Rest Area

181 19 0
                                    

"TUNGGU aku pulang. Kamu dengar itu?"

Aku mengangguk, menatap kedua bola matanya yang menatapku penuh kasih. Setelah dia mengusap rambutku, dia pun menaikkan tas kopernya ke dalam bagasi taksi dan melambaikan tangannya kepadaku, sebelum dia menaiki mobil dan pergi dari jangkauan pandanganku.

Husen adalah kekasihku. Kami merajut hubungan dan sudah tinggal bersama selama tiga tahun. Dulu, dia adalah kakak tingkatku di universitas dan sekarang, dia sudah bekerja, sedangkan aku masih kuliah. Aku tau apa yang ada di pikiran orang-orang. Husen bisa saja bekerja di kota ini, tapi kenapa dia lebih memilih untuk pindah ke kota lain dan meninggalkanku? Jawabannya sederhana. Dia adalah pria yang ambisius. Lagipula, peluang kerja di kota ini tak sebagus di kota itu dan aku tak masalah jika dia memprioritaskan ambisi dan pekerjaannya.

Aku mencintainya. Teramat sangat. Bohong jika kubilang aku tak sedih karena harus melepaskannya sendiri di kota lain. Tentu saja, aku ingin bersamanya. Hanya saja, beragam situasi dan kondisi memisahkan kami. Aku memiliki urusan di sini, dia pun memiliki urusannya sendiri. Namun, kami berjanji untuk saling menjaga hati dan bertemu kembali, ketika waktunya sudah tepat.

"Apakah kamu merindukanku?" tanyaku, suatu malam. Aku menatap langit-langit kamar dengan mata berkaca-kaca. Mimpi buruk yang menyebalkan seenaknya mengacaukan emosiku, menciptakan berbagai kekhawatiran yang bercabang dimana-mana dalam kepalaku.

Husen tertawa. "Apa ini? Belum seminggu aku pergi dan kamu sudah menangis karena merindukanku?"

"Aku takut jika kamu menemukan wanita lain."

"Aku bukan orang yang seperti itu."

"Aku takut jika terjadi sesuatu padamu dan kehilangan kabarmu."

"Kamu bisa berkenalan dengan rekan kerjaku dan menanyakanku lewat dia."

"Aku takut jika penantianku sia-sia."

"Sia-sia?"

Akhirnya, dia berhenti memberikan pernyataan. Kali ini, dia menyodorkan pertanyaan. Aku bisa membayangkan wajah manisnya yang menatapku bingung dengan dahi berkerut, bertanya padaku mengenai kalimatku barusan.

"Entah bagaimana jadinya jika aku terus menunggumu, tapi akhirnya kita tak bersama."

"Perempuan lain yang mendapatkanku sungguh beruntung, jika begitu," kekehnya, bercanda. "Jangan mengkhawatirkan sesuatu yang tak perlu. Kamu tau, aku mencintaimu. Aku pun tau sebaliknya. Aku tau, tak mudah untuk saling percaya karena kamu tak bisa melihat apa saja yang kulakukan di sini. Namun, percayalah padaku, Julie."

Sebulan, tiga bulan, enam bulan, setahun, dua tahun. Kami memang masih saling berkabar layaknya sepasang kekasih, tapi hubungan ini terasa semakin hambar. Aku seringkali memintanya untuk pulang meskipun sebentar, tapi dia tak mengabulkannya untukku. Aku bertanya kepada rekan kerjanya dan Husen tak bohong. Mereka memang sibuk sekali dan Husen tak memiliki kesempatan untuk pulang dan mengunjungiku. Entahlah, aku tak tau apakah itu suatu kebohongan yang mereka set dengan hebatnya atau bukan, tapi menurutku, Husen tak berbohong. Maksudku... ayolah, dia adalah kekasihku selama bertahun-tahun. Aku bisa tau kapanpun dia berbohong.

"Kumohon, pulanglah."

Suatu hari, aku mengemis padanya agar dia pulang dan mengunjungiku. Suaraku bergetar, aku menangis. Aku sakit. Berbagai tuntutan dari kampus lantaran statusku yang merupakan mahasiswa tingkat akhir membuatku jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Aku tak butuh apapun. Aku hanya membutuhkan Husen di sini, bersamaku. Aku tak peduli meskipun hanya sebentar, aku hanya ingin bertemu dengannya. Aku tak butuh obat, karena kehadirannya adalah penawar rasa sakit dan lelahku.

Namun, dia tak bisa mengabulkan itu. Dia meminta maaf padaku dan merasa bersalah. Dia bilang, dia tak bisa. Pekerjaan bukanlah hal sepele sehingga dia bisa tiba-tiba izin keluar. Dia bilang, dia pasti akan kembali, tapi bukan sekarang.

"Aku tau, tak mudah untuk saling percaya karena kau tak bisa melihat apa saja yang kulakukan di sini. Namun, percayalah padaku, Julie."

Kalimat itu selalu kuingat tiap kali aku merasa khawatir akan keberadaannya. Kami memang selalu berkabar satu sama lain, tapi tak bisa dipungkiri, itu tak menjamin bahwa dia bisa bertemu dengan perempuan lain di sana.

Begitu pula denganku.

Duniaku berubah ketika suatu hari aku pergi ke sebuah kedai burger di sudut kota. Aku hanya duduk sendirian, berusaha menghibur diriku sendiri karena kupikir, siapa lagi yang bisa menghiburku selain diriku sendiri? Rasa bosan itu kutanggung sendirian, berusaha mengisi kekosongan jiwaku yang tak berdaya sampai seorang pemuda dengan jaket cokelat itu menghampiriku, menyapaku dengan akrab, membuatku sedikit kaget.

Namanya Andy. Awalnya aku sangat bingung, kenapa dia menyapaku dengan akrab padahal kami tak saling kenal? Ternyata, dia salah orang. Dia mengira bahwa aku adalah teman lamanya yang janjian dengannya di kedai itu. Aku hanya bisa tertawa pada waktu itu. Kami pun berbincang selagi dia menunggu teman lamanya tersebut. Sekitar satu jam, akhirnya teman lamanya datang dan dia pun bangkit dari mejaku. Namun, sebelum pergi, dia meminta nomorku dan aku memberikannya, meskipun aku sempat bimbang.

Kupikir, dia adalah orang yang menyenangkan, memiliki energi positif, dan mampu menyalurkan energi itu kepadaku, orang yang sudah lama merasa 'datar' karena menanggung sepi yang semakin lama semakin menusuk jiwaku. Aku sangat menyukai kehadirannya. Dia lebih muda setahun dibanding diriku. Dia pun masih kuliah. Kami saling mengenal. Dia tau segala tentangku, bahkan dia tau kalau aku memiliki pacar.

Kupikir, aku hanya menyukai kehadirannya. Dia hanyalah seorang pemuda yang bukan tipeku, dia bahkan lebih muda dibanding aku. Aku menyukai pria yang lebih tua, bukan sepertinya. Namun, benar kata orang-orang, nyaman adalah jebakan. Aku tiba di masa dimana aku mulai bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah aku masih mencintai Husen? Apakah aku masih mengkhawatirkannya? Apakah aku senang jika dia pulang?

Satu yang kupelajari. Ketika aku mulai mempertanyakan apakah aku mencintai Husen, sebenarnya aku sudah menemukan jawabannya. Perasaanku tak sekuat dulu kepadanya. Aku hanya tak tau, apakah masih ada atau sudah hilang. Bagiku, waktu adalah sebuah penghapus. Kenangan manis yang terukir milikku dan Husen, takkan ada apa-apanya jika sudah terbenam oleh waktu dan kami tak pernah berniat untuk kesempatan untuk mengukir kenangan baru agar tetap tak lekang oleh waktu.

Waktu membenamkan semuanya, sekalipun cintaku untuknya pernah menjadi sebuah benua yang membentang luas dan aku tak mengerti, siapakah yang salah dalam situasi ini? Aku? Husen? Atau waktu dan kondisi yang selama ini selalu menganak sungai dan tiba-tiba diterpa hujan badai, sampai akhirnya menjelma menjadi samudra?

"Aku bertemu orang baru."

Lewat telepon, kalimat itu kukatakan dengan mata tertutup. Aku tak sanggup melukai hati Husen dengan pengakuanku, tapi aku pun tak ingin menyakitinya lebih lama lagi karena kenyataannya, aku berhenti mengharapkan kedatangannya. Seketika, Andy menjadi pemilik dari segala rasa kekhawatiranku. Rasa khawatir yang selama ini selalu kusimpan untuk Husen, sekarang sudah berpindah haluan dan sepenuhnya menjadi milik Andy. Aku mengkhawatirkan segala hal tentangnya. Aku khawatir jika dia menyetir sambil fokus ke ponsel, aku khawatir jika dia sakit, aku khawatir jika dia frustasi karena tugas kuliahnya. Aku mengkhawatirkan segala hal tentangnya, bahkan hal kecil sekalipun.

"Aku juga bertemu orang baru."

Aku kaget, tapi aku tak kecewa. Aku kaget karena ternyata di seberang sana, dia pun berada di posisi yang sama denganku, tapi... entahlah, aku tak masalah akan hal itu. Aku benar-benar tak mengerti bagaimana bisa, betapa hebatnya waktu dan kondisi bisa membuat hubungan yang sekuat itu menjadi renggang, meski tanpa melakukan apapun. Justru itu penyebabnya, di saat kami tak melakukan apapun.

Kami pun berbicara sebentar, sampai akhirnya kami saling berpamitan dan menutup telepon. Aku menangis setelah itu. Bagaimanapun, dia adalah orang yang pernah kucintai dan bersamaku selama bertahun-tahun. Kami membuat banyak kenangan manis bersama dan merasakan banyak hal, baik itu suka dan duka bersama. Betapa hebatnya waktu dan situasi bisa membuat semua keping dari hubungan yang sudah hancur ini menjadi teramat berantakan.

Pada akhirnya, penantianku memang sia-sia. Aku menunggunya sejak lama, tapi aku bukanlah rumahnya lagi untuk pulang karena dia sudah menemukan rumah dan pelukan yang baru. Namun, sudahlah. Kami berdua hanyalah orang yang pernah berteduh di rest area yang sama. Faktanya, setelah hujan reda, kami melanjutkan perjalanan masing-masing dengan arah yang berbeda.

----------------------------------------

23 Juli 2022

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang