Cerita ini murni hasil kerja otak saya, berdetik-detik, bermenit-menit, berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan ada yang sampai berbulan-bulan. Jadi, tolong hargai karya saya.
Terima kasih.
[*******]Pagi ini udara terasa begitu sejuk. Rasa-rasanya, Miranda ingin sekali mengurung diri di kamar, lalu bergelung di dalam selimutnya yang tebal. Namun, niat manis tersebut urung dilakukan.
Nyatanya, saat ini Miranda sudah ada di dapur rumah Ardan. Pukul enam, sang kekasih meneleponnya dengan suara memelas. Dia ingin Miranda memasakkan nasi goreng kesukaannya.
"Mir."
Ketika tangan Miranda bergerak memberikan bumbu ke atas nasi yang ada di wajan, suara seseorang menarik atensinya.
"E-eh, Ardi." Miranda pikir sang kekasih, ternyata adiknya yang sedang berdiri di balik pantri. Menatapnya bingung, dengan rambut acak-acakan.
"Udah ada di sini aja, Mir?" tanya Ardi, ketika Miranda sudah kembali sibuk dengan wajannya.
"I-iya. Ardan pengen nasi goreng," jawab Miranda seadanya. Dia sejujurnya tak nyaman. Berada di dalam satu ruangan dengan Ardi. Daan, kamu lama banget, sihh, batinnya memanggil sang kekasih.
"Nurut banget, sih," ledek Ardi. Dia bergerak ke arah kulkas. Mengambil minuman di dalamnya. "Sekarang dia ke mana?"
"Mandi."
Hening. Tak ada lagi percakapan. Miranda sibuk menyelesaikan kegiatan memasaknya. Sedangkan Ardi sibuk memperhatikan gerak-gerik Miranda dari tempat duduknya.
"Mir," itu bukan suara Ardi. Melainkan Ardan, kakaknya. Dia berjalan memasuki dapur.
"Dan," ujar Miranda dibarengi senyuman. "Udah mandinya?" Dia tahu itu pertanyaan tak bermutu. Tapi tetap saja dia utarakan. Kakinya bergerak mendekati rak piring, mengambil satu piring dari sana.
"Hem," Ardan hanya berdeham sebagai jawaban. Membalas senyuman gadisnya yang manis. Lalu mendudukkan diri di samping Ardi.
Miranda memindahkan nasi goreng ke atas piring. Mengapit wajan di tangan kiri yang dilapisi serbet dan tangan kanan yang memegang spatula.
Posisi Miranda yang berdiri di depan meja makan, menghadap Ardan dan Ardi yang duduk di dekat pantri. Membuat mereka dengan mudah melihat wajah si perempuan, juga pergerakan tangannya.
"Aku mau, Mir," ucapan Ardi menghentikan gerakan Miranda.
"Eh?" Miranda mengangkat wajahnya. Sebentar. Lalu kembali menunduk secepatnya.
"Boleh." Lalu perempuan berwajah mungil tersebut bergerak mengambil satu piring lagi. Tanpa meletakkan wajan di tangan kirinya. "Dibagi dua aja, ya? Kebetulan aku masukin nasinya kebanyakan tadi."
Miranda sebenarnya sudah akan membuat nasi goreng dalam porsi besar. Sekalian untuk orangtua sang kekasih. Tapi Ardan malah menghentikannya. Dia bilang papih mamihnya sedang beristirahat. Karena jam empat subuh baru saja pulang dari luar kota.
Jadinya, nasi yang sudah terlanjur ia bawa, berlebihan jika hanya untuk satu orang. Baguslah kalau Ardi mau, pikir Miranda lega. Tanpa ada niatan lain. Dia hanya tidak mau membuang-buang makanan.
"Dih, apaan, sih?! Enggak-enggak!" suara Ardan membuat Miranda kaget. Dia terlihat sedikit kesal. Sedari tadi ia diam saja karena mengira Miranda bakal menolaknya. Tapi jawaban sang kekasih malah membuatnya keki. "Kamu 'kan gak kebagian, Mir," kilahnya.
"Aku udah makan tadi. Pagi banget. Kamu 'kan tahu aku punya mag. Jadi gak boleh telat," Miranda tersenyum kecil. "Gak papa-lah. Kasian Ardi. Dia juga lapar." (asam lambung tinggi)
KAMU SEDANG MEMBACA
Random Story
RomanceCerita random dengan artis lokal dan inter sebagai penggambaran karakter.