Hujan Selamanya

953 33 0
                                    

HUJAN datang lagi malam ini. Entah sudah ke berapa kalinya aku mendengus sebal ketika mendapati kilat yang lebih dulu menampakkan kehadiran dibandingkan guntur dan petir, akhir-akhir ini. Bukan berarti aku tak suka hujan, hanya saja, tak ada yang baik dari berlebihan.

Hari ini hari Rabu, tiga hari menuju Hari Imlek. Mamaku pernah bilang, biasanya, beberapa hari sebelum Hari Imlek akan dihiasi oleh musim penghujan, dan beginilah adanya.

Hari Imlek, hm? Isi kepalaku akan penuh oleh segala yang berwarna merah jika mendengar kata Imlek. Mungkin, tak hanya warna merah.

Tapi, juga dia.

Hari ini resmi setahun aku berpisah dengannya. Barangkali dia tengah sibuk-sibuknya dalam menghadapi tugas sebagai mahasiswa kedokteran gigi. Berpisah karena perbedaan jarak. Berpisah karena perbedaan perasaan. Dan berpisah karena perbedaan agama, mungkin? Hehe.

Aku juga sibuk. Siapa bilang menjadi mahasiswa kedokteran hewan itu mudah? Yah, meski tak serumit mahasiswa kedokteran umum dan kedokteran gigi. Jelas saja, dia pasti lebih sibuk dibandingkan aku. Maka dari itu, dia tak pernah tampak lagi, kan?

Hujan selalu berhasil melemparkanku ke kenangan yang justru tak ingin aku kenang. Hujan selalu berhasil melemparku ke ingatan yang ingin kuhindari jauh-jauh, karena pada akhirnya, mengingatnya hanya akan membuat nafsu makanku hilang.

Aku menyadari kehadirannya di hidupku ketika musim hujan, begitu pun dia. Kami sudah kenal lama, tapi aku merasakan dia berbeda ketika waktu itu sama-sama berteduh di bawah atap laboratorium Kimia. Itulah kenapa, hujan memberikan kenangan yang manis dan menyakitkan di waktu yang bersamaan untukku.

Baiklah, mari kita mulai.

Namanya William Bagaskara. Kulitnya putih, tubuhnya tinggi, rambutnya lurus, matanya sipit, dan wajahnya tampan. Dia punya telapak tangan yang besar, begitu pula dengan telapak kakinya. Dia punya senyuman dan lengan yang terasa seperti 'rumah' bagiku. Dia sungguh pernah menjadi 'rumah' untukku, meski kini aku bukan tuan rumahnya lagi.

Rumah yang kokoh dengan dinding yang kekar untuk dijadikan sandaran, atap yang aman untuk dijadikan tempat berlindung, serta pintu yang selalu terkunci rapat untuk melindungi si tuan rumah dari siapa saja yang ingin menyakiti.

Dia suka musik lawas. Ralat, dia suka musik. Dia punya selera yang amat bagus mengenai musik, itulah kenapa dia sudah bermain keyboard sejak kecil, dan mulai bermain piano ketika sudah remaja. Itulah kenapa ketika aku memberitahunya mengenai lagu-lagu milik The 1975, dia bisa menikmatinya; meski aku tak tau apakah saat itu dia hanya berpura-pura tertarik untuk membuatku senang dan merasa dihargai, atau dia benar-benar menyukainya.

Kuakui, aku punya selera musik yang sedikit unik dari kebanyakan orang; bukan berarti buruk. Hanya saja, kebanyakan lagu-lagu yang kusuka takkan bisa dicerna dengan baik oleh orang lain.

The 1975 benar-benar band yang bagus. Aku suka lagu-lagunya, meski tak semua liriknya bisa kupahami. Aku pernah merekomendasikan lagu Robbers - The 1975 ke William, dan dia bilang itu lagu yang bagus. Robbers memang lagu yang bagus dan memiliki lirik yang dalam. Tak semua orang bisa menikmati lagu itu, namun Will bisa.

And when she's leaving your home, she's begging you, "babe, stay, stay, stay, stay, stay." adalah lirik favoritku di lagu itu, dan kini aku bisa merasakan apa yang lirik itu katakan.

Sebenarnya, kami sudah kenal lama. Kami satu les Matematika ketika SD, dan satu les lagi ketika SMP, dalam les Bahasa Inggris. Tapi, aku tak pernah berada di sekolah yang sama dengannya, kecuali SMA.

Dulu, dia suka dengan temankuーyang juga keturunan China seperti diaーdan aku sering menggoda mereka berdua, meskipun dia ditolak oleh temanku pada saat itu. Yah, siapa sangka, bocah yang dulunya pendek dan sering botak, bisa berubah menjadi laki-laki yang tinggi dan good looking? Aku yang mengolok-olok mereka, justru terjebak dengan Will ketika SMA.

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang