Dua Obat

183 16 3
                                    

AKU adalah seorang mahasiswi yang setiap harinya belajar sekaligus bekerja. Aku cukup keras dengan diriku sendiri bukan karena aku kekurangan uang, tapi aku hanya suka menyibukkan diri dan menutup hari dengan tubuh dan pikiran yang lelah agar aku bisa tertidur pulas. Selain itu, agar aku tidak merasa kesepian.

Aku adalah seorang selingkuhan. Aku sudah tau semuanya akan menjadi seperti itu sejak pertama kali aku menjadi kasir dan berhadapan dengan seorang pelanggan dengan setelan rapi dan cincin yang melingkar di jari manisnya. Pria berusia tiga puluh tahunan yang tampan dan mapan. Aku suka matanya dan senyumannya. Saking sukanya, itu membuatku mengabaikan cincinnya. Aku mengabaikan fakta bahwa dia adalah pria yang sudah menikah.

"Jadi, berapa totalnya?"

Pertanyaannya membuyarkan lamunanku, pada waktu itu. Dia sudah tersenyum terlebih dahulu, melemparkan semburat tatapan yang hangat, seolah memaklumi kegugupanku karena berhadapan dengan seorang pria yang menyandang istilah kesempurnaan. Kenapa aku terbuai dengan orang yang baru saja kutemui?

"Sembilan puluh lima ribu delapan ratus," jawabku. Pria itupun menyodorkan uang. Setelah memberikan kembaliannya, dia pun berlalu. Aku hanya bisa memandangi punggungnya berjalan keluar dari minimarket, lama kelamaan menghilang dari pandanganku.

Kupikir, itu akan menjadi awal dan akhir dari pertemuan kami. Ternyata, tidak.

Setelah shiftku berakhir, aku pun berjalan keluar dari minimarket. Baru saja aku mengalihkan pandanganku dari ponsel, aku menatap lurus ke depan. Aku berhenti melangkah ketika kedua mataku mendapati seorang pria yang berdiri bersandar di depan mobilnya, tampak menunggu seseorang, sembari merokok.

"Halo?" sapaku. Sepersekian detik, aku memejamkan mataku erat, menyadari bahwa itu bukanlah sapaan yang bagus dan sopan. Namun, pria itu langsung mengubah posisi berdirinya menjadi lebih tegap, lalu tersenyum manis.

"Halo." Dia membalas sapaan anehku, seolah menghargai rasa canggungku.

"Gak pulang, Kak?" tanyaku. Sekali lagi, aku menyesal dengan apa yang baru saja kuucapkan. Namun, jika bukan 'kak', apa lagi panggilan yang tepat untuknya? Maksudku, kami mungkin memiliki jarak umur sekitar sepuluh tahun. Kupikir, 'kak' adalah panggilan paling cocok untuknya. Maksudku, aku bisa saja memanggilnya 'mas', tapi entahlah, rasanya terlalu... sensual?

"Kamu gak pulang?" tanyanya balik. "Saya anterin."

Aku menyetujui tawarannya saat itu. Entah itu tawaran, perintah, ataupun permintaan. Aku tak tau mana yang dia maksud. Namun, entah kenapa, jalan pulang yang dia maksud, berbeda dengan jalan pulang yang biasa kutempuh. Kami malah menghabiskan waktu bersama di mobilnya, saling bertukar nafsu. Aku bahkan belum tau siapa namanya, tapi aku sudah melakukan hal yang jauh dengannya.

"Nama kamu siapa?" tanyaku, akhirnya. Setelah hal itu, dia benar-benar mengantarkanku pulang ke rumah.

"Kaya anak kecil yang lagi nanyain nama temen sekelas," kekehnya. "Ian. Namaku Ian Andreas."

Aku terdiam, cukup lama. Nama yang indah. Bahkan, terlalu indah. Lebih terdengar seperti nama karakter di sebuah novel ataupun film bergenre romansa. Namun, satu yang kupertanyakan. Apakah itu nama asli?

"Kamu?"

"Rosa," jawabku, singkat.

"Nama yang bagus," katanya, melemparkan senyumannya sekilas.

Sejak itu, kami sering bertemu. Paling sering, dia datang ke rumahku karena dia tau, tak ada siapapun di sana. Tentu saja, aku sudah tak memiliki orang tua dan segala biaya yang menghidupiku berasal dari tabungan ayahku. Aku tau tabungan itu tak mungkin menghidupiku selamanya, itulah kenapa aku juga bekerja. Lagipula, aku suka bekerja. Aku mendapatkan dua hal sekaligus, yaitu uang dan kehangatan. Aku lebih baik merasa kelelahan daripada sendirian di rumah dan dilahap oleh rasa repi.

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang