Rio's Call

271 32 2
                                    

"KITA harus sepakat untuk gak boleh ada perasaan satu sama lain," ujarku merapikan buku-buku di atas meja. "Lo setuju?"

"Piece of cake," kekeh Rio, mengulurkan tangannya. "No feelings. Deal?"

Aku membalas uluran tangan tersebut, lalu tersenyum ke arahnya. "Deal."

Namaku Rene, perempuan berusia 20 tahun. Kesibukanku saat ini hanyalah sebagai seorang mahasiswa sastra dan jauh dari orang tua. Lalu, lelaki yang bersamaku ini bernama Rio, sepantaran denganku dan satu universitas, tapi tak satu jurusan. Dia adalah mahasiswa hukum.

Aku menyukai Kak Ali, temanku sejak masih kecil sekaligus dosen di universitasku. Usia kami terpaut 10 tahun, tapi dia awet muda dan bahkan tampak hanya tua dua atau tiga tahun dariku. Kak Ali belum menikah, tapi dia sudah berpacaran dengan Kak Julia, salah satu mahasiswa dan asisten dosen, di universitas kami.

Di sisi lain, Rio menyukai Kak Julia. Mereka adalah sepasang kekasih di masa lalu. Seperti yang sama-sama kita ketahui, Kak Julia sudah melupakan Rio, tapi Rio masih dengan perasaan yang sama.

Pertama kali aku berkenalan dengan Rio adalah ketika aku tak sengaja membuka buku catatannya yang tertinggal di kantin kampus, lalu aku menemukan nama Kak Julia di punggung buku tersebut. Awalnya, kupikir, buku itu milik Kak Julia, tapi ada nomor telepon di depan buku itu, mungkin untuk memudahkannya jika buku itu hilang.

"Lo suka sama Kak Julia, ya?" tanyaku menyeringai, sembari menopang dagu.

Rio terdiam cukup lama, menyeruput jus melon di hadapannya. "Dia cuma bagian dari masa lalu gue. Lo sebaiknya tutup mulut soal ini."

Aku mangut-mangut, mengerti. "Mau jadi pacar gue, gak?"

Rio tersedak, terbatuk usai mendengar ucapanku. "Hah?"

"Bukan pacar beneran. Pacar pura-pura. I mean, lo bisa anggep gue sebagai Kak Julia dan gue bisa anggep lo sebagai Kak Ali. Mutualisme, kan?" kataku.

Sejak itu, aku dan Rio kerap bersama. Tiap kali dia menyentuhku, memelukku, menciumku, aku selalu membayangkan bahwa yang melakukan itu semua bukanlah Rio, tapi Kak Ali, begitupun sebaliknya.

Aku kerap datang ke apartemennya hanya untuk mengobrol dan bermain game. Dia berhasil menjadi pacar yang baik dan menawan, bagiku. Meski mau bagaimanapun, dia tetaplah Rio, bukan Kak Ali.

Hanya satu yang tak kusuka dari Rio. Dia selalu menghilang pada malam hari, bermain bersama teman-temannya. Dia merokok dan minum, meskipun kenakalannya tak sampai ke narkoba ataupun meniduri para wanita. Aku tak suka akan hal itu, tapi aku tak berani melarang Rio. Toh, aku dan dia berpacaran tanpa adanya perasaan satu sama lain. Jadi, dia mau melakukan apapun juga bukan urusanku, meskipun aku tak bisa membohongi diri sendiri bahwa aku mengkhawatirkannya.

Dia punya satu kebiasaan aneh, yaitu meneleponku dan membicarakan hal-hal aneh ketika mabuk. Aku tak bisa melakukan apapun selain mendengarkannya, meskipun kebanyakan hanyalah keluh kesah tak penting mengenai keluarganya, Kak Julia, betapa menyebalkan dosennya hari itu, dan lain-lain. Namun, aku tak pernah memberitahu Rio mengenai kebiasaannya yang meneleponku ketika mabuk.

Setahun berjalan. Pelan tapi pasti, aku tak merasakan ada rasa cemburu lagi yang timbul ketika aku melihat Kak Ali dan Kak Julia bersama. Mau semesra apapun mereka di tempat umum, di sosial media, atau di manapun, aku sudah tak merasakan apa-apa. Aku tak mengerti, padahal aku sudah menyukainya selama bertahun-tahun. Apakah perasaan cuek ini datang karena aku sudah terbiasa atau memang karena aku sudah tak ada perasaan lagi kepadanya?

Sebaliknya, aku justru merasa bahwa kepedulianku terhadap Rio semakin menjadi-jadi. Aku, yang selama ini tak peduli dia mau kemana tiap malam, jadi menunggu pesannya pada pagi hari, sebagai tanda dia pulang ke apartemennya dengan selamat dan baik-baik saja. Bahkan terkadang, aku menunggu telepon darinya pada tengah malam, meskipun aku tau dia hanya mabuk dan membicarakan hal tak penting.

Sampai suatu hari, aku menerima satu telepon darinya. Kali ini, dia tak membicarakan keluarganya, Kak Julia, dosennya, atau bahkan teman-temannya.

"Rene, I love you, okay."

Aku melebarkan mataku, kaget.

"Gue sayang sama lo. Lo satu-satunya orang yang gue peduliin saat ini," katanya, dengan suara tak karuan. "Gue tau, kita udah sepakat untuk gak boleh ada perasaan. Tapi, Rene, I love you and it makes me insane."

Aku yang awalnya tengah mengupas buah apel menggunakan pisau, tak sengaja melukai jariku sendiri karena ucapan Rio yang mengagetkanku dan membuatku speechless.

"Gue tau, dari awal kita udah sepakat untuk saling bermain peran. Gue jadi cowok yang lo suka dan lo jadi cewek yang gue suka. Tapi, cara lo ngomelin gue, meluk gue, cium gue, gandeng tangan gue… tiba-tiba gak terasa kaya Kak Julia lagi, bagi gue," katanya, masih dengan suara yang tak karuan. "I want you, Rene."

Usai menutup telepon, aku segera menuju apartemen Rio. Untungnya, aku mengetahui kata sandi apartemennya. Tak ada yang kuinginkan saat ini, selain memeluknya. Sebelum aku menemuinya, kupikir aku takkan bisa tidur dengan tenang, malam ini.

Dia tertidur, terbaring telentang di atas kasurnya dengan sepatu yang masih terpasang. Wajahnya sedikit merah dan terasa hangat saat kusentuh. Rambutnya acak-acakan. Tangannya masih menggenggam ponselnya. Sepertinya, dia langsung tertidur usai meneleponku.

Aku tersenyum, mengelus rambutnya. Besok pagi, dia akan kebingungan kenapa aku di sini dan tersipu ketika aku menceritakan apa yang terjadi tadi malam padanya.

------------------------

1:24 PM, 19 Oktober 2021

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang