I Overmiss You

177 20 6
                                    

"OKE, kalau itu mau kamu," Aku memberi jeda. "Udah, batalin aja pertemuan kita. Aku capek juga kalau ketemu nanti malah jadi berantem kaya gini."

"Kamu gak ngerti maksudku, ya," ujar Karel. Aku tau, dia bersusah payah memompa kesabarannya demi menanggapiku yang sudah berapi-api. "Bukannya aku gak mau ketemu kamu, Day. Aku selesaiin pekerjaanku dulu, baru aku ke tempat kamu. Gitu doang. Sesusah itukah untuk dipahami?"

"Udah, batal aja," kataku. "Yaudah, aku lagi ada kerjaan juga. Aku tutup teleponnya, ya."

Aku memutuskan sambungan telepon itu sebelum Karel membalas ucapanku. Aku menghela napas, lalu berjalan masuk ke dalam kantor untuk kembali mengerjakan setumpuk file yang menungguku. Alih-alih memesan sepiring batagor di kantin kantor yang sudah kurencanakan tadi, aku lebih memilih untuk berkutat dengan setumpuk berkas di atas meja kerjaku. Perutku sudah kenyang duluan. Aku kehilangan selera makan akibat perbincangan lewat telepon tadi. Mungkin, seharusnya, aku makan siang dulu sebelum meneleponnya tadi.

Karel adalah pacarku. Kami berada di kota yang berbeda karena pekerjaan. Kami sudah pacaran lama sekali, tapi rasanya permen karet itu masih nyaman untuk dikunyah meskipun terkadang sudah tak terasa manis. Jarak kami tak dekat. Kami terpaut jarak kota yang cukup jauh. Namun, Karel berjanji untuk menemuiku di akhir bulan, tapi nyatanya sampai sekarang, dia selalu membatalkan janjinya karena urusan pekerjaan.

Bahkan sudah delapan bulan berlalu sejak dia bekerja di kota tetangga yang artinya sudah delapan bulan pula kami tak bertemu. Sejak awal dia bekerja di sana, dia sudah berjanji untuk datang menemuiku, katanya sekedar perayaan kecil-kecilan karena dia sudah mendapatkan pekerjaan meskipun jauh dari rumahnya yang dia tempati selama ini.

Namun, janji itu tak kunjung dia tepati. Jika dia tiap bulan berjanji, itu tandanya sudah delapan kali dia berjanji dan semuanya tak ada yang jelas. Aku tak masalah jika pekerjaannya membuatnya tak bisa menemuiku, tapi jika sudah tau akan begitu, lebih baik tak usah berjanji sekalian dan membuatku berharap, lalu memakan hati pada ujungnya.

"Gak jadi makan batagor?" tanya Lala meletakkan sebotol air mineral di atas mejaku, yang tadi sempat kutitip padanya sebelum dia pergi ke kantin.

"Bete duluan," jawabku, singkat.

"Kenapa?" Lala bertanya lagi, lalu menarik kursi untuk duduk di dekatku. "Karel lagi?"

Aku hanya diam, tak menjawab apapun. Tanganku meraih botol air mineral yang di luarnya mengembun karena dingin. Aku berusaha membuka segelnya, tapi Lala segera meraih botol itu dan membukakannya dengan sekali putaran, berinisiatif untuk membantuku yang tampak kesulitan.

"Pacar gue kejauhan, jadinya minta tolong bukain air mineral aja sama orang lain," celetukku asal-asalan, lalu meneguk air mineral tersebut.

"Apaan, sih," komentar Lala. "Lo kangen kan sama Karel?"

Aku terdiam sejenak, lama. "Males kalau kangen sama orang, tapi orangnya gak kangen balik."

"Gengsi banget, anjir," ucap Lala. "Kalau kangen kenapa marah?"

"Justru karena gue kangen, makanya gue marah, La," kataku, dramatis. "Gue tuh… ah, lo paham gak, sih. Dikira kangen tuh enak apa."

"Tapi amarah lo itu yang bisa bikin lo makin renggang sama Karel," Lala menaikkan kedua bahunya. "Lo kangen, lo marah, kalian berantem, hubungan kalian renggang. Kan bukan itu yang lo mau."

Aku tak menjawab apapun lagi. Lala tak mengerti. Aku benar-benar merindukan Karel. Aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin memeluknya, menggandeng tangannya, duduk bersebelahan dengannya bahkan jika kami tak memiliki topik obrolan yang menarik. Perasaan rindu yang terkurung ini membuatku dipenuhi oleh emosi buruk.

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang