Don't You

142 12 0
                                    

"BESOK aku harus pergi lagi, oke?"

Aku menatap Brian, lama. Dari helaan napasnya dan wajah datarnya, sebenarnya aku tau, ada hati yang berat ketika dia mengucapkan kalimat baru saja. Namun, dia tahan. Lagi-lagi, aku tau dia bukan tipikal orang yang mau menampakkan emosi buruknya di orang, terutama di depanku, perempuannya. Namun, jujur saja, bahkan dari intonasi bicaranya, aku bisa menebak banyak hal darinya.

Contohnya saat ini, dia sedang mengantuk.

"Yah, belum apa-apa udah ngantuk nih kocak," Aku menahan tawa. "Gimana, dong? Mau tidur aja, gak?"

Dia menggeleng pelan, seperti anak kecil yang menolak untuk mandi sore.

"Aku mau cerita sesuatu sama kamu," ujar Brian, menghela napasnya lagi, berusaha melawan rasa kantuknya. Kedua tangannya memegang tanganku, terasa hangat di malam yang menurutku selalu dingin, mengingat aku adalah orang yang gampang kedinginan. "Aku... sejujurnya, kalau aku bisa milih, aku maunya sama kamu aja."

Aku terdiam, menunggu kelanjutan ucapannya.

"Kadang, aku ngerasa capek untuk berobat lagi. Ceritain semua keluhanku dari A sampai Z ke dokter. Ceritain lanjang lebar tentang semua hal yang mengganggu aku dan jujur, itu bikin energiku habis. Aku ngerasa capek banget. Ada perasaan yang aneh setiap setelah aku cerita panjang lebar tentang masalahku ke dokter. Aku capek," kata Brian. Dia mengulang kata 'capek' beberapa kali, bahkan mungkin tiga kata 'capek' yang dia sematkan di satu paragraf itu belum cukup menggambarkan betapa lelahnya dia.

Sebenarnya, aku yang memaksanya untuk berobat. Aku yang memaksanya untuk mendatangi psikolog agar dia mendapat perawatan yang benar. Aku tak mengharapkan apapun selain semua kebaikan untuknya. Aku berkali-kali memintanya untuk berobat dan berkali-kali pula dia menolaknya, tapi akhirnya, dia mendengarkanku. Akhirnya, dia menjalankan pengobatan itu.

"Padahal, kalau aku ngobrol sama kamu, aku gak ngerasa capek. Aku ngobrol sama kamu lebih banyak daripada ngobrol sama dokterku, tapi aku gak ngerasa capek," lanjutnya. "Sebenernya, aku cuma mau terus sama kamu. Aku ngerasa gak mau lanjutin pengobatanku."

"Mungkin, kamu ngerasa capek banget dan energimu terkuras habis setelah ngobrol sama dokter karena kamu emang gak pengen ceritain itu. Emang sih, ngelakuin sesuatu yang kita gak mau tuh rasanya capek banget," kataku, memberi jeda. "Mungkin, kamu gak ngerasa capek kalau ngobrol sama aku karena kamu gak ngerasa ada paksaan untuk cerita ke aku. Kamu seneng ngabisin waktu bareng aku. Makanya rasanya gak capek. Ya, karena kamu lakuinnya dengan senang hati, gak ada paksaan apapun."

Dia terdiam cukup lama, mencerna pendapatku. "Iya."

"Tapi, rasanya gimana setelah ngobrol sama dokter?"

Dia terdiam sejenak. "Better."

Aku tersenyum. Aku senang mendengarnya.

"Boleh gak dengerin aku?" tanyaku.

"Apa, sayang?"

"Mau nanti rasanya capek banget, sakit banget, proses penyembuhannya cepet atau lambat, atau bahkan kamu ngerasa putus asa banget, aku mau minta sama kamu, jangan nyerah," kataku. Perlahan, aku meraih lengannya erat, menyandarkan kepalaku di bahunya. "Oke?"

Dia terdiam sejenak, tapi aku bisa mendengar tawa kecil darinya yang membuat hatiku semakin membiru hangat. "Oke."

"Kamu dengerin aku, kan?"

Dia mengangguk pelan, tampaknya sudah menginjak 5 watt.

"Beneran?"

"Iya, loh," jawabnya. "Kamu bilang gak boleh males dan sekedar ngecekin email, aku dengerin. Kamu bilang gak boleh sering-sering makan seafood, aku dengerin. Kamu kasih tau aku soal ini-itu, selalu kudengerin, loh."

"Ada yang gak kamu dengerin."

"Apa?"

"Aku bilang jangan gigit tulang ayam, tapi tetep kamu lakuin."

Tawa Brian meledak. "Gimana sih, masa aku diatur sama bocah alay wibu ini," Brian memberi jeda. "Kamu kalau aku larang nonton anime, emangnya kamu dengerin?"

Aku terdiam, lama, sambil menahan tawa.

"Yee, bisa-bisanya mikir lama banget," ledek Brian.

Aku tertawa. Dia tertawa.

"Iya, aku dengerin," Dia memberi jeda, sekaligus melemparkan senyumannya, merangkulku. Dia laki-laki tersayangku. Mungkin, aku punya masa lalu. Dia pun punya masa lalu. Namun, siapa yang peduli. Kami meninggalkan semuanya di tempat yang seharusnya, ya di masa lalu. Saat itu adalah saat itu. Saat ini adalah saat ini. "Aku dengerin kamu."

-----------------------------------------------

31 Mar 2023

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang