Di Sebuah Malam Minggu

349 22 0
                                    

"LO putus sama dia?" tanyaku, mengernyitkan dahi. "Kok bisa?"

"Gue jujur sama dia kalau gue udah punya yang baru," kata Jordy, enteng. "Gue jujur kalau sebulan gak kontakan sama dia tuh sebenernya gue deket sama cewek lain."

"Yah, seenggaknya lo jujur, bro," kata Fadil. "Gak munafik."

Aku hanya bisa terdiam, tak menjawab apa-apa. Aku benar-benar kaget dengan berita yang kudapatkan pada malam minggu ini. Setelah setahun Jordy dan Amel berpacaran, bisa-bisanya Jordy mengkhianati perempuan setulus Amel.

Aku tau persis, bagaimana seluk-beluk hubungan mereka karena akulah yang menjadi penghubung mereka berdua. Amel adalah temanku dan Jordy tanpa sengaja mengenal Amel dariku, jadi aku tau persis bagaimana mereka berdua.

Amel tak hanya sekedar teman bagiku. Aku sudah menyimpan perasaan untuk Amel selama dua tahun. Amel kerap bercerita mengenai apapun kepadaku, tapi aku takut, jika aku menyatakan perasaanku kepada Amel, Amel justru menjauhiku dan pertemanan kami berdua jadi hancur.

"Dari awal gue udah bilang, kalau gue bukan modelan cowok baik-baik dan bisa aja nyakitin dia, tapi dia tetep nerima gue. Jadi, itu udah jadi konsekuensi dia," kata Jordy, menyalakan sebatang rokok di antara jemarinya.

"Yah, lagian Laras lebih mantep daripada Amel sih, Jor. Wajarlah lo ninggalin Amel," timpal Yudi.

"Iya, sih. Amel juga gak bisa diajakin yang aneh-aneh, orang anak mami banget."

"Lo semua sakit, ya?" tanyaku, membuat semuanya menoleh ke arahku.

"Maksud lo?"

"Lo bilang apa, Dil? Seenggaknya si bajingan ini jujur? Gak munafik?" Aku terkekeh mentah. "Mau dia jujur kek, bohong kek, menurut lo yang dia lakuin tuh bener?"

"Chill, Ric. Lo kenapa, sih? Kok mendadak emosional gini?" tanya Jordy.

"Lo juga, Yud. Menurut lo cewek tuh apaan? Objek untuk jadi pelampiasan nafsu doang?" Suaraku meninggi, membuat semua temanku yang di sini lantas terdiam, sedikit bingung.

"Ya, kenapa? Kalau menurut kita cewek tuh cuma objek doang, lo mau apa?" Suara Jordy ikut meninggi.

Aku menarik kerah bajunya kasar, membuat lelaki tak tau diri ini sedikit terangkat. "Denger ya, njing. Dari awal, Amel tau lo kaya gimana, tapi dia nerima lo apa adanya. Dia coba buat ngertiin lo, tapi bukan berarti lo bisa seenaknya nyakitin dia. Lo punya otak, gak? Punya akal, kan? Dia ngambil risiko untuk bisa bareng sama lo! Harusnya lo malu dan tau diri dikit!"

Teman-temanku yang lain ikut berdiri dari duduknya, ingin menjadi penengah antara aku dan Jordy.

"Terus, kalau dia setuju untuk lo sakitin, itu artinya lo punya kebebasan untuk nyakitin dia mulu? Hah?" bentakku. Dadaku kembang kempis, menahan amarah yang sudah menguap.

Sepersekian detik, aku menghempaskan tubuhnya ke tempat duduknya semula, lalu meraih barang-barangku untuk pulang. "Kalau aja lo bukan temen gue, mungkin kepala lo udah gue pecahin daritadi."

---------------------------

3:49 PM, 19 Oktober 2021

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang