Monster In My Eyes

202 18 0
                                    

DI sebuah negeri yang jauh dari dunia manusia, hiduplah para monster yang melakukan aktivitas sama seperti manusia normal. Tidur, makan, bekerja, mencari uang, melakukan kebaikan, dan melakukan kejahatan. Ada yang berbulu, bermata satu, bermata seribu, berkaki seribu, atau bahkan tak berkaki sama sekali. Berbagai profesi ada di sini. Ada dokter, polisi, guru, dan sebagainya. Berbagai gedung pun ada di sini. Gedung pencakar langit, rumah sakit, penjara, dan sekolah. Semuanya adalah bagian dari negeri yang normal.

Namun, ada dua jenis dari monster di negeri ini. Monster yang baik dan monster yang jahat. Monster yang jahat memiliki mata berwarna merah, sedangkan monster yang baik memiliki mata berwarna biru.

Mata berwarna merah itu menakutkan. Semua orang akan lari menjauh tiap kali bertemu dengan monster bermata merah. Bahkan, kasir restoran akan bergetar takut tiap kali menghadapi pelanggan bermata merah. Namun, tidak bagiku. Aku menatap mata merah itu setiap pagi, di atas tempat tidur. Aku memandangi wajah itu tertidur pulas sampai kelopak matanya terbuka dan menatapku dengan senyuman.

Aku adalah Rosie, monster bermata biru. Aku adalah monster yang baik. Aku bekerja sebagai seorang dosen di sebuah universitas. Hidupku kuhabiskan untuk melakukan kebaikan, apapun itu. Donor darah, donasi, daur ulang, apapun. Berbeda dengan suamiku, Teddy, dia adalah seorang monster bermata merah. Dia adalah bos dari sebuah perusahaan. Dulu, dia sempat menjadi bos yang kejam dan menjual benda terlarang. Namun, dia berada di jalan yang benar sjak menikah denganku. Dia sudah berjanji untuk berubah, tapi aku tau, berubah bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan seperti membalikkan telapak tangan. Maka dari itu, kuhargai keinginannya untuk berubah, meskipun belum tau kapan bisa melihat warna matanya berubah.

"Aku ingin bertanya sesuatu," ujar Arnold, salah satu mahasiswaku. "Ini sedikit personal. Maksudku, jika Bu Rosue tidak ingin menjawabnya pun tidak apa-apa."

"Tak masalah selagi jawabannya bermanfaat bagimu," kataku, sembari membereskan buku-buku di atas meja. Hanya tinggal Arnold, Evie, dan Daniel di ruangan ini. Mereka memang mahasiswa yang paling dekat denganku, aku pun menyukai mereka.

"Bagaimana rasanya menikah dan hidup dengan monster bermata merah?" tanya Arnold, tampak ragu. Mungkin, dia takut menyinggungku.

Aku terdiam sejenak. Setelah memasukkan laptop ke dalam tas, aku pun tersenyum ke arah tiga orang monster itu. "Menarik. Tak ada yang perbedaan yang spesifik dibanding pernikahan normal lainnya."

Mungkin, itu menarik untuk dibahas. Itu adalah pertanyaan yang sudah sering kudengar. Tentu saja, setiap orang pasti bertanya-tanya, bagaimana rasanya hidup bersama monster bermata merah yang notabenenya adalah monster jahat? Apakah dia akan melakukan kekerasan dalam rumah tangga? Apakah dia galak? Apakah dia sensitif? Apakah dia begini dan begitu?

Tidak. Teddy adalah monster yang baik, menurutku. Dia mau meluangkan waktu untuk menjemputku meskipun dia sibuk, dia sering masak dan menyediakan makanan karena dia tau aku lelah, dia akan menjadi orang yang tak bisa tidur semalaman karena khawatir ketika aku sakit, dia sering mengalah untuk menonton serial pilihanku, tiap kali kami menonton serial televisi bersama. Dia adalah monster yang baik, menurutku.

Sampai suatu hari, aku menerima sebuah telepon. Telepon itu berasal dari kepolisian. Polisi memberitahuku bahwa Teddy ditangkap karena melakukan kekerasan kepada monster lainnya. Lebih tepatnya, bawahannya di tempat kerja.

"Apa yang terjadi?" tanyaku. Aku memasang wajah kecewa, Teddy pasti bisa melihat itu. Ini bukan pertama kalinya Teddy ditangkap. Sebagaimana seorang monster bermata merah, dia tetaplah monster yang jahat. Dia tak segan-segan melakukan kekerasan atau apapun kepada monster lainnya. Setidaknya, Teddy yang sekarang sudah jauh berubah dibandingkan dulu, meskipun dia tetaplah seorang monster yang masih beberapa kali melakukan kejahatan.

Teddy hanya diam, lama sekali. Sejujurnya, aku cukup kecewa karena dia sudah berjanji untuk tidak melakukan hal buruk yang membuatnya berurusan dengan polisi lagi. Namun, hari ini, dia mengingkari janjinya.

"Maafkan aku," ucapnya, singkat.

"Entahlah. Tak ada gunanya jika kamu minta maaf sekarang dan tetap mengulanginya nanti," kataku, kecewa.

"Aku selalu menyusahkanmu."

"Ya," Aku menghela napas. "Dan kamu tak pernah berubah. Padahal, kamu sudah berjanji."

Dia terdiam lagi. Kedua matanya menyiratkan perasaan bersalah yang membuatku ikut merasa bersalah karena sudah memarahinya seperti ini. Aku menghela napas berat, lalu meraih kedua tangannya.

"Maafkan aku. Aku tau, berubah menjadi lebih baik bukanlah hal yang mudah bagimu," kataku, tersenyum. "Tak apa. Semuanya butuh proses, bukan?"

"Bagaimana rasanya menikah dan hidup dengan monster bermata merah?" tanyanya, menatapku.

Aku tertegun. Itu adalah pertanyaan yang sering kudengar dari banyak orang. Mahasiswaku, rekan kerjaku, temanku, bahkan keluargaku. Namun, kali ini, aku mendengar pertanyaan itu dari suamiku sendiri.

"Entahlah…" Aku menggantungkan ucapanku. "Ketika kau mencintai seseorang, kau takkan bisa melihat keburukan apapun."

Teddy tersenyum ringan. "Bukan saat yang tepat untuk merayuku."

"Aku bersungguh-sungguh," Aku ikut tersenyum. "Bahkan, di saat semua orang takut kepada matamu yang merah, aku melihat matamu sebagai sesuatu yang indah."

This is when 'monster' is not 'monster' in your eyes. Because of love.

"Mungkin, suatu saat, kau akan merindukan mataku yang merah ketika mataku sudah berubah menjadi ungu," ucapnya.

Kuharap begitu. Semua monster jahat yang berubah menjadi baik, warna matanya akan berubah menjadi ungu, terkenal sebagai warna mata terindah di negeri ini. Menurutku, mungkin, itu adalah reward yang diberikan semesta karena untuk berubah menjadi versi yang lebih baik lagi bukanlah sesuatu yang mudah. Hanya orang hebat yang bisa melakukannya.

Aku mencintai fakta bahwa dia memiliki kemauan untuk berubah. Aku mencintai fakta bahwa dia adalah monster yang mengerikan dan melakukan banyak kejahatan, tapi dia hanyalah seseorang yang penuh cinta di hadapanku. Seperti itulah hebatnya cinta bisa memberikan sudut pandang dari segi apapun. Seperti aku yang mencintainya, tak peduli apapun kekurangannya.

-----------------------------------------------

5 Jan 2023

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang