilang kalo ini ada kaitannya sama Chris?, batin Olivia. Olivia menduga jikalau Chris adalah sumber dari hilangnya semangat sang putera. Padahal sama sekali bukan.

Daffin ragu harus ber-cerita atau tidak, tetapi membiarkan diri ia menahan semua cerita ini sendiri malah mempengaruhi emosional ia sehari-hari. Nugraha dan Olivia terlihat mengerutkan alis jua. “Pa, ma,“ gumam Daffin. Sebelum ber-cerita lebih lanjut; Daffin pun menunjukkan sesuatu pada Nugraha. Nugraha pun membaca isi sms tersebut, dan berhasil membuat ia meradang. “Daffin? Siapa dia, nak?“ tanya Nugraha. Daffin menggelengkan kepala pertanda jikalau ia tidak tau sama sekali.

“Daff? Hari ini kamu ada jadwal di luar ato nggak?“

“Hm, ada sih, pa. Pemotretan majalah gitu,“

“Selain Dimas, nanti papa ngirim dua orang pengawal buat kamu.“

“Tapi, pa—“

“Jangan bantah papa, Daffin. Semua ini demi kamu. Papa nggak mau kamu kenapa napa. Soal sms itu biar papa cari tau nanti. Siapa dalang di balik semua ini.“

Sebagai seorang ibu; Olivia benar-benar sangat cemas dan khawatir. Tega sekali orang itu, batin Olivia. Jauh di dalam hati kecil ia; ia berharap jikalau si pelaku memang lah bukan Chris. “Daffin, abisin dulu, nak. Biar perut kamu nggak kosong. Serahin semua itu sama papa, ya? Percaya sama papa kamu, ya, sayang?“ ucap Olivia. Daffin pun menganggukkan kepala mengerti. Daffin merasa jikalau beban di hati mulai berkurang sedikit demi sedikit. Orang tua sendiri memang tempat terbaik untuk berkeluh-kesah, batin Daffin.

Guruku Ternyata GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang