Cerita ini murni hasil kerja otak saya, berdetik-detik, bermenit-menit, berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bisa sampai berbulan-bulan. Jadi, tolong hargai karya saya.
Terima kasih.
[*******]Hari lamaran akhirnya tiba. Ardan senang sekali. Jelas. Dia tidak dapat menurunkan senyumnya sedari pagi. Membuat Ardi jengkel setengah pingsan. Tapi mau bagaimana lagi, Ardi tetap adiknya, jadi mau tidak mau dia harus ikut terlibat dalam persiapan lamaran.
Hingga segala macam bingkisan pun sudah di tangannya sekarang. Lebih tepatnya, ada di kanan, kiri dan pangkuannya. Macam-macam makanan dan pakaian sudah Ardan siapkan. Ardi heran, mereka lamaran atau nikahan?
"Dan, ini seriusan nih, harus bawa segini banyak?" Ardi protes dari tempat duduk di paling belakang.
Jok tengah sudah penuh oleh bingkisan dan Ardan. Begitu pula bagian belakang. Bahkan sampai bagasi. Tapi Ardi lebih memilih berdesakan dengan bingkisan, daripada harus masuk bagasi.
Mobil melaju dengan pelan. Membuat Ardi pegal duduk berlama-lama. Tujuannya sudah pasti rumah Miranda. Jam temunya jam 10 pagi. Tapi mereka berangkat lebih awal.
"Iya, dong. Semuanya kesukaan Miranda," jawab Ardan riang. Senyum masih tak mau luntur menghiasi wajahnya.
"Ini lamaran, Dan. Bukan nikahan," celoteh Ardi sebal.
"Diem aja sih lo, gak udah banyak protes." Ardan menyandarkan tubuhnya. Mulai sibuk dengan smartphone.
"Ya lagiaan. Bawaannya banyak banget. Kayak mau seserahan aja," gerutu Ardi pelan. Namun masih dapat didengar oleh seisi mobil.
"Ardii, udah jangan ngomel mulu. Duduk, diem, gak bisa?" sang mamih mulai bersuara. Dia masih memperbaiki riasannya.
"Iya, Miihh," Ardi bungkam seketika. Jika Kanjeng Mamih sudah berkumandang, maka tak ada lagi yang bisa berceloteh.
Rumah Miranda memang berada di dusun yang sama dengan Ardi dan Ardan. Namun, jaraknya cukup jauh jika berjalan kaki. Jalanan yang menanjak juga membuatnya semakin sulit.
Belum lagi kondisi jalanan yang belubang dan tak rata, membuat mobil mengalami goncangan beberapa kali. Padahal baru beberapa bulan jalan kecil di dusun mereka diaspal, tapi sudah rusak di mana-mana.
Sesampainya di rumah Miranda, Ardan turun dengan segera. Meninggalkan Ardi dan bingkisan-bingkisan yang melingkupinya.
"Dan, tungguin, bingkisan lo, nih!"
Ardan berbalik, lalu nyengir malu, "Lupa." Dengan sigap dia menerima bingkisan yang diangsurkan Ardi.
"Lupa, lupa! Di pikiran lo cuma Miranda doang sih, jadinya gini," gerutu Ardi sembari membuka jok yang tadi Ardan duduki. Lalu mendorongnya agar memberi ruang untuk melangkahkan kaki.
"Ya, gimana gak gitu. Tuh, Miranda udah cantik, ada di depan rumah," Ardan bergumam. Dagunya menunjuk Miranda yang sudah cantik menggunakan kebaya berwarna navy. Berdiri di depan rumahnya menatap ke arah Ardan.
Cantik, puji Ardi dalam hati. Setelah turun dari mobil, dia berdiri di samping Ardan.
"Eeh, kok malah pada bengong gini!" Sang papih yang sudah berjalan akan menghampiri calon besan, menghentikan langkahnya. Menoleh pada kedua anak laki-laki-nya yang masih terpaku di depan mobil. "Ardi, ambil satu bingkisannya."
"I-iya, Pih." Ardi tersadar dari lamunannya. Dengan cepat mengambil satu bingkisan yang ada di jok tengah.
Ardan menyamakan langkahnya dengan sang mamih dan papih. Membiarkan Ardi menyusul di belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Random Story
RomanceCerita random dengan artis lokal dan inter sebagai penggambaran karakter.