Orang Tua Terbaik

368 14 0
                                    

"DUDUK di sini, sayang," ujarnya, membentangkan kain piknik bermotif kotak-kotak itu di atas rerumputan, lalu duduk di atasnya. "Hari ini cerah sekali."

Aku duduk di sebelahnya, meskipun berat bagiku untuk duduk di permukaan rumput begini karena kakiku yang sudah tak kuat. Berhubung usiaku sudah berada di enam puluhan tahun, rasanya wajar jika aku jadi begini. Namun, suamiku, meskipun lebih tua empat tahun, dia jauh lebih bugar.

"Gapapa Rory main di situ?" tanyaku, menatap khawatir. "Duh, dia gak pake sendal lagi. Kalau ada batu kerikil kena kakinya gimana?"

Danu, suamiku, tersenyum. "Gapapa. Gak ada kerikil, tenang aja."

Aku dan Danu tersenyum, memandangi Rory yang berjalan kesana kemari, sibuk dengan dirinya sendiri dan Mogi, kucing peliharaan kami. Anak kami, Evan, memiliki urusan pekerjaan di luar kota bersama istrinya sehingga kami meminta agar Rory dititipkan di rumah kami saja, daripada Rory harus dibawa ke daycare atau dijaga oleh babysitter dan semacamnya.

"Andaikata kita gak nyelamatin Evan dan Vino waktu itu," Danu membuka suara. "Gak akan ada hari ini."

Aku tersenyum ringan. "Benar."

Kami memiliki dua anak. Evan dan Vino. Mereka bukanlah anak kandung kami. Mereka adalah anak dari kakakku. Kakakku dan suaminya meninggal karena kecelakaan, hanya Evan dan Vino lah yang tersisa. Kami memutuskan untuk merawat dan menjaga mereka layaknya anak kami sendiri. Kami mengasihinya, tak menganggapnya sebagai keponakan. Bagi kami, mereka adalah anak kami.

"Maafin aku, ya," ucap Danu, tiba-tiba.

"Untuk?"

"Roti dagingnya malah ketinggalan di rumah," kata Danu. "Aku lupa, sayang."

Aku menahan tawa. Sudah lama dia tak mengucapkan kata maaf. Mungkin, kalimat itu adalah kalimat yang sering dia ucapkan pada tahun-tahun awal kami menikah. Kalimat itu pertama kali dia ucapkan ketika kami baru saja pulang dari sebuah klinik dokter waktu itu.

Aku memejamkan mataku. Angin senja melemparkanku ke sebuah memori masa lalu, mengajakku untuk bernostalgia. Aku menghela napas, menyandarkan kepalaku di pundak Danu.

Mari kita mulai.

Pria itu adalah seseorang yang sering memainkan piano tiap kali ada acara pernikahan di kotaku. Dia adalah pemain piano yang handal. Lebih tepatnya, dia adalah pemain musik yang handal. Dia juga bisa bermain gitar, ukulele, dan semacamnya. Senyuman yang selalu terukir di bibirnya tiap kali dia selesai membawakan lagu adalah senyuman termanis yang pernah kulihat.

Bulan April pada tahun 1977, dimana dia pertama kali menyadari keberadaanku. Dimana aku tak lagi menyandang status sebagai penggemar rahasianya. Bulan dimana langit selalu mendung, tapi tak hujan. Dimana dia pertama kali tau kalau aku ini ada, meskipun waktu itu dia tak sengaja menumpahkan saus tomat di gaun putihku. Padahal, itu adalah gaun indah yang kakakku jahitkan untukku di hari pernikahannya.

Sebagai gantinya, pria bernama Danu itu membelikanku gaun putih dengan model yang berbeda. Kuakui, gaun itu tak lebih indah dari yang kakakku jahitkan, tapi aku sangat bahagia memiliki gaun putih dari Danu waktu itu. Aku bahkan tak berani memakainya karena aku takut gaun itu takkan seindah ketika pertama kali aku menerimanya.

Semesta baik karena terus mempertemukan kami dalam berbagai kejadian. Lambat tapi pasti, aku dan Danu pun menjadi sepasang kekasih. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Di usia kami yang sudah cukup matang, kami pun memutuskan untuk menikah. Dia menjadi pemain piano di pernikahannya sendiri. Aku tak pernah melihat senyuman semanis hari itu sebelumnya, bahkan sampai sekarang. Bagiku, senyumannya pada hari itu adalah senyuman termanis yang pernah ada.

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang