Stuck With You

724 43 0
                                    

"KITA sampai sini aja."

Aku mengernyitkan dahiku, menatapnya penuh tanda tanya, meskipun dia spontan membuang muka. "Kenapa?"

"Aku bosen," jawabnya, singkat.

Aku hanya bisa diam, tak menjawab apapun lagi. Sebenarnya, aku pun tak kaget akan permintaannya ini, karena memang, hubunganku dan Nadine sudah lama menjadi hambar.

"Aku yang salah, ya?" tanyaku, tersenyum paksa. "Keputusanmu udah oke?"

Nadine mengangguk.

Dia adalah Nadine, perempuan yang menjadi pacarku selama empat tahun ini. Kami berpacaran sejak kami masih berstatus sebagai mahasiswa di kampus yang sama. Meskipun aku satu SMA dengannya dan berteman dengannya sejak lama, tapi kami baru menjalin hubungan ketika duduk di semester akhir kuliah.

"Jadi, maunya gimana?" tanyaku lagi.

"Ya, aku mau putus," jawabnya. "Itu doang."

Kali ini, aku mencoba untuk meraih tangannya. Namun, dia menarik tangannya dari genggamanku, enggan untuk kupegang.

"Kamu capek?" tanyaku.

Nadine mengangguk.

"Apakah ada yang bisa aku lakuin untuk bikin kamu gak marah lagi?" tanyaku.

"Aku gak marah, Rangga. Gak ada yang perlu kamu lakuin," jawab Nadine. "Aku cuma mau putus. Itu doang."

Aku terdiam lagi, kali ini cukup lama. Keheningan sempat bersarang di antara kami berdua, hanya ada suara musik di cafe ini yang samar-samar terdengar dari posisi kami.

"Oke, kayanya kamu udah ngerti," kata Nadine, tersenyum ringan ke arahku, bangkit dari duduknya. "Aku mau pulang dulu, ya."

"Tunggu, Din," Aku ikut bangkit dari dudukku. "Seenggaknya, aku anterin kamu sampe rumah."

Nadine adalah perempuan paling ekspresif dan emosional yang pernah kutemui. Selain pemarah, dia juga orang tercengeng dalam kehidupanku. Aku tak pernah menjumpai seseorang secengeng dia, yang bisa-bisanya menangis hanya karena takut kecoa. Benar-benar perempuan aneh.

Namun, segala keanehannya itu yang membuatku tertarik padanya. Segala keanehan, kebawelan, dan hal-hal menyebalkan lain miliknya yang membuatku terpikat akan dirinya.

Entah dia jadi secengeng apa dalam beberapa bulan ini. Aku bahkan tak mengerti, kenapa jarak kami bisa jadi begitu jauh. Bahkan sepertinya, sudah lama sekali kami tidak berada di posisi seperti ini, duduk berdua di dalam mobil, meskipun tidak membicarakan apapun.

Tik. Tik. Tik.

Seperti yang sudah kuprediksi, hujan turun lagi sore ini, karena dari siang tadi, langit sudah tampak sendu. Namun, hujan yang tiba barusan bukanlah hujan gerimis. Tanpa aba-aba, hujan deras menghantam permukaan bumi dengan kasar.

"Itu ada apa ya, di depan?" tanya Nadine, mengernyitkan dahinya. "Bisa jadi macet banget kaya gini."

Aku terdiam sejenak, ikut mengernyitkan dahi. "Ini sih kayanya macet total."

Nadine hanya diam, melipat kedua tangannya di depan dada dan merengut kesal. Tentu saja dia kesal karena harus terjebak macet dengan mantan pacarnya yang menyebalkan, yaitu aku.

Keheningan lagi-lagi bersarang cukup lama, sampai tanganku terulur untuk menyalakan musik, tapi ternyata tangan Nadine juga terulur untuk mematikan AC mobil.

Aku dan Nadine sempat sama-sama kaget, meskipun setelahnya, kami mencoba bertingkah untuk baik-baik saja.

Lagu berjudul Tell Laura I Love Her, by Ray Peterson, mulai memenuhi atmosfir mobil ini. Meskipun kami hanya diam dan tengah menunggu untuk keluar dari jebakan ini, aku sebenarnya sesekali mencuri pandang ke arahnya.

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang