Sebuah Lagu Wisuda

248 19 0
                                    

"SELAMAT, ya. Sekarang, lo bakalan nempuh hidup baru. Gak boleh males lagi. Denger, gak?"

Aku tersenyum. "Iya, iya."

"Gue punya satu lagu wisuda buat lo," ucap Edwin. "Eh, nanti gue telepon lagi, ya. Gue lagi ribet. Dah."

Sambungan telepon itu pun terputus. Aku menggantungkan ponselku cukup lama di telinga untuk mendengar nada sambung yang terputus tersebut, sampai akhirnya meletakkan ponselku kembali di atas meja belajar.

Sepersekian detik, ponselku bergetar kembali. Ada sebuah pesan baru.

Aku tersenyum ringan ketika melihat kolom pesan itu berisi sebuah lagu yang Edwin maksud tadi. Lagu itu dinyanyikan oleh penyanyi yang tak seterkenal penyanyi indie pada umumnya, tapi aku dan Edwin pernah membicarakan salah satu lagu dari penyanyi ini.

Lagu yang baru saja Edwin kirim berjudul Untukmu yang Baru Saja Diwisuda, dinyanyikan oleh Senar Senja.

Benar. Aku baru saja menamatkan kuliahku dan pagi ini, aku baru saja wisuda. Edwin, salah satu temanku sejak kecil, tak bisa mendatangi acara wisudaku karena kami terpaut jarak sehingga dia hanya bisa mengucapkan selamat melalui telepon.

Itu tak masalah untukku. Berbicara dengannya dan mendengarkan suaranya, tawanya, saja sudah membuatku senang. Meskipun dia adalah orang yang sama dengan orang yang bermain layangan bersamaku saat aku masih berusia enam tahun, tapi bagiku, dia berbeda.

Aku dan Edwin terpaut tujuh tahun. Usiaku 22 tahun saat ini, sedangkan dia berusia 29 tahun. Aku menyadari bahwa aku mencintainya sejak aku berada di bangku SMP, ketika dia mendatangi laki-laki yang menjahiliku ke sekolah. Dia tak peduli dengan apa yang dikatakan orang-orang mengenai seorang anak SMA yang mendatangi anak SMP dengan amarah meledak-ledak. Dia hanya membantuku karena peduli padaku.

Bukan berarti aku tak pernah membuka hati untuk lelaki lain selama ini. Tentu saja, aku pernah. Aku berkali-kali berpacaran dengan lelaki lain agar aku bisa melupakan Edwin. Bagaimanapun juga, Edwin adalah teman dekatku dan seperti yang orang-orang katakan, jangan jatuh cinta kepada teman sendiri jika kamu tak ingin kehilangan dua orang, yaitu teman dan pacar.

Namun, quotes tak memiliki kuasa apapun atas seseorang yang sedang mencinta. Jangankan quotes, bahkan diriku dan otakku sendiri tak memiliki kuasa apapun atas perasaanku untuk Edwin. Aku tetap mencintainya. Dia terlalu sempurna bagiku. Aku ingin menjadikannya milikku. Namun, aku hanya tak tau apa yang harus kulakukan. Aku terlalu takut dengan 'semua kata orang' mengenai kemungkinan yang terjadi jika Edwin tau bahwa aku mencintainya.

Jari telunjukku menekan tombol play tersebut. Ketika melodi awal lagu itu terdengar, aku spontan memejamkan mataku.

Untukmu yang baru saja diwisuda
Selamat menempuh masa dimana
Buku-buku tak lagi disampingmu

Aku merasakan jingga yang berserakan di permukaan langit ketika lagu itu mulai memasuki gendang telingaku. Di antara sinar jingga itu, aku melihat seorang lelaki berusia tiga belas tahun yang menggandeng tangan perempuan berusia enam tahun yang ompong, berlari menelusuri kebun teh dengan wajah berseri-seri.

Teman-teman semua tersenyum riang
Menatapmu seakan kau melayang
Di atas awan berbahagia

Lelaki itu adalah orang yang dari dulu selalu peduli kepada perempuan itu. Lelaki yang mudah khawatir, emosian, dan terkadang justru membuat kesal dengan karakternya itu. Namun, perempuan itu selalu, selalu, selalu menyukainya, tak peduli seberapa jauh jarak umur mereka dan tak peduli sedekat apapun hubungan mereka sebagai teman.

Satu langkah menuju mimpi berikutnya
Kudoakan kau selalu taklukkan
Mimpi indahmu

"Lo tau kan, kalau lo gak mungkin mendem terus?" gumamku menopang dagu, memandangi langit sore melalui jendela kaca kamarku. "Lo udah lulus. Dia udah 29 tahun. Waktu tetep berjalan. Apa yang mau lo lakuin selanjutnya? Tetep diem sampe jadi tamu undangan di pernikahannya?"

Tentu saja, aku tak mau. Untuk membayangkannya dengan wanita lain saja rasanya begitu menyakitkan. Berbeda denganku yang kerap mencoba melupakan perasaanku untuknya dengan berpacaran dengan lelaki lain, Edwin tak pernah berpacaran dengan perempuan manapun dari dulu. Jadi, kupikir, akan sangat menyakitkan bagiku jika suatu saat aku tiba-tiba melihatnya menggandeng wanita lain.

Namun, bukankah itu yang akan kudapatkan jika aku tak kunjung memberitahunya mengenai perasaanku?

Aku terdiam cukup lama, memberi ruang untuk hatiku yang bimbang. Apakah aku harus mengakhiri perasaan terpendam ini hari ini? Apakah aku harus membiarkan Edwin tau hari ini? Bayangkan, sepuluh tahun memendam dan hari ini adalah waktu yang kupilih untuk merobek perasaan itu agar keluar dari tempat persembunyiannya.

Aku meraih ponselku. Perasaan di dadaku campur aduk, tapi aku paling bisa merasakan dominasi dari rasa takut yang berkecamuk ria dan membuat jemariku sedikit gemetaran.

Siapa sangka sebuah lagu wisuda dari Edwin bisa membuatku menjadikan hari ini sebagai waktu yang tepat untuk menyatakan perasaanku?

"Halo, Kak."

"Halo, Lara? Duh, Ra, gue lagi sibuk banget, ada banyakー"

"Gue suka sama lo, Kak."

Sambungan telepon itu seketika hening. Aku sempat ragu apakah sinyalnya yang bermasalah, tapi aku masih bisa mendengar sekelebat suara dari orang-orang di sekitar Edwin.

"Gue suka sama lo sejak gue masih sebelas tahun dan lo masih delapan belas tahun. Gue suka sama lo, Kak. Selalu, sejak saat itu," tambahku. "Maafin gue."

"Kenapa minta maaf?" tanya Edwin, setelah diam cukup lama.

"Jangan jauhin gue," kataku lagi, dengan nada rendah. "Gue bakalan cari cara buat hapus perasaan ini, jadi jangan jauhin gue dan tetep jadi temen gue."

Edwin terkekeh kecil. "Apaan, sih."

Hening lagi. Aku dan Edwin tak pernah berada di posisi secanggung ini sebelumnya. Aku merasa, saat ini sesuatu di dadaku benar-benar terasa lapang karena perasaan yang kupendam selama bertahun-tahun sudah kukeluarkan.

"Gue bakalan telepon lo lagi nanti, ya?" ujar Edwin, akhirnya.

Aku terdiam. Aku jadi sedikit merasa sedih karena entah kenapa, aku merasa bahwa dia akan memberikan jawaban yang buruk atas perasaanku.

"Lara?"

"Hm?"

"Kok diem?"

"Gue udah ditolak, ya?" kataku.

Edwin tertawa lagi. "Kocak. Sotoy banget. Belom juga dapet jawaban udah nerka-nerka."

"Ya, soalnya, kayanya lo bakalan nolak gue," ucapku. "Sebenernya juga gue confess supaya lega doang, siー"

"Gue juga suka sama lo, Lara. Udah sejak lama," potong Edwin. "Nanti gue telepon lagi, oke?"

--------------------------------

21 Jan 2021

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang