Midnight Call

318 23 0
                                    

"TIDUR sekarang aja gak, sih? Kamu udah ngantuk banget, kayanya."

"Gak, nanti dulu. Kamu cerita aja, aku dengerin."

Aku diam sejenak, memandang langit-langit kamarku dengan tatapan kosong. Arloji kecil yang ada di sudut atas layar ponselku menunjukkan pukul dua pagi. Wajar saja, lelaki ini mengantuk. Dia sudah melewati hari yang berat dan sepertinya, aku sedikit mengganggu jam istirahatnya.

Ingin sekali aku bertanya kepadanya, "Aku ganggu gak, sih?", tapi dia sudah pernah bilang bahwa kehadiranku tak mengganggu. Aku tau, dia sangat tak suka dan muak kepada orang yang mengulang sesuatu berkali-kali jika sudah dia jawab sekali.

Bukannya aku ingin memancing amarahnya. Terkadang, kurasa, kehadiranku memang mengganggu untuknya. Aku tak masalah jika memang baginya tidak begitu, toh aku juga tau kalau pastinya kehadiranku membuatnya senang. Namun, bagiku sendiri, kehadiranku terkadang memang mengganggunya dan dia tak perlu marah akan pernyataan ini, karena ini murni mengenai apa yang kurasakan.

Brian memang orang yang mudah sekali ngantuk dan tidur. Dia bahkan bisa tidur hanya dalam hitungan detik. Aku yakin, selain memang dirinya yang dari dulu tak kerap begadang seperti anak muda lainnya, hari ini dia juga sudah melalui hari yang panjang dan bekerja dari pagi sampai sore. Tentu saja, dia lelah.

"Mas?"

Tak ada suara.

"Udah tidur, ya?"

"Apa, sayang?"

"Aku mau bilang," Aku memberi jeda. "Meeting you was a nice accident. I really happy for having you in my life. As my boyfriend, as my friend, as my... ehm, mine?"

"Oh, ya?" Dia terkekeh kecil.

Aku berdehem. "Karena aku gak bisa nemuin kehangatan keluarga besar di tempatku, I hope I'll find it in yours."

Dia tertawa lagi.

Aku tau, sebenarnya, dia bahkan tak mendengar apa yang kukatakan. Seperti itulah kebiasaan anehnya jika sudah mengantuk, benar-benar seperti orang mabuk. Dia takkan bisa mendengar apapun dan jika besok pagi kutanya, "Kamu inget gak, aku bilang apa semalem?", dia takkan ingat.

"Can I ask you something?" tanyaku lagi.

"What?"

"Do you love me?"

Dia terdiam sejenak. "Lumayan."

Aku menaikkan alisku. "Lumayan?"

"Heem."

Aku tak mengerti. Maksudnya?

Aku terdiam cukup lama, mencoba mencerna maksudnya. Aku tau, dia menjadikan 'lumayan' sebagai jawaban pun bukan berarti dia tidak mencintaiku. Hanya saja... entahlah, apakah yang dia katakan itu benar? Maksudku, untuk apa juga dia berbohong? Apalagi, sudah kukatakan, dia sudah seperti orang mabuk jika mengantuk berat. Tentu saja, dia akan menjawab dengan jujur jika ditanya.

Jika dia lumayan mencintaiku, itu artinya pada skala berapa jika kita membawanya dalam hitungan matematika? 60 persen? 50? 30? 20?

"Oke..." Aku mangut-mangut. "Yaudah, deh. Tidur aja, yuk?"

Tak terdengar suara apapun.

Sepertinya dia sudah tidur. Aku pun menyalakan layar ponselku yang sempat gelap, lalu menekan tombol merah untuk mematikan sambungan teleponnya.

Setelah keluar kamar untuk mengambil segelas air mineral, aku pun kembali ke kamar dan mengunci pintu kamarku. Baru saja aku membaringkan tubuhku di atas tempat tidur dan menarik selimut, ponselku berdering kembali.

Jika nada dering itu adalah lagu Sweet And Sweet Cherry yang dibawakan oleh Horie Yui, yaitu nada dering yang sudah kupakai sejak SMP, maka itu adalah telepon dari orang biasa. Namun, kali ini, nada dering itu adalah lagu It's You yang dibawakan oleh Sezairi, nada dering khusus yang kuset untuk Brian.

"Halo."

"Kenapa teleponnya mati?" tanya Brian. Kali ini, suaranya sedikit lebih lantang daripada suaranya yang tadi, ketika dia masih menahan kantuk. Mungkin, kali ini, dia sudah sedikit 'tak mabuk' lagi.

"Kamu udah ngantuk, kan?" Aku bertanya balik. "Kamu capek, pasti. Tidur, yuk?"

"Kenapa?"

Aku terdiam sejenak. Menimbang-nimbang, apakah aku harus bertanya kepadanya mengenai maksud dari jawabannya tadi?

"Sayang?"

"Tadi aku ngomong, tapi kamu gak denger. Yaudah, kita tidur aja," kataku.

"Kamu marah, ya?"

"No, no, babe," jawabku. "Besok kita bahas, oke?"

Aku tak tau maksud dari jawabannya saat itu, bahkan sampai saat ini. Aku tak marah, sama sekali tidak. Aku hanya sedikit bingung, itulah kenapa aku memilih untuk mematikan sambungan telepon itu, waktu itu. Aku tak marah... sama sekali tidak.

Meskipun jawaban itu keluar langsung darinya, but I believe that he loves me. Entah apa yang salah dengan dia dan jawabannya waktu itu... aku pun tak mengerti. Hanya saja, rasa bingung itu tak ingin membuatku larut dalam pikiran buruk tentang dia, orang yang sangat kuhargai kehadirannya sebagai pasanganku. Setidaknya, begitu yang kupercayai.

--------------------------------

15 Jan 2021

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang