Rita

135 12 5
                                    

"MENURUT mama, kehidupan itu apa?"

Pertanyaan itu kulontarkan kepada mamaku di usiaku yang masih kecil. Belum bisa mengucapkan banyak huruf dengan fasih dan jelas. Di kedua tanganku terdapat dua boneka barbie. Aku menatap mama dengan sepasang mata yang membulat sempurna, penuh rasa penasaran.

Mama sedang menyetrika. Dia menatapku sekilas, lalu menatap kembali ke arah pakaian yang sedang dia setrika. "Perjalanan, mungkin."

Jawaban itu tak pernah hilang dari ingatanku, sekalipun aku sudah melewati tiup lilin dan kue ulang tahun sebanyak belasan kali. Aku tak tau alasannya. Hanya saja, di ingatanku, banyak pengalaman dan obrolan kecil yang tersimpan rapi tanpa aku tau alasannya. Hampir sembilan puluh sembilan persen dari ingatan itu melibatkan mamaku. Hampir seumur hidupku, aku bersamanya. Aku paling dekat dengannya.

Mamaku adalah wanita tercantik pada masanya. Dia memiliki kulit yang putih pucat. Matanya bukan yang paling indah, hidungnya tak mancung, dan wajahnya tak tirus. Namun, meskipun begitu, jika dipandang secara keseluruhan, wajahnya begitu jelita. Senyumannya semanis gula, jangan sampai semut mengkerubunginya. Dia adalah idola pada masanya. Dia adalah orang yang berpendidikan dan tegas. Dia pun menikah dengan pria yang sama sempurnanya dengan dirinya. Setelah itu, lahirlah aku dan kedua adikku.

Wajahku tak mirip dengannya. Wajahku mirip dengan papa. Warna mataku berbeda dengannya. Bentuk wajahku berbeda dengannya. Senyuman kami berbeda. Bahkan, jika ditanya, "Apa bagian dari diri kakak yang mirip dengan mama?", mamaku pernah menjawab, "Gak ada."

Itulah adanya. Tak satupun dari fisikku yang mirip dengannya. Aku benar-benar mirip dengan papaku, sedangkan kedua adikku mirip dengan mamaku.

Mamaku, memang orang yang paling dekat denganku. Orang yang ada di setiap lika-liku perjalanan apapun yang kupunya. Namun, aku percaya, semakin sering kita bertemu dengan seseorang, semakin banyak hal buruk yang kita jumpai satu sama lain. Mamaku adalah orang yang tegas, berpendidikan, dan perfeksionis. Sedangkan aku adalah orang yang cenderung cuek dan perfeksionis jika hanya di bagian yang kusuka. Maka dari itu, mamaku adalah orang yang paling galak yang pernah kutemui, bagiku. Dia bisa marah karena hal kecil. Bahkan, aku sempat berpikir, jika mamaku tak marah sehari, itu adalah sebuah keajaiban.

Terlebih, aku adalah anak pertama. Terkadang, aku ikut getah dari perbuatan adik-adikku, meskipun tak ada sangkut pautnya denganku. Namun, karena mamaku memang pemarah, dia terlebih dahulu memarahiku. Itu benar-benar membuatku jengkel.

Aku sempat berpikir mamaku jahat. Dia tak mengerti aku. Dia egois. Dia hanya tau dirinya sendiri. Dia benar-benar menyebalkan. Bagaimana mungkin dia tak mengerti perasaan perempuan muda yang labil? Apakah dia tak pernah menjadi remaja sebelumnya?

Tunggu. Aku penasaran. Bagaimana jadinya jika mamaku bukanlah mamaku? Bukan seseorang yang tegas, galak, dan perfeksionis. Bagaimana jadinya jika aku memiliki mama yang baik dan lemah lembut? Bagaimana jadinya? Ah, mungkin aku akan jauh lebih bahagia. Mentalku akan sehat sekali.

Itu yang kupikirkan, ketika aku masih remaja dan masih berenang dengan sirip yang bahkan belum tumbuh sempurna.

"Menurut ibu, kehidupan itu apa?"

Apabila anakku bertanya seperti itu suatu saat nanti, aku akan menjawab, "Perjalanan. Suka maupun gak suka."

Ingin kutambahkan, "Kamu melihat ibu semakin tua, ibu melihat kamu semakin dewasa. Itu namanya perjalanan."

Namun, itu hanya akan menciptakan pertanyaan baru bagi para krucil yang bahkan tak mengerti banyak kosakata. Jadi, lebih baik kujawab dengan sama persis seperti jawaban mamaku, yaitu, "Perjalanan."

Aku selalu ingin dipanggil dengan panggilan 'ibu' oleh anakku-anakku suatu saat nanti, karena kupikir, satu-satunya 'mama' dalam kehidupanku adalah Rita. Panggilan 'mama' melekat dengan dirinya, begitu sulit kudeskripsikan. Hanya saja... gambaran seorang wanita yang keras, tapi lembut. Galak, tapi cengeng. Tak sempurna, tapi sempurna. Hanya seseorang, tapi segalanya. Mungkin deskripsi itu belum cukup menggambarkannya.

Kehidupan itu adalah perjalanan, itu yang pernah mama katakan. Aku tak mengerti makna dari kalimat itu. Namun, setelah aku tumbuh dewasa, mulai mengerti banyak hal meskipun belum sempurna, kupikir aku mulai paham.

Kehidupan adalah perjalanan. Setelah aku mulai beranjak dewasa, aku melihat mamaku yang sudah tak segalak dulu lagi. Dia semakin tua, aku bersyukur dia masih sehat. Dia sangat sehat. Hanya saja, dia sudah tak galak lagi, mungkin lelah untuk marah-marah dan menjadi seorang pemikir yang perfeksionis. Dia lebih suka mengurus tanaman-tanamannya dengan tenang. Namun, meskipun amarahnya adalah bagian yang paling kubenci selama ini, ternyata itu adalah sesuatu yang terpenting dalam hidupku. Hidup terus berjalan, mengikis usia kami. Aku semakin dewasa, mama semakin tua. Semakin aku berjalan, semakin aku mengerti makna dari kehidupan, semakin aku merasa takut. Terkadang, yang kutakutkan bukanlah mengenai diriku sendiri, tapi kedua orang tuaku.

Ternyata, sebenarnya, amarah mamaku adalah harta karun. Lalu, aku selama ini membenci harta karun itu.

Aku mengerti, kehidupan itu adalah perjalanan. Mamaku mungkin senang dengan pertambahan usiaku. Dia bisa melihatku semakin dewasa, semakin mengerti banyak hal, semakin pintar, semakin tinggi. Namun, tidak denganku. Aku terus berjalan, mamaku pun terus berjalan. Aku semakin bertambah usia, mamaku pun bertambah usia. Itulah bagian yang tak kusukai dan membuatku sedih sekaligus takut. Ini tak adil. Mamaku menyukai perjalanannya, tapi bagaimana denganku yang dipenuhi rasa takut selama perjalananku?

Terkadang, aku ingin kembali ke masa dimana aku naik ke punggung mamaku ketika dia sedang beribadah. Atau ketika kami terjatuh di sebuah terotoar dan tersiram air panas yang kami bawa. Atau ketika dia berteriak memarahi orang yang nakal kepadaku. Atau ketika dia membawaku pulang ke rumah dengan ambulan, memanfaatkan kekuasaannya sebagai kepala puskesmas untuk menjemputku sekolah. Atau ketika dia membayar temanku hanya agar temanku mau menemaniku menunggu jemputan setelah les mengaji, supaya aku tidak takut sendirian.

Ketika aku masih muda, aku mendoakan diriku sendiri. Aku ingin peringkat kelas, boneka baru, jepitan rambut baru, dan sebagainya. Namun, ternyata, setelah dewasa, yang paling kuinginkan hanya satu dan sangat sederhana, yaitu kesehatan kedua orang tuaku. Itu sudah segalanya bagiku, membayangkan anak-anakku memuji masakan nenek mereka yang jago masak, membayangkan anak-anakku memiliki wajah yang mirip seperti kakek atau nenek mereka, ataupun sifat galak dan perfeksionisnya yang mungkin membuatku mengelus dada. Semua bayangan itu adalah segalanya bagiku. Lebih besar dari keinginanku untuk menjadi manusia dengan kelebihan yang lain.

Mungkin, keberadaan orang tua terdengar seperti hal yang ringan. Tak semua orang bisa langsung mengerti karena ini semua mengenai perjalanan. Namun, kupikir, semakin bertambahnya usia, ada suatu benang yang menghubungkan jiwaku dan jiwa mamaku yang semakin lama semakin erat, terkadang membuatku semakin merasa sesak. Mungkin, mamaku bukanlah orang tua terbaik di dunia ini. Bohong jika kukatakan dia lebih dari sempurna. Namun, tak ada yang mampu menghidupkan lentera di dalam diriku sebaik mama yang mampu menyalakannya dengan terang benderang, lebih dari apapun.

-----------------------------------------------

10 Apr 2023

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang