"Eh, eh, kenapa? Ini Kakek, Sayang. Tenanglah." Sijitama semakin panik saat Aisyah malah menangis di tengah gendongannya.
"Cup, cup, jangan menangis ya." Bayi mungil tersebut diayun-ayunkan dengan penuh kasih sayang.
"Ck, kamu ini bagaimana ... Aisyah pasti kehausan. Berikan pada ibunya." Geulisa mengambil alih sang cucu dari tangan si kakek tua.
Setelah dipindahkan ke gendongan Dita, Aisyah langsung mencari-cari sumber air susu yang biasa dia minum. Walaupun baru lahir, setidaknya sudah lebih dari lima kali dia menyusu.
"Ehem," Jungkook berdeham untuk memberi kode. "Bagaimana jika kita para lelaki merokok dulu di luar. Sekalian mencari makan juga sebelum malam semakin larut."
"Oh, iya. Ayo," Aditya yang menyadari keadaan langsung setuju tanpa berfikir lagi.
"O-ohh, iya, iya. Ayo kita keluar dulu. Aisyah butuh waktu hanya bersama para wanita." Sijitama baru menanggapi setelah beberapa saat.
Dia tak memikirkan sang menantu ternyata malu menyusui di depan para lelaki. Sebelumnya dia terbiasa menemani Geulisa yang sedang menyusui dan tidak merasa keberatan. Dia baru sadar jika sekarang yang punya bayi adalah menantunya, bukan sang istri lagi.
"Mereka terlalu heboh. Ini lebih baik," ujar Geulisa ketika para lelaki sudah keluar dari kamar.
"Iya," Dita terkekeh, setuju dengan sang ibu mertua, "sekarang lebih tenang."
Aisyah mulai tenang di gendongannya. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, dia tak merengek lagi.
"Oh, iya. Bunda membawa puding kesukaanmu. Sebentar ...." Geulisa keluar untuk menemui asistennya di depan kamar.
"Ini khusus buatan Bunda." Tak lama wanita tersebut kembali masuk dengan makanan kesukaan sang menantu.
Dita tersenyum senang, "Banyak banget, Bun."
"Harus banyak, ini untuk anak kesayangan Bunda." Geulisa menaruh kantung berisi pudding di atas meja.
Puding-puding tersebut sudah dipisahkan pada setiap wadah kecil yang berbeda. Dia sengaja membaginya seperti itu agar mudah ketika mau dimakan.
Terdapat lebih dari empat puluh wadah kecil di dalam sana. Geulisa mengambil satu puding, lalu menyimpan yang lainnya di dalam lemari pendingin.
Setelah selesai dengan penataannya, Geulisa duduk di kursi dekat ranjang.
"Ayo biar Bunda yang suapi selagi kamu sedang menyusui." Dia meraih puding yang sudah dipisahkan.
"Ga pa-pa, Bun, aku bisa sendiri. Nanti aku makan kalau ini udah selesai," Dita menolak dengan halus.
Dia tak mau merpotkan mertuanya. Biarkan nanti sang anak saja yang nanti dia repotkan. Dita terlekeh kecil di dalam hati.
"Kalau menunggu selesai lama. Lebih baik sekarang saja Bunda suapi." Geulisa membuka cup tersebut, lalu menyendokkan secuil puding dari sana.
"Aaaa!" sendok telah melayang ke depan mulut sang menantu.
"Bundaa," rengek Dita. Dia jadi tak enak hati bermanja-manja seperti ini.
"Makanlah, tidak usah sungkan," Geulisa memaksa.
Setelah satu potong puding masuk ke mulutnya, Dita jadi ketagihan untuk disuapi terus menerus. Bahkan hingga enam cup telah habis ditelannya.
Terhitung lima menit sudah Aisyah melepaskan hisapannya dan tertidur pulas. Tapi Dita masih saja mau disuapi oleh sang ibu mertua.
"Bunda pindahkan Aisyah dulu." Geulisa menaruh cup yang sudah habis isinya ke atas meja.
Aisyah tidak rewel meski tidurnya diusik dari kehangatan dekap sang Mama.
"Eh, udah, Bun, aku udah kenyang." Dita menyengir malu saat sang mertua mau mengambil satu cup puding lagi.
"Loh, kenapa? Kamu masih mau disuapi Bunda, bukan?" Geulisa menoleh dan bertanya. "Sudah tidak usah malu. Biar Bunda suapi lagi ya."
"Engga, Bunda, aku emang udah kenyang. Penuh nih. Enak pudingnya." Dita mengusap-usap perutnya yang terasa penuh. Cengiran masih menghiasi bibirnya.
"Ya sudah kalau begitu. Tapi kamu tidak usah sungkan jika ingin sesuatu." Geulisa kembali duduk di tempatnya. "Bunda sudah bilang, anggap Bunda seperti Mami kamu sendiri."
Dita tersenyum haru setiap mendengar sang ibu mertua berkata demikian. Meski begitu, dia selalu saja merasa sedikit canggung ketika berbicara berdua.
Terhitung kurang dari lima kali dia berbincang hanya berdua saja dengan sang ibu mertua. Ada rasa segan ketika harus berhadapan dengannya.
Karena hanya sang mami yang akrab dengan Dita sedari kecil. Tante-tantenya pun tak ada yang bisa membuat Dita merasa nyaman.
Dita hanya mengandalkan Aditya dan dekat dengannya setelah kepergian sang mami.
Setelahnya hanya Jungkook yang dapat membuat dia merasa nyaman serta tak canggung mengungkapkan keinginannya.
Selang beberapa menit, para lelaki yang selesai dengan perburuan makanan telah kembali.
"Aisyah sudah selesai menyusu?" Jungkook yang pertama kali melongokkan kepalanya di pintu.
"Sudah. Masuklah," Geulisa yang nenjawab.
Lalu kedua lelaki di belakang Jungkook menerobos masuk tak sabaran.
"Kenapa buru-buru begitu?" gerutu Jungkook yang hampir saja terperosok.
"Kamu menghalangi jalan, Ayah ingin bayi," ucap Sijitama tanpa rasa bersalah, menoleh pun tidak.
"Papi juga," ujar Aditya yang tak kalah antusias.
"Yaahh, bobo lagi." Kedua kakek tersebut kecewa saat mendapati Aisyah sudah tertidur pulas di ranjangnya yang empuk.
"Namanya juga bayi. Seperti tidak pernah punya bayi saja," Jungkook berbicara dengan nada sok bijak.
"Itu sudah lama. Kamu saja sudah dua puluh sembilan tahun," Sijitama membuat alasan. Matanya tak lepas dari si bayi yang begitu nyenyak di peraduan.
"Iya, Dita juga sudah dua puluh lima tahun," Aditya ikut beralasan.
Jungkook memutar mata malas. Padahal itu informasi umum. Tak perlu memiliki bayi untuk tahu hal tersebut.
"Ini, Sayang, makanannya. Kamu pasti lapar." Jungkook menghampiri sang istri. Tak mau lagi memedulikan kedua kakek yang begitu tergila-gila pada anaknya.
"Aku masih kenyang." Dita mengusap-usap perutnya sambil menyengir.
"Loh, kamu belum makan, Sayang. Mana mungkin sudah kenyang."
"Aku tadi makan enam cup puding buatan Bunda," Dita menjelaskan.
"Oh, pantas saja," ujar Jungkook. "Ya sudah, kalau begitu ini disimpan dulu ya." Dia meletakkan satu keresek di meja dekat ranjang. Lalu membawa satu lainnya ke meja depan sofa.
"Bunda ayo makan dulu. Kata Ayah belum makan sedari tadi," Jungkook mengomel. Dia kembali hanya untuk menuntun bundanya agar ikut menuju sofa.
"Iya." Geulisa pasrah saja diseret putra berototnya menjauhi ranjang sang menantu.
"Ayo, Yah, Aditya, kalian juga makan dulu," ajaknya pada dua lelaki yang masih asik dengan bayi mungil yang tertidur manis di dalam ranjang.
"Ayo ayo, dua kakek makan dulu! Tadi diajak makan tidak mau. Maunya makan di sini." Jungkook menghampiri keduanya dan menepuk bahu mereka.
"Iya. Aduuhh, itu Aisyah tidak dikasih makan?" Sijitama meninggalkan sang cucu dengan tak rela.
"Tadi sudah makan dan minum juga," Jungkook mengingatkan. "Apa Ayah ini sudah pikun?" sindirnya.
"Oh, iya. Tadi minum ASI yaa," Sijitama menyengir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Random Story
RomanceCerita random dengan artis lokal dan inter sebagai penggambaran karakter.