Kastil Tak Berpintu

94 12 0
                                    

Semua orang pasti mengenal Putri Niana, wanita yang tinggal di kastil tua di tengah hutan. Kastil tua dengan warna merah muda mencolok meskipun sudah pudar, serta temboknya sudah dipenuhi lumut dan tidak terurus. Putri Niana tinggal sendiri di kastilnya dan hanya keluar untuk mencari bahan bakar dan bahan makanan.

Konon katanya, Putri Niana dulunya adalah perempuan yang memiliki banyak teman dan kastilnya menjadi tempat favorit semua penghuni hutan, sampai suatu hari seorang penyihir memberinya kutukan bahwa tidak akan ada yang mau berteman dengannya.

Sejak saat itu, baik itu hewan, ataupun orang yang lewat untuk berburu di hutan, tak satupun ada yang mau singgah ke kastil Putri Niana lagi. Dia menjalani hari-harinya sendirian dan dia juga sudah menerima keadaannya. Dia bahkan menutup jalan masuk di kastilnya sehingga kastilnya sudah tidak memiliki pintu. Hanya ada jendela dari lantai paling atas dan kalaupun dia ingin turun, dia akan menggunakan tali.

Suatu hari, hujan turun dengan sangat deras. Akhir-akhir ini, cuaca memang sangat buruk. Pagi ataupun malam selalu diguyur oleh hujan, bahkan Putri Niana jadi jarang keluar rumah dan hanya memasak dengan bahan makanan seadanya.

Ketika Putri Niana sedang duduk di kursi goyangnya yang nyaman sambil merajut, dia benar-benar kaget ketika seseorang tiba-tiba masuk ke dalam kastilnya melalui jendela. Jendela yang terletak di lantai paling atas dan setinggi itu mampu dipanjat oleh seseorang. Atau mungkin, lebih pantas disebut sebagai seseekor?

"Pergi atau aku terpaksa harus nyakitin kamu," ucap Putri Niana berjalan mundur secara perlahan, tak mau menciptakan gerak-gerik yang membuat serigala di hadapannya jadi merasa terancam dan tiba-tiba menyerangnya. "Aku punya banyak alat perlindungan diri karena biasa tinggal sendiri."

"Putri, aku ke sini bukan untuk nyerang kamu," ujar serigala tersebut. "Aku cuma lagi berburu dan mataku gak bisa berfungsi dengan baik kalau gelap, apalagi di luar hujan. Aku cuma ngikutin cahaya yang mataku tangkep. Akhirnya, aku di sini."

Putri Niana terdiam, berhenti melangkah mundur. "Kamu gak bakalan nyakitin aku?"

"Aku gak kaya gitu," jawab serigala. "Mukaku mungkin keliatan sangar, tapi aku gak jahat."

Putri Niana terdiam, cukup lama. Dari sorot matanya, serigala bisa melihat betapa curiganya Putri Niana kepada dirinya dan sejujurnya, itu adalah sesuatu yang wajar dan sudah berulang kali dia lihat.

"Aku gak tertarik untuk makan manusia. Toh, aku juga sebenernya manusia. Aku dikutuk jadi serigala," ujar serigala, menghela napasnya berat. "Ah ya, namaku Sebastian."

"Dikutuk?" Putri Niana mengernyitkan dahinya, berjalan mendekat. Seketika, semua kecurigaannya mulai memudar ketika dia mengetahui bahwa hewan menyeramkan di hadapannya ini juga bernasib sama sepertinya. Orang yang mencoba tetap menjalani kehidupan meskipun ada kutukan yang menempel pada diri mereka.

"Aku tau kalau Putri juga ngalamin hal serupa," balas Sebastian, tampak tak enak membahas hal tersebut.

Putri Niana tak membalas apapun. Dia pun balik badan dan berjalan menuju dapur. "Aku bikinin teh hangat buat kamu."

Malam itu, Putri Niana dan Sebastian menghabiskan hampir sepanjang malam untuk mengobrol dengan secangkir teh di genggaman mereka. Mereka membicarakan kutukan yang mereka miliki, tapi Sebastian tau caranya untuk membuat obrolan mereka jadi tak kaku meskipun nasib mereka sama-sama tak beruntung. Setelah hampir sepuluh tahun sendiri dan mengemban kutukan ini, Putri Niana jadi ingat bagaimana hangatnya mengobrol dengan orang lain sambil tertawa bersama.

"Tapi, menurutku agak aneh, Putri," ujar Sebastian, memberi jeda. "Kastil ini gak ada pintu sama sekali. Aku sampe matahin cakarku karena harus manjat ke atas."

Putri Niana terdiam sejenak. "Iya, emang sengaja kubuat kaya gitu."

"Sengaja? Kenapa?" Sebastian mengernyitkan dahinya. "Bukannya kamu juga pasti kesulitan naik turun dari kastil kalau pakai tali?"

"Kayanya aku lebih baik nyakitin tanganku karena pegangan ke talinya daripada aku sakit di sini," jawab Putri Niana, memegang dadanya.

Sebastian terdiam, menunggu kelanjutan ucapan Putri Niana yang dari intonasi suaranya sudah jelas menggambarkan kesedihannya.

"Karena kalau ada akses untuk orang bisa masuk ke sini, aku bakalan terus berharap bakalan ada orang yang dateng dan aku gak suka perasaan berharap," jawab Putri Niana, apa adanya. "Soalnya, bagian paling menyakitkan dari kesepian adalah ketika kita berharap bakalan ada orang yang dateng. Entah itu sengaja atau enggak."

Sebastian bisa melihat kesedihan di manik mata Putri Niana. Jelas, Putri Niana sudah lama menyimpan kesedihan dan rasa sepi itu, tapi dia telan mentah-mentah karena tak ada yang dia bisa lakukan selain terus berjalan. Hidup terus berjalan. Selain itu, entahlah… mungkin, Sebastian bisa memahami Putri Niana karena dia mengalami hal yang sama. Terkadang, orang memang baru bisa paham dan menghormati keadaan orang lain jika mengalami hal yang sama.

"Sejak kena kutukan, aku jadi rajin berdoa," Putri Niana memberi jeda. "Aku selalu berdoa ke Tuhan agar ada orang yang mungkin secara gak sengaja sakit, tersesat, atau apapun kondisinya di tengah hutan dan butuh pertolonganku. Dan mungkin kita bisa jadi teman."

"Ya… mungkin hari ini, Tuhan ngabulin doa kamu," ujar Sebastian, tersenyum. "Aku juga jadi rajin berdoa sejak kena kutukan. Kita emang jadi lebih tau diri setelah dikasih cobaan."

Putri Niana terkekeh kecil. "Gitu, ya."

Waktu berlalu dengan cepat, sampai mereka tak sadar matahari sudah merangkak naik, tepat ketika mereka sudah mulai banyak menguap satu sama lain. Namun, karena hujan sudah reda, Sebastian memutuskan sudah waktunya untuk pergi.

"Kalau gitu, makasih udah nerima aku di sini dan ngobrol sama aku," ujar Sebastian, berdiri di dekat jendela sambil tersenyum.

"Aku juga harus bilang makasih. Momen ini berarti banget bagi aku," balas Putri Niana.

Ada banyak orang yang mungkin menganggap bahwa mengobrol adalah hal yang lumrah untuk dilakukan. Namun, bagi orang yang kesepian… bisa mengobrol adalah hal yang cukup istimewa. Hal yang bisa membuat hariーbahkan mingguーmereka menjadi lebih baik. Hal yang bisa membuat suasana hati mereka terasa lebih terang. Hal lumrah yang mungkin tak cukup banyak orang-orang syukuri. Begitu pula dengan Sebastian. Ada orang yang mau mengobrol dengannya tanpa merasa takut juga sesuatu yang sangat berarti baginya.

"Boleh aku ke sini lagi kapan-kapan?" tanya Sebastian, menatap dengan penuh harap.

Putri Niana tampak sedikit kaget campur berbinar, lalu mengangguk dengan semangat.

"Tapi mungkin, lain kali aku bisa masuk ke sini lewat pintu aja?" kata Sebastian lagi, terkekeh kecil. "Kalau kamu emang gak mau kesepian, kamu harus tetep ngasih akses biar orang bisa masuk. Kalau enggak, jadinya malah kamu yang ciptain rasa kesepianmu sendiri."

Putri Niana terdiam sejenak, cukup lama. Setelah bertemu dengan Sebastian dan bisa mengobrol dengan normal, dia berpikir mungkin sebenarnya, selama ini kutukan untuknya tak sebesar itu. Ya... mungkin, penyihir memang mengutuknya agar dia tak memiliki teman sama sekali. Namun, setelah sejauh ini, mungkin kesepian yang dia rasakan lebih banyak datang akibat dirinya sendiri. Dia yang merasa takut orang lain takkan mau berteman dengannya itu justru menutup diri, akhirnya tanpa dia sadari, dia hidup dalam kutukan yang dia ciptakan sendiri.

Putri Niana akhirnya mengangguk, tersenyum. "Kamu gak perlu masuk lewat jendela dan aku bakal bukain pintu kalau nanti kamu dateng lagi."

"Dan aku bakalan bawa temen-temenku untuk mampir ke sini," balas Sebastian, tersenyum manis.

-----------------------------------------------

3 Jun 2024

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang