11A. Terpesona

197 36 18
                                    

Cerita ini murni hasil kerja otak saya, berdetik-detik, bermenit-menit, berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan ada yang sampai berbulan-bulan. Jadi, tolong hargai karya saya.
Terima kasih.

[*******]

Ardi menghela napas lelah. Dia tidak bisa fokus sama sekali. Pikirannya terus berkelana ke tempat tadi siang. Lebih tepatnya kepada seseorang yang berada di tempat tadi.

"Miranda, kenapa kamu secantik itu, sih?" Ardi mulai bermonolog. Menyingkirkan laptop dari pangkuannya. "Apa aku bodoh baru sadar sekarang?"

Ardi mengambil handphone-nya dari atas nakas. Membuka folder di galeri yang isinya foto-foto Miranda. Ardi sempat memotretnya diam-diam saat di kampus. Semuanya foto candid. Tak ada satupun foto Miranda yang melihat ke arah kamera.

Dilihat dari mana pun, Miranda tetap cantik. Rambutnya menjuntai indah. Hitam lurus sampai batas siku. Senyumnya menawan, menampilkan gigi-gigi putih dengan dua gigi kelinci yang menjadi daya tariknya.

Jempol Ardi terus menggeser-geser layar handphone-nya. Dari depan. Dari belakang. Samping. Kiri. Kanan. Semua foto yang dilihatnya hanya menampilkan kesempurnaan seorang Miranda.

Tak ada satu pun cacat dalam dirinya. Tubuhnya langsing semampai. Untuk ukuran perempuan, dia termasuk tinggi. Pribadinya sopan. Pergerakannya juga selalu terlihat anggun.

Tergambar jelas di setiap foto yang berada di galerinya.

"Aku cinta kamu, Mir." Ardi meyakinkan hatinya. "Aku akan mendapatkan kamu apapun caranya."

[*******]

"Mir," Ardi memanggil Miranda dari kejauhan.

"Makan, yuk!" ajak Ardi antusias, setelah berada di hadapan Miranda.

"Gak bisa, Di. Aku mau makan sama Ardan," ujar Miranda tak acuh. Kembali meneruskan langkahnya.

"Eh, kok Ardan .... Emangnya dia gak kerja?" Ardi terang saja heran. Kakaknya itu kan sedang kerja. Tadi saja berangkat ke kantor pagi-pagi sekali. Mana ada waktu untuk sekedar makan siang. Dia sibuk sekali.

"Kerja. Sekarang 'kan istirahat. Dia ngajak makan." Miranda mengalihkan pandangannya. "Eh, tuh, Ardan. Duluan ya, Di." Dia menoleh sekilas ke arah Ardi. Lalu berlari meninggalkannya.

"Ardan," teriaknya riang. Kakinya terus melangkah memangkas jarak.

"Ardi ngapain?" tanya Ardan. Matanya melihat Ardi yang ada di kejauhan.

"Dia ngajak makan." Miranda menerima helm yang kekasihnya berikan.

"Kamu gak mau?" tanya Ardan. Dan dibalasi gelengan oleh Miranda. "Kalau kamu mau, boleh aja. Sekali-kali, 'kan. Jarang-jarang, loh."

"Dih, apaan, sih?! Aku 'kan pacar kamu sekarang. Ardi udah gak penting lagii." Miranda cemberut. Berjalan ke belakang. Lalu menaiki jok motor.

Aku tahu, hati kamu masih bimbang, Mir, batin Ardan sendu. Meski begitu, dia akan berusaha mendapatkan hati sang kekasih seutuhnya.

[*******]

"Dan!" panggil Ardi kencang.

"Uy? Apa-apaan lo!? Emang gue budek?" Ardan tak menolehkan kepala sedikit pun. Dia sibuk mengetik di laptopnya.

Random StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang