Lebih Dari Ego

154 13 1
                                    

"Harus banget berantem kaya gini?" tanya Indah, menghela napasnya berat. "Kamu terlalu permasalahin banyak hal. Terlalu permasalahin hal yang masih bisa diperbaikin."

"Karena kamu terus ngulang kesalahan yang sama," balas Rigo. "Udah. Sekarang, aku anterin kamu pulang aja."

"Itu nyelesaiin masalah?"

Hening.

"Aku tanya, itu nyelesaiin masalah?"

"Kamu maunya apa?"

Seperti hubungan yang bertahan 'lama' seperti pada umumnya, semuanya terasa sangat indah di awal, lalu terasa cukup hambar di tiga tahun setelahnya. Semuanya jadi banyak salahnya, lalu terkesan mengubur tiap masalah dan melupakannya begitu saja.

"Dah, aku pulang dulu," ucap Rigo, baru saja ingin menutup kaca mobilnya.

"Rigo," kata Indah, membuat Rigo berhenti menaikkan kaca mobilnya dan menatap Indah dengan tatapan bingung. "Ada yang mau aku sampein ke kamu."

"Apa?"

"Kayanya, hubungan kita udah gak bisa dilanjutin lagi," ucap Indah, setelah membiarkan hening sejenak.

Rigo tertegun, mematung di posisinya.

"Yakin?"

Indah mengangguk. "Aku udah capek, soalnya."

"Oke," Rigo mengangguk, setuju. "Aku pulang dulu, kalau gitu."

Setelah berkendara cukup jauh karena mereka tidak tinggal di kota yang sama, Rigo tak melakukan apapun selain mandi dan istirahat. Di atas pulau kapuk yang menjadi tempat paling nyaman baginya, dia tak merasa sedih sama sekali. Di luar ekspektasinya yang dia pikir dia bisa saja tak bisa tidur karena baru saja putus, dia justru bisa tidur dengan nyenyak pada malam itu karena tidak harus chatan dulu sebelum tidur dengan Indah.

Setelah malam dimana dia diputuskan oleh Indah, Rigo menjalani hari-hari dengan sangat baik. Dia bisa nongkrong dengan teman-temannya tanpa harus mengabari Indah, dia bisa merokok di tongkrongan tanpa harus memikirkan omelan Indah, dia tak perlu khawatir jika teman-temannya mengundang perempuan lain ke tongkrongan mereka. Rigo bisa main game tanpa harus diganggu, Rigo bisa tidur lebih cepat pada malam harinya tanpa harus teleponan dulu. Setelah hubungan tiga tahunnya itu benar-benar berakhir, dia menikmati waktu sendirinya yang selama ini cukup dia rindukan.

Hanya bertahan selama seminggu.

Hanya butuh waktu seminggu bagi Rigo untuk menikmati kesendiriannya. Ibarat seseorang yang kepalanya dipukul dan baru merasakan sakit beberapa saat kemudian, begitulah analogi yang tepat untuk perasaan Rigo yang kini merasa campur aduk karena dia mulai bertanya-tanya akan satu hal; kenapa Indah semudah itu untuk memutuskannya?

Dia bahkan tak bertanya alasan Indah memutuskannya, malam itu.

Namun, Rigo tak berani menghubungi Indah duluan. Maka dari itu, Rigo lebih memilih untuk sering mampir ke coffee shop favorit Indah, berharap dia bisa bertemu Indah dan mereka bisa sekedar mengobrol singkat.

Benar saja, pada suatu siang, Rigo pun bertemu dengan Indah. Indah baru saja pulang kerja dan mampir ke coffee shop itu sebelum pulang.

"Ada kamu, ya," sapa Indah, tersenyum. Wajahnya berseri, justru tampak lebih cantik daripada biasnaya. Berbeda dengan Rigo yang akhir-akhir ini justru berwajah lelah karena kurang tidur, dia tak bisa tidur karena perasaannya yang galau. "Udah mau pulang?"

"Ah, ya," balas Rigo, ikut tersenyum. "Kamu mau pulang? Mau sekalian kuanterin?"

"Gapapa, emangnya?"

"Santai aja, kali."

Mereka pun digeluti kecanggungan meskipun duduk bersebelahan. Indah pun mulai sibuk dengan ponselnya, tak memulai percakapan sama sekali. Dulu, Indah selalu menghindari memegang ponsel selama Rigo menyetir karena dia tau, Rigo tak menyukainya. Rigo lebih suka diajak mengobrol daripada Indah melakukan hal lain ketika lagi bersamanya. Namun, kali ini, jelas sekali Indah sudah tak mempedulikan hal itu lagi karena mereka bukan lagi siapa-siapa.

"Lagi chatan sama cowok baru, ya?" canda Rigo, tertawa kecil.

"Gak, lah. Ini lagi bales chat grup, kok."

Hening.

"Kupikir, aku butuh penjelasan soal malem itu, Ndah," kata Rigo, menatap sekilas.

"Penjelasan apa?"

"Alasan kamu mutusin aku."

Indah menoleh ke arah Rigo. "Akhirnya, kamu penasaran?"

"Aku selalu mikirin itu."

"Aku juga selalu mikirin itu," balas Indah. "Tentang alasan aku putusin kamu, apakah cukup worth untuk dijadiin alasan?"

"Apa?"

"Alasannya bukan sesuatu yang aku bisa jelasin dengan rapi," jawab Indah.

"Maksudnya?"

"Aku cuma mikir, kalau sama kamu, aku terlalu banyak ngehajar egoku sendiri."

"Maksudnya?" tanya Rigo lagi, bingung.

"Kamu sering permasalahin hal yang masih bisa diperbaikin, sedangkan kalau masalah itu dibalik, aku gak akan permasalahin itu. Tiap kamu ketiduran, aku gak pernah marah karena aku tau kamu capek. Tiap aku bangun kesiangan, kamu selalu ngomel, padahal kamu gak tau apa yang kualamin malemnya, atau seberapa sedih aku hari itu. Kamu ngomel karena kamu gak tau rasanya, tapi justru itu masalahnya."

Rigo terdiam.

"Kamu dan semua sifat sensitifmu yang kadang bikin aku sebel, tapi aku telen karena aku tau kamu pantes untuk diperjuangin, karena aku tetep mau sama kamu sampe nanti. Buat kamu, aku selalu ngalah, kan? Bahkan, aku minta maaf sehabis aku marah ke kamu karena kamu habis ngelakuin kesalahan ke aku. Kamu sering ungkit-ungkit kesalahanku, padahal kamu yang bahkan punya kesalahan lebih gede aja gak pernah kuungkit. Aku terlalu sering ngehajar egoku sendiri. Sekarang aku tanya, kamu nyari pacar atau samsak tinju?"

Rigo mematung di posisinya, tak tau harus menjawab apa.

"Tiap kamu nemu kekuranganku, coba tanya dirimu sendiri, apakah kamu juga punya kekurangan yang sama dan apakah kamu gak pernah sadar cuma karna aku gak pernah bahas aja," kata Indah. "Kamu nuntut aku jadi kaya A, B, C, D, sampai Z, padahal apapun yang kamu lakuin aja gak pernah kupermasalahin."

"Coba kamu tanya ke diri kamu sendiri, apakah kamu orang yang gampang untuk dicintai?" tanya Indah. "Karena menurutku, gak gampang ngadepin kamu. Kamu pernah bilang, kamu milih aku karena aku bukan cewek yang ribet kaya cewek-cewek lain. Gitu? Karena cewek lain gak mungkin tahan ngadepin kamu?"

"Udah, Ndah, aku udah ngerti. Gak perlu nekan aku kaya gitu," balas Rigo, akhirnya. "Tapi, aku gak pernah minta kamu untuk kaya gitu."

"Nah, itu yang selalu jadi senjata andalanmu, kan? Semua kebaikan yang kukasih itu bukan karena kamu minta, terus dengan begitu, kamu pikir kamu bisa jadi orang yang gak bersalah, gitu?" kata Indah lagi, menatap Rigo serius. "Jelek banget otakmu. Sakit. Gak tau diri. Kalaupun kamu gak minta, bukan berarti kamu juga bisa seenaknya, sialan."

"Aku minta maaf."

"Iya, gapapa," Indah menghela napasnya. "Aku cuma jawab pertanyaanmu tadi, kok."

Setelah Rigo mengantarkan Indah, mereka pun mengobrol tipis, bahkan Indah berbasa-basi apalah Rigo ingin mampir sebentar untuk menyesap secangkir kopi. Namun, Rigo merasa energinya terserap terlalu banyak karena harus mendengarkan penjelasan panjang lebar yang menurutnya cukup nyelekit.

Meski begitu, dia tetap merasa tak bersalah.

-----------------------------------------------

11 Feb 2024

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang