Tentang Dompet

192 16 0
                                    

"AYO senyum, dong. Coba mana senyumnya?"

Aku tersenyum lebar dengan paksa, sedetik kemudian kembali memasang wajah datarku. Ceri menangkup kedua pipiku, tertawa. Baginya, aku tampak lucu sekarang. Bahkan, di situasi dimana aku merasa kesal saja, dia menganggap itu lucu.

"Udahan ah, dompet aku jadi kurang gizi tuh, Cer. Kamu gak kasian apa?" tanyaku, melepaskan kacamataku sambil berpura-pura menangis. "Tega banget sih kamu."

Ceri tertawa lagi. "Ya, mau gimana? Tapi, happy, gak?"

"Happy, sih."

Aku dan Ceri belum lama berpacaran. Kami memang sudah kenal dan berteman cukup lama, tapi aku dan Ceri baru berpacaran selama kurang lebih enam bulan.

Kupikir, awalnya, karena aku dan Ceri adalah teman baik, akan lebih mudah bagi kami untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Aku sudah tau segala hal tentangnya, begitupun sebaliknya. Namun, aku salah. Hubungan kami jadi banyak canggungnya dan berkali-kali kami kaget karena sikap masing-masing yang selama ini tak bisa kami temukan ketika kami masih berstatus sebagai teman.

Selama berpacaran dengannya, aku jadi tau kalau dia orang yang cemburuan, jadi lebih sulit diajak bercanda, dan lain-lain. Penyesuaian itu terasa cukup memberatkan sehingga kami pun cukup sering berkelahi dan beberapa kali memutuskan untuk berpisah.

Salah satu kebiasaan buruknya yang tak kusuka adalah dia terlalu mudah untuk mengucapkan kata putus. Dia selalu menjadikan putus sebagai pedangnya tiap kali kami berdebat karena sesuatu. Aku pun pernah menyetujui ancamannya itu sehingga kami berpisah. Tak sekali, dua kali, tapi beberapa kali. Namun, hati tak bisa dibohongi. Aku membenci sifatnya, aku marah padanya, tapi aku tak bisa bohong bahwa aku benar-benar menyayanginya.

"Liat, tuh, bocil banget. Makan aja masih belepotan," kataku, menarik beberapa lembar tisu dan mengusap pipi Ceri. "Makan tuh pelan-pelan, cil. Bocil."

Dia menatapku tajam, tapi tetap melanjutkan makannya. Aku hanya bisa memperhatikan gerak-geriknya, lalu menahan senyuman. Untuk beberapa momen, aku merasa bersyukur bisa berada di dekatnya saat ini.

Putusnya hubunganku dan dia beberapa minggu yang lalu memang tak membuatku kacau, tapi cukup menyakitiku. Semuanya jadi sulit karena waktu itu, aku membenci sifatnya yang kekanakan dan menyebalkan, tapi di sisi lain, karena aku sudah dibutakan oleh cinta, aku pun merindukan sifatnya itu.

Dompetku menjadi dompet yang gendut dan sehat ketika aku tak bersamanya. Namun, aku tak menemukan kebahagiaanku. Aku kehilangan senyuman, tawa, dan humorku ketika aku tak bersamanya. Aku merindukannya tiap saat dan rasanya menyakitkan.

Dompetku menjadi dompet yang kurus ketika aku bersamanya. Dia selalu tau tempat makan yang enak dan dia selalu mengajakku untuk makan di manapun. Keberadaannya kerap menguras isi dompetku dan terkadang membuatku menangis dalam hati. Namun, dia adalah ladang dari humorku. Dia membuatku tertawa, tersenyum, dan merasa cukup, akibat tingkah aneh dan kelakuan bocahnya.

Aku mengusap kepalanya pelan, penuh sayang. Dia menoleh ke arahku dengan tatapan bingung, tatapan polos yang jika saja aku tak menahan diri, aku bisa saja menerkamnya.

"Kenapa? Ada maunya, ya?" tanyanya sembari menyipitkan matanya, lalu menjauhkan makanannya dari jangkauanku. "Gak boleh minta."

Aku tertawa, menjentik dahinya. "Dasar bocah."

"Bocah, bocil, apa lagi coba?" tanyanya. "Daritadi diledekin begitu mulu."

"Kan emang masih bocil. Gimana, dong?" tanyaku balik.

"Aku pergi, nih."

Mulai lagi. Yah, seperti inilah dia tiap kali mengancamku.

"Pergi aja, sono. Dompet aku jadi tebel lagi kalau kamu gak ada, jadi gapapa," kekehku.

"Beneran?" tanyanya. "Ntar lu lagi yang nyariin gue ke kosan sambil nangis."

Aku menutup mulutnya, merasa malu karena dia malah membahas kejadian memalukan itu secara tiba-tiba. Aku menatapnya kesal, sedangkan dia tertawa menang.

"Udah paling bener gak usah pergi," kataku. "Di sini aja."

"Beneran?" Dia menaikkan sebelah alisnya. "Ntar dompet kamu busung lapar mulu tau, kalau kamu bareng aku."

Aku meletakkan tanganku di bahunya, lalu mencium pipi yang empuk tersebut. "Kamu mau sekalian jual dompetnya juga aku rela."

"Dih, basi banget gombalannya."

Aku tertawa. Jika dia tak ada, dompetku mungkin akan lebih tebal. Namun, jika aku tak bersamanya, hatiku pun akan merasa lebam karena aku kehilangannya. Jika dia ada, hatiku yang jadi lebih tebal karena diisi oleh kebahagiaan dan cinta yang cukup olehnya.

-------------------------------------------

1 Mar 2022

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang