10A. Pak Polisi

108 28 7
                                    

Cerita ini hanya fiksi belaka.
Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
[*******]

"Putmi!" seorang laki-laki memanggil Putmi dari kejauhan.

Putmi tahu siapa dia. Lelaki yang akhir-akhir ini seringkali mengganggunya. Semenjak kejadian tujuh hari yang lalu, tak ada hentinya lelaki itu menunjukkan eksistensinya.

"Put!"

Putmi berjalan semakin cepat seiring dengan mengerasnya teriakan tersebut.

Namun, semakin cepat dia berlari teriakan tersebut semakin jelas terdengar.

Aishh, nyesel aku lewat situ. Ini 'kan waktunya istirahat, Putmi merutuk dalam hati. Harusnya tadi ia tak nekat melewati kantor polisi. Lebih baik memutar arah saja untuk sampai ke rumahnya.

Di saat Putmi rasa lelaki itu sudah tak mengejarnya lagi. Tiba-tiba langkahnya terhenti secara mendadak. Kepala Putmi terantuk sesuatu yang ada di hadapannya.

Diikuti sebuah tangan yang menangkap pinggangnya agar tak terjatuh ke belakang. Jika tidak, sudah pasti tubuh Putmi jatuh terjengkang ke jalanan aspal dengan cara yang sangat tidak estetik. Sakit sudah pasti, malu apalagi.

Ketika memfokuskan penglihatannya. Putmi sontak saja melotot. Ternyata orang tersebut adalah dalang yang menyebabkan Putmi harus terus berlari.

"Tidak apa-apa?" tanyanya penuh penyesalan. Dengan jarak sedekat itu, membuat Putmi tak fokus pada pertanyaan si lelaki.

"I-iya," Putmi bergegas bangkit lalu mendorong dengan keras tubuh si lelaki.

Langkah kaki Putmi yang sudah siap berlari terhenti mendadak. Cekalan di tangan membuat kakinya yang sudah ancang-ancang untuk kabur benar-benar tak bisa berkutik.

"Jangan pergi," pinta lelaki tinggi tersebut. "Tolong, jangan pergi lagi," suaranya yang lirih terdengar seakan memohon.

"Ma-"

"Kali ini saja," lelaki itu memotong ucapan Putmi. "Saya mohon maaf ... atas kejadian di pertemuan pertama kita. Begitu juga yang kedua."

Putmi menoleh. Melihat kesungguhan di mata lelaki yang masih memegang tangannya. Walaupun ngomong gitu. Entah kenapa aku masih ngeri aja sama nih orang.

Namun, pikiran dan tindakan Putmi kali ini tidak sejalan. Langkah kakinya malah mengikuti ke arah mana si lelaki membawanya.

"Lepas," pinta Putmi memelas. Saat tahu tujuan mereka adalah warung serba ada yang merangkap sebagai warung makan, tempat pertama kali mereka bertemu.

"Tidak, nanti kamu kabur lagi." Lelaki tinggi itu membawa Putmi duduk bersamanya. Tepat di kursi yang mereka duduki tujuh hari lalu.

"Ma-mau apa, Pak?" tanya Putmi gugup. Entah kenapa, jika berhadapan dengan si lelaki manis di sampingnya Putmi selalu gugup.

"Saya mau bicara."

"Y-ya udah ngomong. Itu juga udah ngomong." Putmi mengalihkan pandangannya, lalu menjauhkan tangan dari gapaian si lelaki.

"Saya Radi," ucap lelaki itu. Dia menggapai tangan Putmi yang satunya untuk ia jabat.

Hah? Putmi sempat terbengong mendengar sesuatu yang keluar dari mulut si lelaki. Namun segera sadar dengan maksud ucapannya. O-ohh, iya. Nama dia maksudnyaa. Putmi mengangguk-angguk.

"Putmilasari," ujar Putmi dingin sembari melepaskan tangannya.

"Saya sudah tahu."

Ha-hah? Putmi mendelik sebal. Terus kenapa pakai kenalan segala, sihh? Aku juga gak mau tahu nama situu.

Random StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang