24 Years-Old Guy

499 31 2
                                    

KOPI dengan susu tanpa gula menjadi teman dari laptop dan buku catatan yang ada di atas meja. Di toko pizza ini, aku hanya duduk dengan secangkir kopi, sembari menopang dagu dan berkutat dengan laptop di hadapanku. Terlalu banyak orang, terlalu banyak anak muda. Mereka datang kemari dengan teman-teman mereka, mungkin aku adalah satu-satunya yang sendirian di antara banyak orang ini.

Merasa sendirian di dalam keramaian itu nyata. Tempat ini sesak dan terlalu banyak orang, membuat kepalaku pusing. Namun, ada sesuatu yang kuhindari jika aku tetap di rumah dan tak melakukan apapun.

Dari sudut mataku, aku bisa melihat ada beberapa anak lelaki yang selalu mencuri pandang ke arahku. Aku lebih tertarik untuk meninggikan volume dari lagu yang kudengar, tak mempedulikan mereka. Jika aku perempuan yang jahat, mungkin aku akan membalas pandangan mereka dan jika aku tertarik, aku bisa saja menjadikan mereka pelampiasan untuk mengobati patah hatiku.

Atau aku bisa saja menatap tajam, mengusir pandangan mereka dariku. Namun, aku terlalu lelah untuk melakukan semua itu, jadi aku hanya bisa diam, pura-pura tak tau.

Selama 18 tahun, aku sudah berkali-kali mengalami patah hati. Mantan pacarku mungkin hanya dua orang, tapi percayalah dalam proses menemukan 'orang yang terbaik' kita perlu saling merobek hati beberapa kali dan sudah banyak benang jahit yang dipakai untuk menyatukan kembali hati yang robek itu.

Mencintai orang lain adalah obat paling ampuh agar kita bisa melupakan cinta yang lama. Aku beberapa kali mendengar ucapan itu dan aku setuju dengan pernyataan itu. Munafik jika kukatakan bahwa aku tak pernah menjadikan orang lain sebagai 'alat' agar bisa melupakan lelaki yang sebelumnya. Tentu saja aku pernah.

Tentu saja aku pernah mengembara dan bertamu ke sebuah istana yang damai, lalu menghancurkan ketenangan istana itu. Tentu saja aku pernah 'berperang' dengan diriku sendiri lalu merusak ketenangan orang lain. Tentu saja aku pernah berlumuran darah dan meminta obat kepada seseorang yang baik, lalu menusuk punggung orang tersebut.

Aku pernah menjadi bajingan seperti itu, patah hati lalu menjadikan orang lain sebagai pelampiasan agar aku bisa sembuh. Yang terjadi adalah bukannya sembuh, orang itu justru ikut sakit karenaku, karena dia sendiri bukanlah seorang dokter. Dia tak tau cara menyembuhkan orang lain. Ibaratnya, dia menganggap kita adalah pasangan, tapi aku menganggap kita berdua adalah dokter dan pasien.

Kali ini, aku bahkan tak butuh pelampiasan. Aku tak perlu disembuhkan. Patah hati terakhirku benar-benar patah hati paling tenang di antara semua patah hati yang pernah kurasakan. Jika semua patah hatiku yang sebelumnya membuatku banjir air mata, insomnia, overthink, dan hal buruk lainnya, patah hati terakhirku justru tak membuahkan reaksi apa-apa untukku.

Tak ada orang yang mencintai sedemikian rupa lalu tenang-tenang saja ketika ditinggal pergi. Aku juga sakit akan perpisahan terakhir ini, tapi ibaratnya, jika biasanya aku berdarah, kali ini aku pecah.

Tak ada 'hal mengerikan' dari perpisahan itu. Tak ada seramnya merah darah dari perpisahan itu, yang ada hanyalah serpihan kaca yang berserakan, tapi mudah untuk dibersihkan dan dihilangkan jejaknya, seakan-akan jika bukan karena orang melihat langsung kerumpangan dari suatu benda itu, orang-orang takkan menyadari bahwa sempat ada perpecahan disitu.

Orang-orang bahkan takkan tau kalau aku baru saja patah hati, saking datarnya ekspresiku untuk perpisahan ini.

Lelaki berusia 24 tahun dengan senyuman menawan dan tawa yang menjadi favoritku itu hanya pergi, meninggalkanku ketika aku sedang tertidur, membawa semua barang miliknya dari 'rumah' yang kita diami bersama, sampai tak ada satupun barangnya yang tersisa, kecuali beberapa fotonya yang kusimpan di dalam lemariku.

Tak ada kekecewaan. Tak ada rasa sakit. Tak ada tangisan. Tak ada darah. Aku baik-baik saja saat membaca surat perpisahannya. Dia berulang kali menuliskan kata maaf disana, menjelaskan bahwa dia tak bisa melanjutkan hubungan ini dengan semua kekhawatiran yang bersarang di kepalanya.

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang