Hari Kelulusan

396 22 0
                                    

HARI ini adalah hari kelulusan. Baju batik dan medali terpasang di badan, serta suara musik yang membuat dadaku ikut bergetar. Usai melewati antrian panjang untuk bersalaman dengan para guru, aku pun berjalan menelusuri koridor sekolah dan memperhatikan tiap detail yang ditangkap oleh mataku.

Hari ini adalah hari terakhir aku menginjakkan kaki di sekolah ini. Bagiku selama ini, menjadi seorang siswa itu menyebalkan, tapi sekarang, aku merasa sedih menerima fakta bahwa statusku sebagai seorang siswa SMA akan dilepas hari ini. Setelah aku melangkahkan kaki untuk keluar dari gerbang sekolah ini, aku resmi menjadi seseorang yang bukan anak sekolahan lagi.

Tak ada menyontek saat ulangan lagi, berkelahi perkara denah tempat duduk di kelas, berlarian mencari kamus di pagi hari, serta menggerutu ketika disuruh piket kelas. Semua itu menyebalkan, tapi aku akan merindukannya setelah ini.

Aku berhenti di depan kelas X IPS 2. Aku melangkahkan kakiku untuk mengintip isi kelas tersebut. Tak ada yang berubah. Kursinya sedikit berserakan, serta aneka pajangan yang memenuhi tembok kelas di bagian belakang. Kelas ini, kelas yang takkan pernah kulupakan. Kelas ini adalah saksi pertemuanku dengan mantan pujaan hatiku yang sampai sekarang masih mengisi hati dan pikiranku.

Dia selalu duduk di meja paling depan. Dia adalah siswi yang pintar dan rajin, berkebalikan denganku. Aku adalah siswa yang selalu duduk di meja paling belakang dan tak pernah absen untuk ikut remedial di setiap ulangan. Aku dan dia sangat berbeda.

Perempuan yang bernama Dini itu adalah perempuan yang memesona. Dia tak terlalu cantik, tapi dia berbeda dari orang lain. Dia pintar dan rajin, tapi dia tak pelit ilmu. Dia selalu sabar mengajariku dan teman-temanku yang lain. Terkadang, dia bisa saja marah jika kami tetap bermain-main, tapi aku tau, dia selalu ikhlas dalam menyalurkan ilmunya kepada kami.

"Aku bingung. Bisa-bisanya aku suka sama orang bego kaya kamu."

Aku tertawa ketika mendengar ucapan itu darinya, di suatu sore. Dia mengajariku di teras rumahnya untuk ujian remedial yang akan kuikuti di keesokan harinya. Aku kaget, tapi aku pun tak tahan untuk tertawa. Aku merasa sangat senang waktu itu sehingga nilaiku menjadi nilai remedial terbaik di antara siswa lain di kemudian harinya.

Kami berpacaran setelah itu. Aku yang biasanya sering bolos dan kabur di setiap mata pelajaran yang kubenci, mendadak jadi siswa yang rajin dan selalu menetap di kelas. Aku tak ingin dimarahi oleh Dini. Teman-temanku bahkan meledekku karena aku terlalu bucin dan tak pernah mau ikut lagi untuk bolos bersama mereka. Padahal, aku tak melakukan apapun selama proses pembelajaran. Aku tak memperhatikan materi yang guru jelaskan. Aku hanya duduk di bangkuku, memperhatikan Dini dari kejauhan.

Duh, aku merindukannya.

Semuanya baik-baik saja sampai dia harus pindah sekolah. Dia harus ikut kedua orang tuanya untuk pindah ke luar pulau atas tuntutan pekerjaan ayahnya. Tak ada yang bisa kulakukan akan hal itu. Aku hanya bisa menerima kenyataan itu dan berharap hubungan kami baik-baik saja meskipun berhubungan jarak jauh. Namun, tidak. Kami jadi sering berkelahi dan akhirnya memutuskan untuk berpisah, sampai akhirnya hilang kontak hingga hari ini.

Aku berusaha menjatuhkan hatiku untuk beberapa perempuan lain agar aku bisa melupakannya. Namun, Dini tak semurah itu sehingga semua pelarian takkan mampu menghapuskan jejaknya dari hatiku dan pikiranku. Aku tetap memikirkannya setiap saat. Aku merindukannya, bahkan sampai hari ini, meskipun kami putus di pergantian semester pada kelas sepuluh dan hari ini aku sudah lulus sebagai siswa SMA.

"Halo, Hery."

Aku melebarkan mataku. Sepersekian detik, aku menoleh ke arah sumber suara. Perempuan dengan kebaya berwarna cokelat, seperti kebaya milik anak angkatanku itu, tersenyum ke arahku. Dia berjalan mendekatiku, sampai kami jadi berhadapan.

"Kamu... kenapa di sini?"

"Lah, kenapa? Gak seneng?" tanya Dini melipat kedua tangannya di depan dada, pura-pura kesal. "Aku pernah jadi bagian dari SMA ini. Jadi, aku dateng, dong."

Aku terdiam lama sekali. Hening kemudian. Pikiranku jadi tak jelas. Ada banyak hal yang ingin kubicarakan dengannya, tapi aku bahkan tak tau harus mulai darimana.

"Kelas ini gak berubah," kata Dini, berjalan memasuki kelas X IPS 2. "Liat, deh. Ini mejaku, dulu."

Aku pun berjalan memasuki kelas, mengikutinya, lalu menyapukan pandanganku ke tiap sudut dari ruangan ini. Sepersekian detik, aku tersenyum dan menunjuk meja paling belakang. "Aku selalu tidur di situ, dulu."

Dini tertawa.

"Jadi..." Aku menelan salivaku, menelan segala rasa gugupku. "Gimana sekolah baru kamu? Semuanya oke?"

Dini mengangguk, berjalan ke arah mejaku di bagian paling belakang. "Semuanya baik-baik aja."

"Bagus."

"Apa, nih?" Dini terkekeh. "Ada namaku di meja kamu."

Aku tersenyum kecut. Sialan, bagaimana mungkin coretan dari tipe X itu masih bisa dilihat setelah dua tahun berlalu? Aku menulis nama itu ketika aku sedang sedih-sedihnya ditinggal oleh Dini, waktu itu.

"Gak usah ketawa," kataku. "Kamu gak akan paham rasanya jadi aku waktu itu."

"Oh, ya? Aku pikir, kita ngerasain galau yang sama. Beda ya, emangnya?"

"Beda," Aku memberi jeda. "Dari bahasa tubuh kita yang sekarang aja busa ngejelasin kalau sebenernya beda. Kamu keliatan happy banget, aku malah keliatan bingung banget."

"Tandanya? Kamu gak suka ketemu aku?"

"Bukan..." Aku menghela napasku. "Kaget, seneng, sedih, takut, semuanya bercampur aduk jadi satu."

"Aku gak ngerti."

"Aku kaget bisa ketemu kamu secara tiba-tiba di sini. Aku seneng bisa ketemu kamu lagi. Aku sedih karena kamu pasti bakalan pergi lagi. Aku takut nerima kabar kalau kamu pasti udah punya yang lain," kataku, menjelaskan dengan rasa gugup yang tak ada matinya. "Tapi, dari semuanya, aku ngerasa bingung. Aku gak tau harus apa."

"Aku bisa ngelupain kamu," katanya.

Aku terdiam sejenak. Rasanya menyedihkan, tapi aku tetap mengangguk, mengerti. "Bagus."

"Tapi, aku gak mau," sambungnya. "Aku bisa aja ngelupain kamu, tapi aku gak mau. Itulah kenapa aku di sini sekarang. Untuk ketemu kamu lagi. Cuma itu."

Aku terdiam cukup lama, mencerna ucapan Dini. Aku terlalu banyak diam sedaritadi, bukan? Aku benar-benar tak tau harus apa. Dia tersenyum ke arahku, lalu menggandeng tanganku.

"Terus, habis ini kamu bakalan pergi lagi?" tanyaku, berjalan mengikuti langkahnya.

"Come on, kita udah delapan belas tahun. Kita udah bebas buat nentuin mau tinggal di mana," Dia tersenyum manis, menoleh ke arahku. "Aku pengen tinggal di sini. Di deket kamu."


-------------------------------------------

1 Mar 2022

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang