The Reason Why I Left You

413 34 1
                                    

"LO kenapa, sih? Padahal kemarin baik-baik aja, sekarang malah galau," ucap Ridwan, menyodorkan minuman kaleng ke arah David.

David, yang tengah berbaring di atas sebuah sofa yang sudah cabik dengan sebatang rokok di tangan kanannya, lantas meraih minuman kaleng yang Ridwan sodorkan. "Gak tau. Gue juga heran sama perasaan gue sendiri."

Ridwan mengernyitkan dahinya. "Bukannya lo udah move on?"

"Gue mikirnya juga gitu."

Enam bulan yang lalu, hubungan David dan Nisa, mantan pacarnya, resmi kandas. Meskipun beberapa kali putus nyambung, tapi kali ini, keduanya sudah sama-sama menyerah untuk memperjuangkan hubungan mereka.

Nisa yang memutuskan hubungan mereka. David akui, mereka terlalu sering berkelahi dalam beberapa bulan belakangan, itulah kenapa mereka memutuskan untuk pisah.

Terkadang, solusi terbaik dalam percintaan adalah perpisahan. Bukankah begitu?

Awalnya, David pikir, kepergian Nisa dari hidupnya takkan berdampak apa-apa padanya. David pikir, dia sudah tak memiliki perasaan apa-apa lagi, itulah kenapa dia bahkan tak merasa kehilangan ataupun sedih setelah mereka berpisah.

Tak David sangka, perasaan bersalah, sedih, dan kehilangan itu datang menyerangnya belakangan, saat dia sedang lengah.

Perempuan dengan rambut panjang sepunggung, mata sepekat tinta, dan jemari yang lentik. Dia kerap mengenakan rok selutut daripada celana. Wajahnya seperti sekelebat cahaya, bagi David. Bagaimana mungkin, perempuan itu sudah bukan miliknya lagi sekarang?

"Lo mau ikut gue, gak?" tanya Ridwan, membuyarkan lamunan David. "Daripada lo cuma bisa ngelamun, liat langit-langit sambil galau, mending lo nemenin gue beli soto ayam."

"Bukannya lo baru makan?" tanya David, mengernyitkan dahinya.

"Buat Naya," jawab Ridwan, menarik tangan David untuk bangkit dari posisinya. "Doi lagi sakit."

"Ah, elah. Bucin banget, heran," ujar David, menyeringai. "Gue gak ikut."

"Ayo, anjir," kata Ridwan, memasang jaketnya. "Gue gak mau balik-balik udah nemu jenazah lo di sini."

"Kampret," umpat David. "Heh, gue gak bakalan bundir cuma karena patah hati, lo tau."

"Udah, buruan."

"Tapi, gak usah ajak gue ngomong. Gue lagi gak enak hati, soalnya."

"Yaelah, iya."

Selama perjalanan, David hanya bisa menopang dagunya, menatap kosong ke jalanan raya. Pikirannya terus-terusan melemparkannya ke wajah lugu yang selalu tersenyum itu. Semakin wajah itu terlukis sempurna di kepalanya, semakin dia merasa bersalah. Semakin dia memikirkan Nisa, semakin dia merindukan perempuan itu.

Lagipula, apa yang terjadi pada Nisa? Kenapa dia mendadak menjadi balerina dan menari-nari di kepala David?

"Lo tunggu di sini. Jangan kemana-mana, apalagi bunuh diri selagi gue gak ada," kata Ridwan, membuka pintu mobilnya.

"Bego," komentar David, menyandarkan tubuhnya ke kepala kursi, melipat kedua tangannya di depan dada. "Buruan."

David mengangkat sebelah alisnya, lalu menyeringai. Ternyata, saat ini, mobil ini terparkir di sebuah parkiran luas, di depan sebuah restoran. Yah, dia tau, orang tajir seperti Ridwan takkan membeli makanan di kaki lima. Namun, bukankah dia bisa menggunakan gojek saja, agar lebih mudah?

Oh, mungkin karena Ridwan ingin mengantarkan makanannya langsung ke rumah Naya.

David menatap langit kelabu dengan serbuk-serbuk bintang yang gemerlap. Malam ini tampak cerah, karena David bisa melihat awan yang bergerak secara perlahan, di langit yang gelap. Melihat kendaraan yang terparkir cukup ramai di parkiran ini, sepertinya, Ridwan akan sedikit lama.

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang