Cinta Membawamu Kembali

215 27 0
                                    

"GIMANA? Kamu suka?"

Aku mengernyitkan dahiku, mencoba menganalisis rasanya. Pahit dan manis bercampur di lidahku, entah bagaimana bisa menciptakan kehangatan ke seluruh bagian tubuhku.

"Ini racikan yang paling pas," kataku, tersenyum ke arahnya yang sudah lebih dulu tersenyum. "Aku suka banget."

Senyuman Rey melebar. Dapat kutebak, ucapanku barusan benar-benar membuat hatinya senang, mengingat bahwa itu sudah racikan ke sembilan yang kucoba. Dia sudah memiliki semua menu yang pas untuk coffee shop miliknya, kecuali hidangan yang seharusnya menjadi ciri khas coffee shop itu sendiri, yaitu kopi.

Rey sangat menyukai kopi. Aku selalu memperingatkannya bahwa kopi tak baik jika dikonsumsi setiap hari. Butuh waktu yang lama untuk membujuknya dan mendengarkanku mengenai hal itu. Mulanya, Rey adalah barista di sebuah kafe di dekat rumahku. Namun, saat ini, dia memilih untuk mencoba membuka bisnisnya sendiri dan lidahku sudah menjadi alat eksperimen sebelum bisnisnya itu di buka.

Percakapan singkat itu menggema di kepalaku, padahal aku sedang duduk di teras depan rumah, memandangi bulan sabit yang malam ini tampak tak begitu terang. Aku memeluk tubuhku, mencoba meminimalisir suhu dingin dari angin malam yang semakin lama membuatku semakin risih.

Kenapa aku merindukannya?

Yah, setidaknya, itu setahun yang lalu. Aku dan Rey sudah berpisah. Hubungan kami baik-baik saja sampai perdebatan akan hal apapun mulai muncul. Perkelahian yang kata orang, terkadang bisa menjadi bumbu pelengkap suatu hubungan, menjadi pengacau di hubungan kami. Aku tau, bukan dia yang salah. Bukan aku juga yang salah. Ini bukan tentang aku vs dia, tapi kami vs masalah.

"Aku gak bisa kaya gini terus," katanya, suatu malam. Aku dan dia berada di dapur coffee shopnya, sama-sama membuat minuman untuk pelanggan. "Kita putus aja."

"Karena selalu berantem?" tanyaku. Aku harus jujur, aku tak ingin berpisah darinya. Maksudku, ayolah, aku mencintainya.

"Aku udah kehilangan perasaan buat kamu," ujarnya, membelakangiku. Aku tau, dia berusaha untuk tidak melihat ke arahku karena rasanya akan sedikit canggung, dan jujur saja, itu menyakitiku. "Hubungan ini juga udah dingin. Gak ada gunanya kalau diterusin."

Sejak saat itu, aku tak pernah mengunjunginya lagi. Coffee shopnya berjarak cukup jauh dari rumahku, jadi seharusnya, tak ada masalah. Kupikir, setelah aku putus darinya pun, takkan ada masalah. Maksudku... aku akan baik-baik saja. Ini bukan patah hati pertamaku, jadi aku tau persis bagaimana proses hatiku sembuh kembali, seperti patah hatiku sebelumnya.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Entah sejak kapan, melamun menjadi hal yang paling kubenci di dunia ini karena semesta tetap saja menyikutku akan bayangan tentang dirinya. Apapun itu. Balon, kue ulang tahun, kopi, parfum, apapun itu. Hal-hal kecil yang bagiku tak istimewa ketika aku bersama Rey, seketika menjadi bayangan hitam menakutkan setelah aku berpisah darinya.

Aku masih tak masalah jika lamunan membawanya datang ke kepalaku. Aku lebih benci jika aku melamunkan dirinya, lalu aku merindukannya. Ayolah, kenapa hatiku dan pikiranku tak mau bekerja sama denganku? Kenapa mereka harus menyiksaku? Bukannya mudah bagiku untuk melupakannya. Bukannya mudah bagiku untuk sembuh dari kerusakan yang dia sebabkan di dasar hatiku.

"Kalau suatu saat kita bukan jodoh, kita juga harus bersyukur," ucap Rey, suatu hari, ketika kami masih menjadi sepasang kekasih. Dia memegang gitar di pangkuannya, tersenyum ke arahku yang memeluk lutut di sebelahnya. "Karena kita bakalan dapet yang jauh lebih baik."

Aku tau. Aku juga tak bodoh, tentu saja aku tau, ada ribuan pria yang jauh lebih baik daripada Rey. Aku juga tau, kalau aku tidak berjodoh dengannya, tentu saja aku akan mendapatkan ganti yang jauh lebih baik. Ya, mungkin dia bisa berpikir selogis itu dan menjadi baik-baik saja karena mindset itu.

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang