Rainbow Eyes

390 34 2
                                    

"AKU suka matamu, Pelangi."

Perempuan yang semula menunduk itu, lantas mengangkat wajahnya, lalu tersenyum ringan. "Beneran?"

Aku mengangguk. "Beneran."

Senyuman itu tetap menghantui pikiranku. Ah, Tuhan, aku ingin melihat senyuman itu lagi.

Hari ini adalah hari pemakaman Pelangi. Aku memutuskan untuk tak datang. Aku lebih tertarik untuk tidur, meringkuk di atas kasurku. Di luar sangat mendung, mungkin dalam hitungan menit, akan ada hujan lebat.

Mataku sedikit bengkak dan kepalaku sakit. Bantalku basah oleh air mata. Aku sudah lama tidak menangis, tapi sekalinya menangis, aku menyiksa mataku sendiri seperti ini. Baru pertama kali, aku merasakan kepalaku sesakit ini hanya karena menangis.

Dia adalah Pelangi, perempuan yang menjadi temanku selama kurang lebih dua bulan ini. Dia adalah teman pertamaku di kota ini dan mungkin, aku pun adalah teman pertamanya.

Aku pindah ke kota ini karena pekerjaan orang tuaku. Sejak kecil, aku memang terbiasa untuk berpindah dari satu kota ke kota lainnya. Aku tak pernah bertahan di satu sekolah dalam waktu yang lama. Mungkin, paling lama hanya enam bulan. Setelah itu, aku harus pindah lagi ke kota lainnya.

Tentu saja, tak ada yang menyenangkan dari hal itu. Aku pindah sekolah, menemukan teman, harus berpisah, dan sedih akan perpisahan itu. Begitulah siklusnya, sampai aku berprinsip untuk tidak berteman dengan siapapun di sekolah baruku, agar tak ada yang sedih saat hari perpisahan tiba.

Aku memilih untuk menjadi orang yang pendiam, cuek, dan tujuanku ke sekolah hanya belajar. Aku takkan mengubris orang-orang yang ingin berteman denganku. Aku tak peduli mereka berpikir apa, aku hanya tak ingin suatu kesalahan terulang kembali.

Lalu, suatu hari, aku bertemu dengan seorang perempuan aneh, di kelasku.

Namanya Pelangi. Dia tak punya teman. Dia juga tak pernah ikut pelajaran olahraga. Dia hanya duduk di tepian lapangan, menonton setiap pertandingan yang kami mainkan pada jam pelajaran olahraga. Aku tak tau alasannya, padahal, di kelas, dia merupakan murid yang lumayan aktif. Bahkan, dia adalah murid kesayangan dari guru matematika kami di kelas.

Dia cantik. Rambutnya sedikit ikal, panjang sepunggung. Dia tak tinggi, memiliki kulit putih pucat, serta lesung pipi di bawah matanya, yang tampak ketika dia tersenyum.

Sampai akhirnya, di suatu malam, aku tak sengaja melihatnya duduk di sebuah halte. Dia sendirian, mengenakan dress panjang dan jaket abu-abu tua, tampak seperti sedang menunggu seseorang.

Aku, yang waktu itu sedang mengendarai motor, lantas berhenti di depan halte tersebut.

Dia tampak sedikit kaget, tapi tetap melemparkan senyumannya ke arahku.

"Kamu... Dewa, ya? Si anak baru?" tanyanya.

"Kamu nungguin siapa?" kataku, bertanya balik. "Udah jam segini. Ga takut kalau ada orang jahat yang dateng buat gangguin?"

Dia hanya diam, tak menjawab apa-apa.

"Ayo, aku anterin."

Dia mengangkat kepalanya, menatapku. "Beneran?"

Aku mengangguk.

Kupikir, tugasku malam itu hanyalah sebatas membantunya untuk pulang ke rumah. Namun, ternyata, dia tinggal di sebuah apartemen dan sialnya, malam itu, lift itu rusak. Mau tak mau, dia harus menaiki anak tangga.

Aku sedikit kaget ketika dia meminta bantuanku untuk menggendongnya menaiki anak tangga. Aku sedikit jengkel. Apa maksudnya? Bukankah niatku baik untuk sekedar membantu? Kenapa kesannya jadi seperti dikasih hati minta jantung?

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang