Tamu

149 13 0
                                    

Cerita ini bergenre thriller dan 18+. Jika tidak suka ataupun di bawah 18, silakan skip.

----------------------------------------------------

"BAIKLAH, kita bicarakan lagi nanti," ujarku. Sebenarnya, suara musik yang terlalu kencang di bar ini membuatku kesulitan mendengar suara dari rekan kerjaku di seberang sana. "Dah."

Usai memutuskan telepon itu, aku memasukkan ponselku ke dalam saku celanaku. Ini adalah hari libur, tapi rekan kerjaku tetap menelepon untuk urusan yang tak penting. Dia memberitahuku bahwa Ian, salah satu rekan kerja kami, baru saja meninggal dan alasannya belum diketahui.

Bukan berarti aku tak merasa simpati. Hanya saja, aku tak dekat dengan Ian. Kami bahkan berbeda divisi. Kupikir, dia berada di bawahku. Aku tak terlalu peduli. Aku hanya akan mencari tau mengenai Ian besok pagi, ketika isi kepalaku tidak seberisik sekarang.

Jemariku meraih segelas anggur di hadapanku, lalu meneguknya dengan mata yang menyapu ke kerumunan orang dengan kegiatan yang berbeda. Ada yang sedang berdansa, meneguk anggurnya sepertiku, dan ada juga yang duduk bersama beberapa gadis, memuaskan hasrat kebejatan dalam dirinya.

Baru saja aku hendak bangkit dari dudukku, ada seorang wanita yang datang di sebelahku untuk memesan minuman. Aroma tubuhnya semerbak, bagaikan bunga yang baru saja mekar di awal musim semi. Rambutnya cokelat tua, panjang sepunggung. Dia mengenakan dress berwarna hitam yang menurutku, benar-benar cocok dengannya.

"Hei," sapaku.

Dia menoleh, lalu tersenyum. "Hei."

"Kau sendirian?" tanyaku.

Dia mengambil posisi di kursi sebelahku, masih dengan senyuman terukir di wajah cantiknya. "Ya, aku sendirian. Bagaimana denganmu?"

"Ya, kupikir begitu."

Dia mengangguk, mengerti. Dia mulai beralih ke hal lain, yaitu ponselnya. Sepersekian menit, wanita itu berdecak sebal. Aku dapat melihat di layar ponselnya bahwa salah satu Uber baru saja membatalkan pesanannya.

"Kau ingin pulang?" tanyaku, mengubah posisiku menjadi berdiri. "Aku bisa mengantarmu."

Dia terdiam sejenak. "Kau yakin?"

Aku mengangguk, yakin. "Ayo. Omong-omong, siapa namamu?"

"Alice."

Alih-alih mengantarkannya ke rumahnya malam itu, aku justru membawanya ke rumahku. Rumahku terletak tak jauh dari bar tersebut, tapi bukan berarti dekat juga. Rumahnya sangat jauh dari bar tersebut, tapi katanya, dia memang bekerja di dekat sini.

Pria hanya butuh delapan detik untuk jatuh cinta, itulah yang penelitian katakan. Aku setuju dengan pernyataan itu. Aku tertarik kepada Alice. Dia adalah wanita yang cantik. Siapa yang tak suka dengan wanita cantik? Dia memiliki mata hijau terang yang indah, serta rambut panjang yang halus. Aku pun memintanya untuk tinggal di rumahku malam itu. Seperti yang wajar saja terjadi jika pria dan wanita yang tinggal dalam satu rumah, kami pun menghabiskan waktu bersama semalaman sampai fajar pun tiba.

Kupikir, aku hanya akan menjalin cinta satu malam bersama Alice. Namun, dia adalah wanita yang lebih baik dari yang kubayangkan. Dia memiliki segalanya. Dia sempurna, bagaikan tokoh fiksi utama dari series yang selalu kutonton setiap weekend. Aku sudah lama tidak tertarik kepada wanita. Aku selalu sibuk bekerja. Kupikir, inilah reward yang Tuhan berikan karena selama ini aku sudah bekerja keras dan mengedampingkan kehidupan pribadiku untuk uang dan pekerjaan.

Aku mengajak Alice untuk tinggal bersamaku. Aku bisa membayangkan betapa bahagianya aku jika tiap pagi aku melihat wajah cantiknya di sebelahku, memelukku sepanjang malam, dan menemani keseharianku yang biasanya selalu tinggal sendirian. Aku pun memberikannya semua akses dalam rumahku karena bagiku, segala asetku juga milik pasanganku.

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang