Confession

229 11 1
                                    

ADA satu lelaki di UKM tenis yang kusukai, namanya Dana. Tak ada yang tak suka dia. Dia lelaki yang tak banyak bicara, misterius, dan tak pernah memiliki pacar. Jujur saja, sebagai perempuan, kuakui, perawakannya yang misterius itu membuat para perempuan tertarik padanya, memang karakter seperti itu yang perempuan anggap keren. Tak terkecuali aku.

"Ngapain sih suka sama dia?" tanya Berdo sambil menyuap makanannya. "Kaya gak ada cowok lain aja untuk ditaksir."

"Emang gak ada," jawabku, menyeruput minumanku.

"Ya... gue, misalnya," ujar Berdo, pelan.

"Nih, ya, Do, nanti sore gue mau confess ke Dana. Menurut lo, apa kalimat yang tepat untuk confess nanti?" tanyaku, antusias. "Menurut lo aja nih, dari sudut pandang cowok."

"Secepet itu?" tanya Berdo, mengeryitkan dahinya. "Denger, ya. Sebelum lo nembak orang, mending deketin dulu kek, jadi temen dulu kek. Bukannya langsung tembak, ya lo pasti ditolak lah, gila apa, ya?"

Aku hanya diam, tak menghiraukan ucapan Berdo.

"Lagian, bukannya Dana tuh aneh? Dia selalu dateng paling pagi dan pulang paling sore. Cara dia makan pizza kemarin juga aneh anjir, masa dari roti pinggirannya?"

"Dan lo anggep itu sebagai red flag?" tanyaku, terkekeh. "Semua orang beda-beda, kali."

"Gak tau, deh," Berdo bangun dari posisinya. "Daripada mikirin cinta, mending lo ikut bantuin penyelidikan orang hilang, tuh."

Ah, ya. Di kampusku sedang genting perkara kasus orang hilang. Tak hanya satu, tapi ada empat orang yang hilang. Sudah sekitar sebulan ini, pihak kampus dibantu kepolisian berusaha mencari 'jejak' yang mungkin tertinggal dan bisa dijadikan petunjuk dari pertanyaan kenapa dan siapa.

Sore pun tiba. Setelah permainan tenis selesai dan saatnya pulang, akupun mengirim pesan kepada Dana.

Nina
Dan, gue boleh ngomong sama lo, gak?

Dana
Ngomong apa? Ya ngomong aja.

Nina
Kayanya better gue ngomong secara langsung. Lo ada waktu gak habis ini?

Dana
Ketemu di belakang kelas.

Aku tersenyum senang melihat respon Dana yang tampak baik. Setelah membereskan barang-barangku, akupun pergi ke belakang gedung kelas seperti yang Dana katakan. Baru saja aku tiba, Dana sudah tersenyum ringan ke arahku, dia sudah di sana lebih dulu.

"Hai, Dan," sapaku, tersenyum canggung. "Lo gapapa kan pulang telat? Maksudnya, ya ini udah hampir gelap."

Jam sudah menunjukkan pukul enam sore menjelang malam.

"Gapapa," jawab Dana, berjalan mendekat. "Jadi, mau ngomong apa, Na?"

"Eh, di sana itu taman kecil gitu, ya?" tanyaku, menunjuk ke arah belakang gedung kelas yang depannya dipenuhi semak belukar, tapi aku tau, tak jauh dari sana, ada sebuah taman dan danau kecil. Sepertinya, itu dulunya taman tempat mahasiswa bersantai dan semacamnya, tapi sudah tidak pernah diurus dan dibersihkan lagi.

"Oh, ya?" tanya Dana. "Yuk, coba liat."

Dana pun berjalan ke arah taman tersebut, diikuti olehku. Sejujurnya, ini tempat yang indah. Ada beberapa bunga yang masih setia dan mekar, meskipun tak segar. Suasana ini sangat romantis bagiku. Berada di taman kecil yang ada di sebelah danau dengan cahaya remang-remang violet yang menjelang malam. Meskipun kami harus berhati-hati karena posisi kami agak dekat dengan jurang.

"Jadi, mau ngomong apa, Na?" tanya Dana. Sepertinya, dia tak mau mengulur waktu. Seakan dia mendesakku agar dia bisa cepat pulang. Wajar saja, sepertinya dia anak baik-baik yang mungkin akan dapat masalah di rumah jika pulang telat.

"Tapi, lo jangan marah," ujarku, pelan.

"Marah? Buat apa?" kekeh Dana. "Gak marah, kok."

"Gue sayang sama lo, Dan," kataku. "Sejak awal di UKM tenis, gue suka sama lo. Bukan karena fisik lo aja, tapi lo menarik dan gak kaya cowok lain yang main cewek sana sini."

"Lo sayang sama gue?" tanya Dana, meminta validasi sekali lagi.

"Iya. Banget."

CUAT!

Aku tak mengerti. Aku dipenuhi kebingungan dan rasa heran sehingga aku hanya diam saja tak berkutik ketika tangan Dana mendorongku ke jurang. Aku tak berusaha berpegangan apapun sehingga ketika tubuhku jatuh ke jurang, aku hanya bisa melihat senyuman Dana yang tipis dan kedua mata yang tajam, bersinar terang, seperti sedang diberikan tontonan yang sangat dia sukai.

Kini aku mengerti. Dia selalu datang paling pagi dan pulang paling sore, barangkali mencari mangsa untuk memenuhi rasa haus dari jiwanya yang sudah rusak. Sikap anehnya saat makan, sesederhana cara memakan pizza pun hanya karakteristik dari psikopat yang nyaman dan melihat sesuatu yang salah. Orang-orang yang hilang di kampus ini adalah ulahnya, lalu aku akan menjadi korban selanjutnya.

Dari posisinya, dia tersenyum semakin lebar, matanya melotot. "Kalau gitu, sayangi gue selamanya."

-----------------------------------------------

23 Okt 2023

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang