Things I Could Never Say To You

654 64 2
                                    

INI sudah gelas es krim yang ke tiga, selama lima jam aku duduk di sini. Hujan bergemuruh ria di luar sana, suhu dinginnya menggigit kulit. Aku menopang daguku dengan tatapan kosong, menikmati es krimku tanpa mengeluarkan ekspresi apa-apa.

Berulang kali aku melirik ke jam dinding yang menempel di tembok berwarna batu bata tersebut, berulang kali pula aku menghela napas berat.

Hari ini, tanggal 28 Januari, hari ulang tahunku. Selama empat tahun berturut-turut, aku selalu merayakannya di kafe ini, dengan posisi yang sama dan varian es krim yang sama.

Aku menelan segala kepahitan yang berputar kembali, memusingkan pikiranku dan menyakiti batinku. Ibarat kata berharap agar alergiku bisa sembuh jika kucekoki terus menerus. Jika saja patah hati membuat seseorang trauma untuk datang ke suatu tempat, aku justru sebaliknya.

Aku memejamkan mataku perlahan.

"Tanggal ultah lo 28 Januari? Hari ini, dong?" tanyanya tersenyum ringan.

Aku mengangguk, menyesap minumanku. "Kenapa? What a stupid day. Gak usah dibahas."

Tanpa pikir panjang, dia langsung bangkit dari duduknya dan mengambil gitar yang penuh oleh coretan dan tulisan di atasnya tersebut, membicarakan sesuatu yang aku tak tahu apa itu dengan Mas Eyin, pemilik kafe yang sekaligus teman dekatnya, lalu naik ke atas panggung.

Sorot mata seluruh penikmat malam minggu tertuju padanya malam itu, tapi pandangannya hanya fokus kepadaku.

"Selamat malam, semuanya," sapanya tersenyum. Meski dia bilang semuanya, faktanya dia hanya memandangiku sembari melemparkan senyumannya. "Malem ini, di hari yang gue anggap cukup istimewa, gue bakal bawain satu lagu untuk cewek keras kepala yang udah gue anggap sebagai adek gue sendiri."

Aku hanya bisa menyeringai dari posisiku, waktu itu.

"Lagu favoritnya yang berjudul Pelangi."

Aku membuka kembali mataku. Suaranya yang membawakan lagu tersebut masih membayang-bayang di telingaku. Sorot matanya yang terus memandangiku malam itu, masih teringat jelas di memoriku dan sukses menggores hatiku lagi.

28 Januari adalah hari yang tak terlalu penting buatku. Selama aku hidup, kupikir ulang tahun bukanlah hal yang harus diambil pusing karena aku benci pesta, hadiah, dan ucapan. Kedua orang tuaku juga tak memandang hari ulang tahun sebagai hari yang istimewa. Disaat anak-anak lain menantikan ulang tahunnya, aku justru tak peduli akan hal itu.

28 Januari 2016.

Aku mungkin akan menukarkan apa saja yang kupunya hanya agar aku bisa kembali ke hari itu. Hari dimana aku bertemu seorang laki-laki bernama Dante, di kafe yang sama.

Aku menghela napas lagi. Baiklah, mari kita kembali ke malam itu.

28 Januari 2016.

Malam itu, malam Selasa, aku memutuskan untuk menyelesaikan tugas kuliah di salah satu kafe yang dekat dengan kosku. Kafe milik Mas Eyin, anak dari teman mamaku. Berhubung aku masih baru di kota ini dan tak memiliki teman, Mas Eyin lah satu-satunya orang yang sering kumintai tolong. Membantuku pindahan ke kos, menemaniku dan mengenalkanku ke beberapa tempat makanan yang enak, dan lain-lain.

Alasanku berada disini juga, karena permintaannya. Dia bilang, lebih baik aku mengerjakan tugas di kafenya daripada harus mengerjakan tugas di kos dan stres sendirian, yah, meski Mas Eyin terlalu sibuk dengan pelanggan sehingga tidak sempat menemaniku di sudut ruangan. Toh, endingnya aku sendirian juga.

Aku yang semula sibuk dengan tugas dengan earphone di telingaku sembari mendengarkan radio, seketika terpaku ketika pandanganku tak sengaja terlempar lurus dan menangkap seorang lelaki yang berjalan menaiki anak tangga menuju panggung kafe ini.

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang