Secangkir

183 16 0
                                    

"SEPERTI biasa, Mbak."

Lelaki itu tak pernah absen untuk datang ke kafe tempat aku bekerja. Aku sudah hafal, di setiap sekitar pukul tujuh malam, dia akan duduk di meja paling sudut dan memesan secangkir kopi. Dia selalu memesan kopi yang dominan rasa manis. Sudah ditambah susu, ditambah lagi dengan gula. Padahal, wajahnya saja sudah manis, mungkin begitulah yang akan seorang wanita katakan jika have a date night dengannya di kafe ini, tapi sayangnya, dia selalu datang sendirian dan sibuk sendiri dengan kerjaannya.

Dia selalu duduk di meja paling sudut dengan laptop yang dipenuhi stiker Star Wars. Dia selalu mengenakan jaket. Terkadang, kuperhatikan, warna dari jaketnya itu cocok-cocokan dengan moodnya pada hari itu. Jika dia mengenakan jaket berwarna gelap, maka dia datang dengan wajah yang kusut dan lelah. Jika dia mengenakan jaket berwarna terang, kebetulan pula dia datang dengan secercah senyuman di wajahnya. Terkadang, lebih tampak seperti secercah matahari terbit di mataku.

Mungkin, sama seperti namanya. Sinar. Itulah nama yang selalu dia gunakan untuk memesan meja paling sudut tersebut.

Aku sudah bekerja di kafe ini selama tiga bulan, tapi baru kali ini aku menotice pelanggan dengan kedatangan yang berturut-turut. Kedatangannya di setiap pukul tujuh malam itu membuatku hafal dengan wajahnya, kebiasaannya, dimana dia duduk, dan apa yang dia pesan. Terkadang, dia sekalian makan malam dengan menu favoritnya, yaitu nasi goreng spesial tanpa ati ampela, lalu terkadang dia hanya sekedar memesan kopi untuk menemaninya berkutat di hadapan laptop berstiker Star Wars tersebut, barangkali sudah makan malam di kantornya sebelum ke sini.

Aku sempat bertanya-tanya tiap kali aku melihat seutas senyumannya yang dia lemparkan kepadaku tiap kali aku membawa nampan berisi kopi kemanisan itu; apakah dia mengenal wajahku sebagai pelayan di kafe ini seperti aku yang mengenali wajahnya di antara banyaknya pelanggan yang datang ke kafe ini?

Pertanyaan itu terbalaskan di suatu malam ketika laptopnya ketumpahan air mineral saat dia sedang mengerjakan sesuatu di laptopnya, seperti biasa. Perhatianku cukup tersita meskipun aku tengah melayani pelanggan lain sehingga aku segera menghampiri lelaki tersebut, mencoba bertanya dan membantu meskipun dia tampak begitu panik.

"Saya pernah ngalamin kejadian yang sama, Mas," ujarku. "Solusinya waktu itu, laptopnya didiemin di dalem beras gitu."

Sinar menaikkan sebelah alisnya. "Berhasil?"

"Berhasil sih, waktu itu..." balasku ragu, apalagi ketika melihat ekspresi tak yakin yang terlukis jelas di wajahnya. "Tapi, kalau mau lebih aman, mungkin Mas bisa langsung ke tempat servis laptop aja."

Beberapa hari berlalu sejak saat itu. Aku tak melihat Sinar datang ke kafe ini seperti biasanya, barangkali laptopnya memang rusak yang artinya tak ada yang bisa dia kerjakan di kafe jika laptopnya memang tak bisa digunakan. Namun, di suatu pagi, aku sedikit kaget melihat Sinar yang datang ke kafe untuk memesan segelas kopi hangat untuk ditake away. Biasanya, dia hanya datang pada malam hari. Dia mengenakan jaket berwarna tosca terang. Ketika kedua matanya menangkap diriku, dia tersenyum ke arahku, berbinar, dan segera melambaikan tangan, membuatku sedikit kaget dan mematung di tempat untuk beberapa detik.

"Tips yang kamu kasih kemarin ternyata berhasil," katanya, langsung membuka obrolan. "Makasih, ya."

Aku tersenyum, mengangguk. Namun, ada yang berbeda hari itu, selain kedatangannya yang bukan di malam hari melainkan pagi hari. Dia meminta nomor teleponku pagi itu. Tanpa pikir panjang, aku pun memberikannya. Sejak itu, aku tau jawaban dari pertanyaanku. Dia akhirnya menyadari keberadaanku, seperti aku yang mengenalinya di antara banyaknya pelanggan yang datang dan pergi di kafe ini.

"Nisa."

Begitulah sapanya tiap kali dia memasuki kafe dengan seutas senyuman yang menghiasi wajahnya, bagaikan mesin handal pencipta goosebumps, di telingaku. Kami jadi sering teleponan, terkadang bisa sampai pagi, begadang bersama, meskipun keesokan paginya kami ada kerjaan. Aku tak pernah suka tidur larut malam. Aku adalah wanita disiplin yang terbiasa tidur lebih awal dan bangun lebih pagi. Namun, sesuatu yang kubenci jadi menyenangkan jika bersama Sinar.

Aku tak mengerti kenapa kami jadi dekat. Namun, kedekatan kami hanya sebatas mengobrol di kafe dan teleponan di malam hari sampai pagi tiba. Dia tampak seperti pria yang sibuk sehingga aku tak berani mengajaknya keluar karena takut akan penolakan, entah jika alasannya adalah sibuk ataupun hal lainnya.

"Aku bingung sama orang yang kalau makan bubur gak diaduk," kata Sinar, di suatu malam, via telepon. "Kalau gak diaduk, bakalan ada bagian yang hambar. Apa enaknya begitu?"

"Yah, aku juga tim bubur diaduk, tapi aku masih menghargai selera tim bubur gak diaduk," balasku.

"Oh? Baru kali ini aku kenal sama orang yang satu tim sama aku soal bubur," kekehnya. "Kalau naget rebus? Menurut kamu, aneh, gak?"

"Aku baru coba beberapa minggu yang lalu sih, iseng doang. Enak-enak aja, sih."

"Iya, kan?" Sinar terdengar bersemangat. Aku hanya bisa menahan senyumanku. "Aku sempet campur itu sama mie kuah. Enak loh, kenapa banyak yang gak suka, ya?"

Kalau aku boleh jujur, obrolan kami tak pernah penting. Benar-benar menghabiskan waktu, tapi aku menyukainya. Aku sempat berpikir... bagaimanakah Sinar yang dalam mode serius? Dia selalu bercanda ketika mengobrol dan kami pun tertawa bersama. Hanya saja, aku percaya bahwa semua kesibukan dan betapa beratnya hari-harinya itu, mungkin semuanya dia tinggalkan di kantornya. Itulah kenapa aku tak pernah mendengarnya mengeluh ataupun membicarakan sesuatu yang serius.

Namun, perlahan, semuanya berubah. Perlahan, Sinar jarang sekali datang ke kafe seperti biasanya, kalaupun dia datang, dia hanya sekedar menyapa dan duduk sebentar, lalu pulang. Dia juga sudah jarang meneleponku. Kami hanya beberapa kali chatan, meskipun masih membahas yang tidak penting, tapi terasa hambar, seperti bubur yang tidak diaduk, seperti kata Sinar.

Aku sempat bertanya, apa yang terjadi? Apakah dia memiliki masalah sehingga membuatnya menjadi secangkir kopi yang sudah dingin karena didiamkan terlalu lama? Namun, ketika kutanya, katanya tak ada masalah, dia merasa semuanya normal saja. Kupikir, ya, semuanya normal saja, tapi lebih seperti hari-hari 'normal' dimana kami sekedar pelanggan dan pelayan di sebuah kafe, dibandingkan dengan dua orang yang berteleponan sampai pagi hari tiba.

Sampai akhirnya, perlahan, hari-hari yang normal seperti kata Sinar itupun berubah menjadi hari-hari layaknya dua orang yang tak saling mengenal. Dia masih datang ke kafe untuk mengerjakan kerjaannya dan berkutat di hadapan layar laptopnya, tapi semuanya kembali seperti semula, seakan laptop berstiker Star Wars itu tak pernah ketumpahan air mineral dan aku tak pernah memberikan tips beras yang aneh itu kepadanya.

Seakan tak pernah ada dua orang yang teleponan sampai pagi tiba, seakan tak pernah ada dua orang yang membicarakan sekte bubur dan naget rebus. Padahal, meskipun sebentar, kami sempat sedekat nadi, sebelum akhirnya kembali sejauh matahari. Kami selalu membicarakan sesuatu yang tidak penting, mungkin serupa dengan wujud dari hubungan kami.

Mungkin, hanya aku yang menganggap teleponan sampai pagi dan tidak penting itu istimewa. Mungkin, hanya aku yang memiliki harapan berlebihan dan seenaknya menggantungkan itu kepada Sinar, lelaki yang sempat dekat denganku, padahal sebenarnya aku tak tau apapun mengenai dirinya. Mungkin, kami bertukar terlalu banyak cerita sampai sudah tak ada rasa penasaran lagi di hatinya mengenai diriku, itulah kenapa kami kembali menjadi dua orang yang asing. Aku sempat berpikir, dia adalah matahari terbit. Mungkin, aku salah. Dia adalah matahari jingga yang tenggelam, mengalah, dan siap menutup hari. Aku senang dibuatnya, tapi hanya sebentar.

Aku sempat mengira bahwa matahari tenggelam itu tidak panas dan tidak menyakitkan. Namun, kenapa aku terbakar dibuatnya?

Sampai akhirnya begitu asing, sampai dia sudah tak pernah lagi datang ke kafe tersebut. Aku hanya bisa menjadi penonton postingannya di sosial media dan dia tampak baik-baik saja, aku turut senang. Namun, aku, di setiap malam hanya bisa duduk melamun dengan secangkir kopi yang kemanisan, menaruh terlalu banyak takaran sendok kerinduan di dalam kopi tersebut, setiap malam merasa bimbang apakah aku harus menelepon Sinar duluan, mungkin sekedar menanyakan kabarnya. Namun, setiap malam pula aku urungkan niatku karena aku tau, dia pun memiliki secangkir kopi di rumahnya saat ini. Secangkir kopi yang kosong. Secangkir kopi dari rasa penasarannya terhadapku.

-----------------------------------------------

24 Mar 2023

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang