Dita Karang dan Lee Taeyong
"TAE ... yong?!" Aku membulatkan mataku ketika melihat seseorang di depan sana.
"Lee. Panggil saya Tuan Lee." Taeyong berdiri angkuh di balik mejanya.
Aku mengerjap, lalu mengusap mata berkali-kali karena tak percaya lelaki di depanku akan menjadi majikan yang harus kulayani selama setahun ke depan.
Lee Taeyong. Lelaki yang dengan kurang ajarnya menghilang entah kemana. Meninggalkanku dalam keterpurukan.
Lalu sekarang, berani-beraninya dia muncul di hadapanku sebagai seorang majikan. Di mana otakmu, Lee Taeyong?! Apa kamu juga tidak punya hati?!
Aku tidak peduli dengan tatapan tajam Taeyong yang memperhatikan gerak-gerikku. Aku berbalik. Ingin segera keluar dari tempat menyesakkan ini.
"Jika kamu keluar, kamu melanggar kontrak kerja yang telah disepakati. Denda yang sangat besar akan menantimu, Dita Karang," suara yang pelan dan tegas tersebut bagai gemuruh yang menggelegar di telingaku. Membuat setiap saraf tubuhku terkejut seakan tak dapat bergerak.
Meski begitu, aku tetap memaksakan berjalan, meraih gagang pintu dengan tangan gemetar. Tujuanku hanya satu, meninggalkan lelaki tersebut.
Aku tidak sanggup melihat wajahnya lama-lama. Hatiku berkecamuk. Aku tak tahu apa yang akan aku lakukan jika berada terlalu lama di dekatnya.
Aku marah. Aku kecewa. Aku membencinya. Tapi di satu sisi, aku juga merindukannya. Aku ingin memeluknya. Dengan amat sangat erat, lalu menceritakan segala kegundahanku selama ini.
Tapi aku tahu diri. Itu tidak mungkin terjadi. Kini, posisi kami sudah jelas berbeda. Aku pelayan. Dan dia majikan.
Aku tidak mengerti, bagaimana bisa aku menandatangani kontrak kerja tanpa tahu siapa majikan yang harus kulayani.
Dasar bodoh! Bodoh! Bodoh! Aku memukul-mukul kepalaku cukup keras.
"Dita Karang." Saat aku sedang meratapi nasibku, sebuah suara terdengar dari sudut lorong di atas sana. Aku yakin itu suara si Lee--Brengsek--Taeyong.
"Jika dalam hitungan kesepuluh kamu tidak kembali ke ruangan saya ... Maka saya pastikan kamu akan menyesal," suara tersebut kembali bergema di lorong panjang ini.
Aku tidak peduli. Aku melanjutkan langkahku.
"Satu."
"Dua."
Dia masih terus berhitung.
"Tujuh."
Aku memelankan langkahku.
"Delapan."
"Sembilan."
Aku berbalik, berlari sekuat tenaga ke tempat Taeyong berada.
"Sepuluh."
Tepat di hitungan terakhir, aku berhasil mendobrak pintu kayu jati yang besar dan berat tersebut. Melihat Taeyong yang masih berdiri angkuh di balik meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Random Story
RomanceCerita random dengan artis lokal dan inter sebagai penggambaran karakter.