Second Chance

346 16 0
                                    

Ketika duniaku sedang hancur-hancurnya, aku terlempar ke sebuah ruang waktu yang berbeda. Aku ingat, tadi malam, seorang tahanan mengajarkanku cara rahasia untuk kembali ke masa lalu agar aku bisa kabur dan tidak harus mengikuti eksekusi mati keesokan harinya. Semesta benar-benar mengabulkan permintaanku. Namun, aku kembali ke ratusan tahun yang lalu. Tahun 1805 di sebuah kota yang bahkan tak kuketahui tempatnya.

Kota yang tak kuketahui, tapi damai dan asri. Setidaknya, tempat ini jauh lebih baik daripada sel tahanan yang beraroma seperti pakaian basah yang tak dijemur berhari-hari. Akupun memulai kehidupan baruku di kota yang disebut kota Hadni tersebut. Aku hidup sebatang kara, tapi aku menginginkan satu hal. Aku ingin berubah menjadi manusia yang lebih baik.

Aku mungkin seorang pembunuh dulunya, meskipun hanya berstatus sebagai anak buah dan berada di bawah tekanan atasan yang kejam. Hal itu membuatku sering keluar masuk penjara, sampai akhirnya aku ditangkap karena terlibat dalam pembunuhan orang penting di sebuah negara, itulah kenapa aku dijatuhkan vonis untuk dieksekusi mati.

Di kota Hadni, aku memulai kehidupan baru. Aku tak ingin jatuh ke lubang yang sama dan tak bisa keluar lagi. Maka dari itu, aku mulai mengerjakan pekerjaan yang lebih baik dan mendapatkan uang meskipun tak sebanyak ketika aku melakukan kejahatan. Namun, kupikir, memiliki sedikit uang jauh lebih menenangkan daripada ketika aku memiliki banyak uang.

Kota Hadni ini baru saja menemukan teknologi bernama kereta api sebagai alat transportasi umum. Hari ini adalah hari dimana aku menguras gaji pertamaku untuk mencoba kereta api di kota ini pertama kali. Aku sudah berkali-kali menggunakan kereta api sebagai alat transportasi umum ketika aku di masa depan, tapi kali ini, aku ingin ikut merasakan euphoria yang warga setempat rasakan ketika mencoba kereta api pertama kali.

"Dapat!" sahut perempuan yang ada di hadapanku, menangkap topi fedoraku yang hampir saja terbang menjauh ke luar kereta api. Perempuan itu tersenyum ringan, menyodorkan topi fedoraku kembali. "Hampir aja hilang."

Dari aksennya, kupikir dia bukanlah orang sini. Dia memiliki aksen luar dan wajahnya juga menampakkan paras cantik dari perempuan luar dengan warna mata yang tak biasa. Rambutnya ikal dan panjang, mengenakan topi berpita biru di atas kepalanya.

Setelah berbincang sedikit, ada banyak persamaan di antara kami berdua. Perempuan yang bernama Jemima itu ternyata seorang penulis dan ketika berbicara dengannya, aku baru mengingat fakta bahwa dulu aku sering menciptakan lagu dan bernyanyi. Keadaan mendesak membuatku harus banting stir ke profesi gelap. Jauh, jauh, di dalam lubuk hatiku, yang paling kuinginkan hanyalah bernyanyi dan memainkan musik.

Di luar dugaan, kami memutuskan untuk bekerja bersama dan menciptakan lagu bersama. Pada ruang waktu yang ini, musik tidak seterkenal di masa depan. Musik masih dianggap aneh dan dihubungkan kepada hal yang buruk seperti sihir dan semacamnya. Keinginan terbesar Jemima adalah menyampaikan isi hatinya berisi perdamaian dan menggeser stereotipe masyarakat ke arah yang lebih baik.

Stereotipe yang buruk di kota ini adalah perempuan bangsawan tidak diperkenankan menikah dengan lelaki biasa. Lelaki bangsawan boleh menikah dengan perempuan biasa. Tak hanya itu, kalaupun tak dipilih untuk menikah, lelaki bangsawan boleh menjadikan perempuan biasa manapun sebagai budak untuk melayani kebutuhan biologisnya. Itu adalah stereotipe yang buruk dan sangat ditentang oleh Jemima. Apalagi, Jemima adalah salah satu perempuan bangsawan yang tiap hari menyaksikan betapa menyebalkannya stereotipe itu menari di hadapannya.

"Laki-laki emang bisa ngelakuin semuanya. Sedangkan perempuan dipaksa tunduk, jadi pajangan, mesin bayi, dan semacamnya," ucap Jemima, suatu hari. Kami duduk di rumput hijau. Angin memainkan rambut ikalnya yang memesona. "Belasan tahun lagi, puluhan tahun lagi, ratusan tahun lagi... apakah semuanya bakalan berubah dan stereotipe buruk itu bisa bergeser ke arah yang lebih baik ya, Nar?"

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang