Perempuan Berjaket Tebal

123 10 1
                                    

"AKU harus selesaiin tugas, malem ini," Aku meletakkan setumpuk buku ke atas meja belajarku. "Biar akhir minggu bisa males-malesan."

"Emangnya kapan terakhir dikumpulin?" tanya Doni, menaikkan sebelah alisnya. "Bukannya kamu sempet bilang kalau dikumpulinnya tuh masih minggu depan?"

"Iya," balasku, mengangguk, sembari membuka halaman pertama dari buku yang ada di hadapanku. "Biar bisa lebih tenang aja gitu ke depannya."

Doni berdiri di sebelah meja belajarku dengan wajah datar, sebenarnya sedikit tampak kecewa, hanya saja aku tak mengerti alasannya. "Beneran malem ini mau dipake buat belajar doang?"

"Kenapa?" Aku malah balik bertanya.

"Rencananya, aku mau ngajakin nonton," kata Doni, menaikkan kedua bahunya, pasrah. "Malahan udah siapin popcorn cokelat kesukaan kamu, tapi kalau kamu sibuk ya gapapa, sih."

Aku terdiam sejenak, cukup lama. Doni berbalik badan, berjalan menuju ruang tengah. Sepersekian menit setelah menimang-nimang mana yang harus kupilih, yaitu belajar atau menonton dengan pacarku, aku pun bangun dari posisiku, menutup bukuku, lalu berjalan menyusul langkah Doni menuju ruang tengah.

Aku menghempaskan tubuhku ke atas sofa, di sebelahnya. Doni sedang duduk santai di atas sofa dengan remote televisi di tangan kanannya, sibuk memilih tontonan yang akan dia nikmati malam ini. Doni mengernyitkan dahinya ketika aku duduk di sebelahnya, lalu menyandarkan kepalaku di bahunya.

"Gak jadi?" tanya Doni, meraih setoples popcorn cokelat, lalu menyodorkannya kepadaku.

"Gak."

"Bagus, deh," balas Doni. "Eh, bukan maksudnya aku dukung kamu jadi mahasiswa males. Maksudku, ya aku cuma pengen ngabisin malam Sabtu kali ini bareng kamu."

Aku tersenyum, mengangguk mengerti.

"Lagian, belajar mulu," komentar Doni. "Emangnya kamu di kampus juga dipandang sebagai mahasiswa rajin gitu, ya?"

"Iya," jawabku. "Eh, bisa gak, tema tontonan malem ini jangan superhero, gitu."

"Lah, terus apa?" tanya Doni. "Jangan bilang anime lagi."

Aku tersenyum lebar, merayunya agar mengganti tontonan malam ini.

"Emangnya kamu di kampus gak dipandang sebagai wibu gitu, ya?" tanya Doni, mengulang template pertanyaan yang sama dengan pertanyaan semenit sebelumnya.

"Gak, habisnya kamu gak bolehin beli jubah."

"Astagfirullah."

Aku tertawa, dia pun tertawa.

"Ngapain sih mikirin pandangan orang," kataku. "Bagi aku, yang penting tuh pendapat kamu. Orang lain ya terserah mau mikir apa soal aku."

Aku sedikit kesal jika sudah membahas pandangan orang lain mengenai diriku karena menurutku, terkadang orang-orang terlalu lancang untuk mengeluarkan pena merah dan memberikan penilaian terhadap fisik kita, kepribadian kita, apapun di diri kita bahkan tanpa mereka mengenali kita.

Aku adalah orang yang tertutup dan tak terlalu pandai berbaur dengan banyak orang. Wajahku super datar, terkadang orang menilaiku sebagai orang yang jutek dan galak. Itu salah satu alasan membuatku tak bisa dengan mudah berteman dengan orang lain. Alasan lainnya? Aku memang tipikal orang tertutup, seperti yang sudah kukatakan. Aku membatasi orang untuk masuk kehidupanku dan mengetahui banyak hal mengenai aku. Itulah kenapa aku tak pernah memiliki banyak teman sejak kecil.

"Oh, ya? Coba kupikir-pikir, kalau pandangan aku ke kamu, ya... hm..." Doni memutar kedua matanya, pura-pura berpikir keras. "Tiga trait aja, ya?"

"Iya."

"Wibu, wibu, wibu."

"Males, ah."

Doni tertawa. "Ya habisnya, ada banyak sifat kamu yang aku tau tapi orang gak tau, gak bisa kubilang semua. Mulai dari yang aneh kocak sampe yang baik. Contohnya, yang aneh ya, kebiasaan kamu yang gak nanya harga dulu kalau beli barang, tidur larut malem tanpa tujuan yang jelas, makan gak teratur suka-sukanya aja. Udah gitu, wibu."

"Wibu mulu yang dimention, ah. Males."

Doni menahan tawanya. "Belum lagi yang bawaan lahir. Mau bilang uler aja susahnya ngalah-ngalahin ngerjain invers matriks matematika saking gak bisa bilang huruf R."

"Lah, kata siapa?"

"U?"

"U."

"Ler."

"Ler." Aku mengikutinya dengan pelafalan huruf R-ku yang memang kurang jelas tiap kali diucapkan.

"Bubar, udah," Doni tertawa. "Udah gitu, masih aja denial si kocak."

"Padahal cadelku juga gak separah itu, loh," belaku. "Temen-temenku gak ada yang notice."

"Yaelah, aku tuh bukan sesuatu yang bisa kamu bandingin sama temenmu, ya," ujar Doni. "Temen-temenmu cuma tau seujung kuku doang dari diri kamu."

"Oh, ya?" Aku tersenyum.

Doni mengangguk. "Aku tau kamu dari yang jelek sampe yang bagus. That's what I said."

"Banyakan yang jelek sih tapi, ya."

"Yah, kalaupun banyakan yang jelek, itu tuh udah gak kaya kekurangan lagi di mataku," jelasnya. "Karena udah kecintaan banget kali, ya."

Aku menahan tawaku. Kedua mata kami menatap film yang baru saja dimulai. Pada akhirnya, Doni memutar film dengan tema superhero kesukaannya yang justru bukan tontonan yang kusuka, tapi menurutku, yang terpenting dari menonton di ruang tengah dengannya bukan tontonannya, tapi betapa aku bisa menghabiskan waktu dengan orang yang paling membuatku merasa nyaman. Betapa itu dengan ajaibnya bisa mengobati semua kerumpangan perasaanku dalam satu hari, setelah melewati banyak hal.

Aku merangkul pinggangnya. Mungkin, dia akan menikmati film malam ini. Sedangkan aku, lebih memilih untuk menikmati menghabiskan waktu bersamanya. Meskipun aku tetap akan menonton film kesukaannya dengan beberapa ledekan mengenai superhero tersebut, sekedar untuk membuatnya sebal.

Aku menyadari bahwa aku merasakan kenyamanan bukan karena tanpa alasan. Namun, dia yang mengetahui semua hal dariku, mulai dari yang buruk sampai yang baik, tanda bahwa aku tak perlu membuang energi untuk berpura-pura di hadapannya. Bersikap apa adanya ketika bersamanya. Tanpa perlu kukaji ulang, sejujurnya itulah yang membuatku merasa nyaman dengannya.

Aku, orang yang tertutup dan memang tak mau orang tau banyak hal mengenai diriku, jujur terkadang merasa lelah untuk mencoba menjadi versi diri yang berbeda dari diriku yang sebenarnya, hanya demi agar orang menyukaiku. Namun, ketika aku bersama Doni, aku tak pernah merasakan hal itu. Aku sering melakukan hal konyol saat bersamanya dan dia tak pernah marah. Dia hanya menertawakanku, meledekku, tapi tetap memberitahuku mana yang baik dan mana yang tidak. Ketika bersamanya, aku belajar untuk menjadi lebih baik. Bukan berpura-pura menjadi lebih baik dari diriku yang sebenarnya, seperti yang kulakukan jika bertemu orang lain.

Aku adalah perempuan dengan jaket yang berlapis-lapis. Namun, setebal apapun jaket yang kutambahkan untuk menutupi tubuhku, Doni mengetahui semua warna dan bahan dari jaket itu.

-----------------------------------------------

7 Apr 2023

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang