Cincin Kaca

324 22 3
                                    

"GAK usah marah-marah," Nino tertawa. "Galak banget, dah. Perkara guru lo telat sejam doang."

"Gak bisa gak marah," kataku mendengus kesal. "Dia telat satu jam, No. Satu jam. Lo tau kan, ini jam berapa?"

"Jam dua pagi."

"Dia yang sengaja bikin kelas sepagi ini, tapi dia juga yang telat. Bego banget, ah," kataku. "Lo tau gak, otak gue udah jadi steak ini gara-gara belajar integral jam satu pagi."

"Gue mau makan steaknya, dong."

"Kanibal."

"Heh," katanya. "Sopan gak kaya gitu sama yang lebih tua?"

"Eh, iya, Om," kataku, tertawa mengejek. "Bukan kanibal, deh."

"Enak aja lo bilang om," katanya.

"Salah mulu," ujarku. "Kan emang bener. Bentar lagi umur lo 26 tahun, kan?"

"Gak. Ini masih 25 tahun, lo gak usah nambah-nambahin," ucap Nino, kesal.

Dia adalah Nino, pria berusia 25 tahun yang sudah beberapa bulan ini dekat denganku. Tak perlu kujelaskan bagaimana pertemuan kami, tapi biar kuberitahu bahwa dia adalah seorang kepala koki di sebuah restoran Jepang.

Sedangkan aku, seorang gadis yang baru saja menginjak usia 18 tahun bulan lalu. Aku, perempuan yang sedang ada di puncak stres kehidupan, sudah lepas dari status remaja. Puncak stres itu disebabkan oleh kesibukanku untuk mempersiapkan diri dalam ujian masuk perguruan tinggi.

Sebuah perbedaan jarak umur yang jauh, bukan? Namun, dia tak pernah mempermasalahkanku yang berbicara seenaknya kepadanya, seakan-akan kami adalah dua orang yang sepantaran.

Aku dan Nino berada di satu kota yang sama, tapi kami mungkin hanya bisa bertemu sekali sebulan karena kasus covid-19 sedang marak-maraknya di kota ini. Namun, setiap hari dia tetap penasaran dengan apa yang kulakukan, bagaimana hariku, dan sebagainya.

Aku baru saja kehilangan kontak dengan Daron, lelaki yang mengisi hatiku selama beberapa bulan belakangan. Dia adalah lelaki yang buaya, kuakui itu. Tak kusangka, aku bisa terperangkap. Seharusnya, aku bisa melihat red flag tiap kali dia melontarkan rayuan-rayuan yang dengan bodohnya kuartikan sebagai bentuk dari ketertarikannya kepadaku.

Aku dan Daron pun hilang kontak begitu saja. Dia tak berusaha untuk berkontak lagi, aku pun tak berusaha untuk melakukan sesuatu agar kami berbicara. Keduanya sama-sama egois, sehingga tibalah kami di sebuah perpisahan tanpa ucapan selamat tinggal.

Apanya yang selamat dari selamat tingggal?

Namun, aku harus jujur, meskipun dia adalah lelaki yang bahkan tak serius denganku dan tak peduli akan perasaanku, aku selalu memikirkannya. Ketika aku tak melakukan apapun dan pikiranku sedang kosong, otakku memilih untuk memikirkan dirinya dan penasaran akan segala hal tentangnya. Apa yang sedang dia lakukan? Bagaimana harinya?

Di saat aku tengah sibuk dalam usaha melupakan Daron, Nino pun muncul. Dia mulai mendekatiku, kami berbicara mengenai banyak hal. Meskipun perbedaan umur yang cukup jauh, tapi dia bisa menyesuaikanku, aku pun bisa menyesuaikannya. Dia pun bercerita, kalau sebelum bertemu denganku ini, dia baru saja meninggalkan seorang wanita yang tertarik kepadanya, tapi dia tak suka kepada wanita itu.

Bukankah posisi ini sedikit mirip dengan posisiku? Namun, dengan nasib yang saling berlawanan. Dia yang meninggalkan, sedangkan aku yang ditinggalkan. Bedanya adalah Nino tidak melakukan usaha apapun untuk membuat wanita itu suka kepadanya. Mereka hanya sedang sial dan terjebak di dalam sebuah friendzone.

Aku tak mengerti. Orang bilang, obat dari patah hati adalah mencintai orang yang baru. Aku mencoba hal itu. Aku mencoba untuk mengobati lukaku ini dengan memanfaatkan kehadiran Nino yang berusaha mendekatiku. Tak ada yang salah dari hal itu, bukan? Dia orang yang baik, pekerja keras, cukup tajir, mandiri, satu iman denganku, dan sayang kepada orang tuanya. Dia tak buaya seperti Daron. Dia orang yang baik, aku tau itu.

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang