Musim Rindu

170 20 0
                                    

"AKU harus pergi untuk sementara waktu," ujar Jaidi. "Aku harus mencari banyak uang. Ini kulakukan demi masa depan kita. Orang tuamu takkan menerimaku sebelum aku mengantongi banyak uang, Sintia."

Sintia hanya menunduk dalam. Jaidi dapat melihat kesedihan yang tak bisa disembunyikan dari sorot mata itu. "Berapa lama?"

"Aku tak tau kapan," jawab Jaidi, menghela napas. "Aku akan kembali ketika aku sudah mapan. Aku akan terus mengirimimu surat. Kamu dengar aku?"

Sintia mengangguk pelan.

Jaidi dan Sintia adalah sepasang kekasih. Di tahun 80-an yang hanya memiliki surat untuk berkomunikasi bagi golongan menengah ke bawah ini, mereka merajut kasih dan memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan. Sayang sekali, niat itu tak disambut baik oleh keluarga Sintia. Jaidi bukanlah pemuda yang berasal dari keluarga terpandang, apalagi memiliki banyak uang. Jaidi hanyalah pemuda biasa yang selama ini tak memiliki pekerjaan tetap.

Sintia,
Aku sudah mendapatkan pekerjaan di kota ini. Ada banyak ketidaksenjangan sosial yang membuatku terpojokkan, tapi aku akan berusaha keras untuk mendapatkan banyak uang. Aku akan pulang kepadamu suatu saat nanti dengan versi yang lebih baik dari diriku.

Setahun, dua tahun, tiga tahun. Selama itu mereka menjalani hubungan jarak jauh dan terkadang, surat yang Jaidi kirimkan tak sampai kepada Sintia. Begitupun sebaliknya. Ada banyak kendala yang membuat hubungan mereka terombang-ambing sejak awal. Jika mereka dekat, mereka tersiksa oleh ketidakrestuan orang tua. Jika mereka jauh, Sintia tersiksa oleh rasa rindu.

Kapan kamu akan pulang?

Kalimat itu selalu Sintia sematkan dalam suratnya, setelah tiga tahun berpisah. Tiap kali Jaidi menerima surat dari Sintia, dia selalu membaca kalimat itu dan menyadari betapa menyakitkan penantian yang Sintia rasakan. Tak ada yang mau jika disuruh menunggu. Jika posisinya dibalik dan Jaidi ada di posisi Sintia pun, belum tentu Jaidi bisa bersabar. Namun, tujuan Jaidi bekerja keras dan hidup jauh dari Sintia pun demi kebaikan hubungan mereka.

Kapan kamu akan pulang?

Terkadang, Sintia menangis ketika menulis surat itu dan Jaidi dapat melihat buliran air mata yang membekas di suratnya.

Mas Jaidi,
Kapan kamu akan pulang? Sudah tiga tahun sejak kamu pergi. Menunggu bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Berjauhan darimu dan tak tau apa yang kamu lakukan, apakah kamu baik-baik saja, tak bisa mengetahui segala hal tentangmu di sana membuat batinku sakit. Mas, bolehkah aku merindukanmu? Dan jika aku boleh menjadi lebih egois, bolehkah aku memintamu untuk pulang? Aku sangat merindukanmu. Aku selalu menunggumu. Hari-hariku kunamai sebagai musim rindu.

Menunggu dan khawatir sudah menjadi makanan sehari-hariku. Apakah kamu senang bahwa kamu adalah alasan di balik kekhawatiran itu? Mungkin, kamu senang karena kamu bisa memetik kesimpulan bahwa sedalam itu rasa sayangku padamu sehingga membuatku khawatir seperti ini. Namun, aku tidak. Aku tak pernah senang akan hal itu. Ini menjenuhkan dan melelahkan. Kulakukan banyak hal agar tak terus larut dalam pikiran tentangmu. Namun, aku benci semua ini.

Jaidi dapat merasakan percikan amarah dari Sintia di surat itu. Dia dapat melihat betapa buruknya perasaan yang ditimbulkan oleh penantian dari sudut pandang Sintia, kekasihnya. Namun, bukannya berusaha menenangkan Sintia, Jaidi justru merasa marah. Pikirnya, dia melakukan semua ini demi Sintia, tapi kenapa perempuan itu tak bisa mengerti?

Kita sudahi saja hubungan ini. Maafkan aku.

Kalimat itu adalah surat terakhir yang Jaidi berikan kepada Sintia. Sejak itu, Sintia tak pernah memberikan balasannya.

Bertahun-tahun terlewati. Kini, Jaidi adalah seorang pria yang mapan. Usianya sudah menginjak tiga puluh tahun dan dia memutuskan untuk kembali ke kota asalnya. Dia berniat untuk mendirikan usaha di kota asalnya.

Usaha itu laku keras. Usaha makanan yang berasal dari kota tempatnya merantau selama lima tahun lamanya. Makanan asal kota sebelah itu laku keras dan membuat Jaidi hidup bergelimang harta. Seperti yang dia percayai, usaha tak pernah mengkhianati hasil.

Sampai suatu hari, matanya beradu dengan sorot mata yang selama ini dia rindukan. Perempuan itu mengenakan celemek dan sedang membersihkan dapur. Perempuan itu adalah Sintia. Tak dia sangka, perempuan itu bekerja di sebuah cabang usaha yang Jaidi dirikan.

"Kamu... apa kabar?" tanya Jaidi. Dia berusaha mengontrol ekspresi kaget dan bahagianya. Sedangkan perempuan yang di hadapannya hanya bisa menunduk dalam, mencerminkan perasaan sedih yang dia punya.

"Baik," jawabnya, singkat.

"Bagaimana dengan ayah dan ibu?"

"Mereka sudah tak ada."

Jaidi terdiam, cukup lama. "Maafkan aku. Sejak kapan?"

"Sejak dimana aku memintamu untuk pulang."

Jaidi terdiam lagi. Perempuan itu hanya bisa menunduk, seperti anak kecil yang merajuk karena tidak dibelikan permen.

"Aku merindukanmu dan aku membutuhkanmu, tapi kamu tak ada untukku."

Jaidi tak bisa menjawab apapun. Dia mematung di posisinya.

"Aku tau, kamu melakukan semuanya demi aku. Namun, dalam jalannya sebuah hubungan, haruskah aku yang selalu mengerti posisimu? Bagaimana dengan penantianku? Maukah kamu bertukar posisi denganku dan merasakan bagaimana rasanya menunggu?"

"Aku melakukan semuanya demi kamu, Sintia."

"Apakah kamu merasakan sakit ketika bekerja?" tanya Sintia. "Kamu memiliki kesibukan. Aku tak memiliki kesibukan selain menunggumu dan merindukanmu. Paham? Itu adalah perbedaannya."

"Maafkan aku," ujar Jaidi. "Hubungan kita berubah menjadi sesuatu yang pelik dan membuatku harus mengakhirinya, waktu itu."

"Jika kamu tak ingin direpotkan dalam hubungan, tetaplah sendiri," ujar Sintia. "Tau kalimat itu? Dan faktanya, kamu memang memilih untuk sendiri."

Jaidi meraih tangan Sintia. Jaidi terdiam sangat lama ketika dia melihat cincin di jari manis wanita tersebut. Tanpa Jaidi tanyakan, seharusnya Jaidi tau kalau Sintia sudah menikah.

Jaidi melepaskan pegangannya. Di dalam hatinya, sesungguhnya dia masih menyimpan perasaan yang sama untuk Sintia. Sayang sekali, hubungan mereka pernah kandas dan Jaidi lah yang membiarkannya pergi.

Sekarang, penantian Sintia menjelma menjadi penyesalan bagi Jaidi. Musim rindu itu sudah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang indah, Sintia menemukan orang baru. Semua itu takkan pernah terjadi, jika waktu itu Jaidi mau bersabar dan membicarakannya baik-baik, bukannya memutuskan hubungan mereka.

-------------------------------------------

17 Feb 2022

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang