Escape

415 31 0
                                    

AKU menoleh kanan dan kiri, mengendap-endap berjalan menuju pintu belakang. Rumah ini tak besar, tapi juga tak kecil. Rumah ini minimalis, berwarna putih susu, dan hanya dihuni oleh seorang pria berusia 28 tahun.

Pria itu bernama Kris, seorang pengusaha yang sukses. Untuk usia yang dapat terbilang masih muda, dia sudah memiliki segalanya. Aku tak mengenal dia, tapi dia adalah mangsaku malam ini.

Namaku Isla. Pistol yang kupegang ini sudah melukai bahkan menewaskan banyak orang, sebelumnya. Di usiaku yang masih menginjak 19 tahun, aku sangat disayang oleh bosku karena keberanianku, ditambah lagi, aku ini seorang perempuan.

Masa lalu yang tragis dan tuntutan mengenai 'harus memiliki uang' untuk bertahan hidup membuatku tumbuh menjadi seorang bajingan kelas atas. Aku tak peduli mau dianggap seburuk apa. Aku bahkan bangga akan diriku sendiri, karena mampu bertahan hidup selama sembilan tahun tanpa memiliki siapa-siapa.

Aku sempat bertanya-tanya, apakah di dalam dadaku ini masih tersimpan hati nurani? Jika masih ada, lebih baik aku tak memilikinya. Namun jujur saja, aku yakin, hati nurani itu sudah lama mati.

Itulah kenapa aku sanggup menjadi pembunuh bayaran dan melihat orang-orang bergelimpangan di depan mataku, tanpa nyawa.

Aku berjalan menelusuri rumah yang gelap ini. Aku tak mengerti, bagaimana orang kaya raya seperti Kris bisa hidup di tempat aneh seperti ini. Rumah ini lebih tampak seperti rumah penyiksaan, bagiku.

Perabotan rumah bergelimpangan di lantai, pecahan kaca berserakan dimana-mana, aku juga bisa melihat sobekan baju di lantai. Apa yang sudah terjadi di rumah ini? Apakah ada penjahat lainnya yang mendahului langkahku untuk memangsa Kris?

Rumah ini gelap. Hanya ada cahaya remang-remang dari luar, melalui jendela yang terbuka lebar. Aku dapat melihat Kris duduk di atas sofa yang penuh cabikan, merokok dengan tatapan yang kosong.

Sepersekian detik, dia menoleh ke arahku. Spontan, aku mengarahkan pistol yang kupegang ke arahnya, membidik kepalanya.

Di luar dugaanku. Jika biasanya aku melihat ekspresi ketakutan dan mendengar permohonan dari orang-orang yang menjadi targetku, kali ini pria itu hanya menoleh sayu ke arahku, tetap menghisap sebatang rokok yang dia pegang.

"Apa maumu?" tanyanya, dingin.

"Nyawamu," jawabku, masih membidiknya.

"Uang? Bukan itu yang kau inginkan?"

"Aku diminta untuk mengambil nyawamu, bukan uangmu."

Pria itu tertawa kecil, bangkit dari duduknya, berjalan ke arahku. Aku sedikit tak mengerti dengan apa yang terjadi, tapi seperti yang kulihat, dia sama sekali tidak memiliki senjata untuk melawan.

"Usiamu?" tanyanya lagi, berhadapan denganku.

"19 tahun," jawabku. "Mundur dariku atau kubunuh kau sekarang juga."

Dia lagi-lagi tertawa, tak mengindahkan ucapanku. Aliha-alih mundur, dia justru meraih tanganku, mengarahkan pistol yang kupegang ke dada sebelah kirinya.

"Tembak sekarang."

Aku tertegun, tanganku gemetaran. Posisi ini sudah pernah kualami sebelumnya, di suatu malam terburuk dalam hidupku yang tak pernah ingin kuingat kembali. Malam dimana ayahku memintaku memegang pistolnya dan mengarahkan pistol itu ke dadanya. Aku, yang masih berusia 10 tahun waktu itu, tak bisa melakukan apa-apa. Aku hanya bisa melihat darah bercucuran dimana-mana, dengan tanganku dan tangan ayahku yang sama-sama memegang pistol itu.

"Bunuh aku sekarang juga," ujar Kris, membuyarkan lamunanku.

Pistol itu terjatuh dari tanganku. Dengkulku lemas, aku terjatuh dan bersimpuh. Memori itu membuatku kehilangan akal. Mataku memanas, air mata mendesak keluar. Hatiku sakit sekali, dihujam oleh wajah lelah ayahku waktu itu.

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang