Payungku

387 19 0
                                    

"APA yang kau lakukan di sini? Ini adalah pekuburan orang Valon. Pemuda kotor asal Lotus sepertimu sebaiknya pergi dari sini."

Aku mengangkat kepalaku, menatap segerombolan pria paruh baya yang mengenakan pakaian serba hitam, sama sepertiku. Mereka memegang payung berwarna hitam, sedangkan aku basah kuyup oleh air hujan.

"Aku takkan pergi dari sini. Ini makam ibuku."

Sepersekian detik, para pria itu pun mendaratkan pukulan demi pukulan kepadaku. Aku yang sedang bersimpuh di depan makam ibuku, hanya bisa melindungi kepala dengan kedua tanganku. Mereka menendangku, tak peduli sebesar apa ringisan yang kukeluarkan. Menurut mereka, aku hanyalah seonggok kotoran asal Lotus yang menjadi musuh negeri Valon sejak lama.

Setelah mereka puas dan lelah mendaratkan pukulan serta tendangan di tubuhku, mereka pun pergi dari pekuburan ini. Mereka pergi menggunakan kereta kuda, yaitu satu-satunya alat transportasi pada jaman ini. Hal itu menandakan bahwa mereka adalah salah satu dari golongan konglomerat di negeri ini. Aku hanya bisa meringis kesakitan, memegangi bagian tubuhku yang mungkin sudah lebam akibat pukulan mereka.

Negeri ini memang memuakkan. Kalau saja bukan karena ibuku yang merupakan orang asli Valon, aku takkan sudi tinggal di sini.

Namun, tak ada gunanya juga aku pindah dari sini. Jika aku pindah ke Lotus, negeri asal ayahku, aku akan dianggap orang Valon. Sedangkan jika aku di Valon, aku dianggap orang Lotus. Tak ada tempat yang layak untukku di dunia ini. Sudah paling benar jika aku tak dilahirkan di dunia ini.

"Berhenti duduk di situ atau kau akan dipukul lagi oleh orang-orang yang datang ke pekuburan ini."

Air hujan yang tadinya menghantamku sehingga membuat kepalaku sakit, seketika terhenti ketika seorang wanita berdiri tepat di belakangku, memayungiku dengan payung merah miliknya.

Aku mengubah posisiku menjadi berdiri, bersitatap dengannya. Dia memiliki rambut pirang sebahu yang berwarna merah. Dia mengenakan pakaian serba hitam. Mungkin, dia pun sedang mendatangi pemakaman dari rekannya.

"Apa maumu?" tanyaku sembari menatapnya tajam, penuh amarah. "Ingin menghinaku? Orang Lotus keturunan babi yang kotor dan tak pantas untuk hidup? Itu yang ingin kau katakan?!"

Dia tak memberikan respon apapun untuk hardikanku. Dia hanya diam, menatapku dengan dingin, lalu melemparkan senyuman ringan ke arahku.

"Mendekatlah. Kau bisa sakit karena kehujanan."

Menurutku waktu itu, dia tak lebih dari wanita sinting yang tak mengerti situasi. Wanita normal akan ketakutan ataupun marah jika dihardik seperti itu. Namun, dia justru berbagi payung denganku, sampai siang pun mulai berganti menjadi senja dan kami memutuskan untuk pulang dari pekuburan tersebut.

Wanita yang ternyata bernama Megan itu selalu mengunjungiku, setelah itu. Dia selalu membawakanku makanan, syal yang dia rajut sendiri, dan sebagainya. Awalnya, aku menolak kedatangannya, bahkan kerap membiarkannya untuk menunggu di depan pintu rumahku sampai dia lelah dan pulang. Namun, dia tetap mendatangiku dan seperti batu besar yang akhirnya berlubang karena terus ditetesi air, aku pun luluh dibuatnya.

Suatu hari, aku berjalan untuk membeli bahan makanan bersamanya. Namun, aku merasakan ada sebuah kejanggalan. Tak ada satupun orang yang berani untuk menyorakiku, mengejekku, bahkan menghinaku. Semua orang di sana hanya diam, memandangiku dan Megan. Mereka bahkan tak berani berbisik sekalipun. Mereka hanya diam, mematung, dan memasang wajah tak percaya.

"Kenapa mereka seperti itu?" tanyaku, setibanya kami di rumahku. Megan berada di dapurku, tengah sibuk menata makanan.

"Apa maksudmu?" Megan bertanya balik.

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang