Roweina

319 32 1
                                    

AKU menatap langit jingga dan gumpalan-gumpalan kapas yang ada di sekitarnya. Kursi goyang ini bergerak maju mundur, membuat mataku kian sayu, mengantuk. Di seberang sana, ada sebuah pantai yang damai. Ombak menghempas kesana dan kemari. Nyanyian burung dan suara ombak itu memanjakan telingaku.

Dapat kulihat dari sini, cucu-cucuku tengah berlari kesana kemari, kejar-kejaran dan tertawa bersama. Ada pula yang tengah membangun sebuah istana kecil dari pasir. Mereka semua bermain bersama. Dapat kutemukan kedamaian tiap kali melihat wajah mereka.

Sama persis seperti kedamaian yang selalu kutemukan di wajah cantik si pujaan hatiku.

Anak-anakku yang semuanya tinggal jauh dari kediamanku, tengah berkunjung ke sini, membawa keluarga kecil mereka. Meski tak sering, kehadiran mereka selalu berhasil menghangatkan rumah yang sudah lama dingin ini. Terkadang, dengan melihat wajah dan manik mata cucu-cucuku, sudah cukup mengobati kerinduanku kepada nenek mereka.

Aku senang mereka berkunjung. Aku senang rumah ini seketika menjadi ramai. Aku senang akan kehadiran mereka, bahkan mungkin hanya itulah sumber kebahagiaanku di usiaku yang sudah menginjak 71 tahun ini.

Hanya ada satu yang membuatku sedih. Tiap kali aku melihat wajah polos tak berdosa itu, aku jadi merindukan Roweina, lebih dari apapun. Hal itu membuatku gila. Tiap kali aku menutup mataku, aku melihatnya. Tiap kali aku membuka mataku, aku merindukannya.

Padahal, dia hanyalah perempuan bawel yang selalu membuat telingaku sakit di setiap pagi. Mengomeliku tiap kali aku lupa minum obat, mengomeliku tiap kali aku terlalu sibuk akan kerjaan sampai lupa makan, mengomeliku tiap kali aku memakan makanan pantanganku.

Dia hanyalah seorang perempuan yang selalu mengaturku sana-sini, membuatku kesal, bahkan kami kerap berkelahi hanya karena hal kecil seperti aku yang terlalu banyak makan daging dan dia mengkhawatirkan darah tinggiku.

Namun, setelah dia pergi, yang terjadi adalah aku merindukan omelannya. Aku merindukan semua cerita tak pentingnya, segala overthink-nya yang membuatku ikut sakit kepala, amarahnya, bahkan semua yang menyebalkan darinya menjadi sesuatu yang paling kurindukan.

Aku merindukan wajahnya saat tersenyum, tertawa, kesal, menangis, bahkan saat datar sekalipun. Aku merindukan jemarinya yang keriput dan gemetaran, kerutan di sudut matanya ketika tersenyum, cara berjalannya yang sangat lambat, hal yang membuatku sering kesal ketika kami berjalan kaki bersama.

"Aku bisa menjadi apapun yang kamu mau."

Kalimat itu yang kukatakan padanya di sebuah pantai, hanya ada kami berdua di atmosfir itu. Pada saat itu, rekan kerjaku yang lain sedang berada jauh dari kami.

Pada saat itu, matahari tenggelam, membawa langit jingga pulang bersamanya. Di situ pula aku bisa melihat cahaya jingga yang tenggelam di wajah cantik rekan kerjaku yang bernama Roweina, waktu itu. Dia menatap lurus, tersenyum manis, menampakkan apple cheeks yang menjadi favoritku. Rambutnya hitam legam sebahu, dikuncir setengah dengan jepitan rambut.

"Emangnya kamu siap menjadi repot seumur hidup, jika bersamaku?"

Aku mengangguk, tersenyum ringan.

"Kamu bisa menjadi apapun?" tanyanya, tanpa menoleh ke arahku. Semakin hilang cahaya jingga itu, semakin aku dapat melihat rona wajahnya yang tersipu.

"Apapun," jawabku.

"Kamu tak perlu jadi apapun," katanya. "Cukup jadi dirimu sendiri. Itu yang paling aku inginkan."

Pernikahanku dengannya membuahkan tiga orang anak yang lucu, yaitu Rian, Bagas, dan Sintia. Tak ada satupun dari mereka yang mirip denganku, semuanya mirip dengan Roweina. Bentuk wajahnya, manik matanya, hidungnya, bibirnya, semuanya adalah copy paste dari ibu mereka. Aku hanya mewarisi sifat dan cara berpikir.

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang