Lucky Is...

225 11 0
                                    

"KAMU beruntung, Kak. Itu cangkir jingga terakhir, kan?"

Aku mengangguk, memperhatikan asap yang mengepul dari minuman yang kupegang dengan kedua tanganku. Tak hanya untuk diminum, tapi saat ini pun kugunakan sebagai penyalur kehangatan bagiku di cuaca yang sedang tak ramah.

Cokelat yang hangat di sebuah cangkir. Konon, rasanya akan lebih enak jika kamu menggunakan cangkir berwarna jingga jika dibandingkan dengan warna lainnya. Seperti cokelat yang menjadi kesukaanmu, aku adalah cokelat, sedangkan kamu adalah si cangkir jingga.

Cokelat yang tak terlalu manis, tapi bukan berarti hambar. Cokelat yang hangat, kental, dengan wadah yang membuat jemarimu ikut hangat. Apakah jemarimu berbaik hati untuk menyalurkan kehangatan itu ke hatimu juga seperti kehadiranmu yang berbaik hati untuk menyalurkan kehangatannya kepada diriku?

Cokelat yang menjadi kesukaanmu, tapi bukan menjadi kesukaanku. Kesukaanku adalah kamu.

Aku beruntung mendapatkan cangkir ini. Cangkir ini adalah satu-satunya cangkir jingga yang ada di antara cangkir-cangkir merah yang dijual waktu itu. Bentuknya sederhana, pendek, mungkin hanya sebesar kepalan tangan papaku. Kupikir, aku beruntung datang lebih cepat hari itu sehingga aku bisa mendapatkan cangkir yang lucu ini.

Beruntung. Kata 'beruntung' itu bukan kosakata baru. Sejak kecil, aku tau kalau semua orang pastinya kerap mendengar kata itu. Beruntung itu seperti tiba-tiba dibawakan setoples permen mangga ketika Mama pulang dari arisan. Beruntung itu seperti dibelikan kado boneka cantik yang selama ini kamu idam-idamkan pada hari ulang tahun. Beruntung itu seperti tak disangka-sangka menemukan uang di saku celana.

Pikiranku yang sederhana ketika usiaku masih belia mungkin berpikir bahwa keberuntungan itu sekecil itu dan semudah itu untuk didapatkan. Namun, seiring bertambahnya usia, aku sempat berpikir bahwa keberuntungan semakin sulit untuk didapatkan. Aku sempat berpikir bahwa ada banyak sekali orang yang beruntung di dunia ini, tapi entah kemana aku ketika Tuhan mengadakan pembagian keberuntungan sebelum aku dilahirkan.

Beberapa kali aku berpikir, kenapa aku tidak seberuntung orang-orang? Kenapa aku dilahirkan sebagai anak pertama yang mengemban tanggung jawab besar? Kenapa aku dilahirkan di Pulau Sumatera, bukan di Pulau Jawa yang kerap menjadi prioritas? Kenapa ini dan kenapa itu. Kenapa aku tidak seberuntung orang-orang?

Ya, kupikir sebenarnya, kehidupanku juga tak seburuk itu. Aku hanya berlebihan. Aku tetap beruntung karena dilahirkan di keluarga yang utuh. Aku beruntung dilahirkan di keluarga yang memiliki ekonomi cukup. Aku beruntung memilik dua adik yang lucu dan aku menjadi kakak mereka.

Kupikir, untuk menjadi orang yang beruntung itu berat dan aku adalah orang yang jarang sekali mendapat keberuntungan dalam beberapa hal. Namun, lamunanku di sebuah pagi, di teras rumah dengan cangkir jingga yang ada di telapak tanganku ini membuatku berpikir mengenai satu hal. Aku melewatkan sesuatu.

"Emangnya suaraku jelek banget, ya?"

Pria si pecinta kopi hangat dan warna cokelat yang selalu bernyanyi ketika hatinya senang, aku beruntung bertemu denganmu. Aku beruntung karena hari itu kamu terjebak macet. Aku beruntung bisa berbicara banyak denganmu. Aku beruntung karena ketidaksengajaan mengantarkanku ke sebuah perasaan ini.

Masalahku tak ada apa-apanya di saat aku memilikimu. Aku melupakan semua benang kusut di dalam kepalaku di saat aku memilikimu. Kamu adalah penyelesaian dari segala masalahku sekalipun masalahku sepelik semak belukar.

Aku beruntung bisa mendengar ledekanmu. Aku beruntung bisa merasakan kecemburuanmu. Aku beruntung bisa mendengar suaramu, tawamu, segalamu. Pokoknya, aku sudah tak tau definisi dari keberuntungan. Keberuntungan adalah ketika aku memilikimu.

Meskipun aku selalu menggodamu dengan mengatakan bahwa suaramu tak bagus ketika bernyanyi, tapi suaramu selalu menjadi favoritku. Aku beruntung bisa mendengarkan suara itu. Aku beruntung... sangat beruntung mengenai segala hal yang masih memberikanku kesempatan untuk mengantarkanku kepadamu. Keberuntungan adalah menjadi kekasih dari Abi.

Keberuntungan adalah ketika aku memilikimu. Sesingkat itu, semudah itu, dan sesederhana itu. Aku tak menyangka betapa sederhananya sebenarnya keberuntungan itu.

Betapa sedihnya apabila kebahagiaan direnggut dalam sekaligus jika aku kehilangan definisi dari keberuntungan versi diriku. Betapa sedihnya jika kamu tak menjadi milikku lagi. Mungkin, aku sudah tak mengenal apa itu arti dari keberuntungan jika aku kehilanganmu, sayang.

Aku menjatuhkan pandanganku ke cangkir jingga yang kupegang. Seperti yang kukatakan di awal, konon, cokelat akan terasa lebih enak jika disuguhkan di dalam cangkir jingga.

Aku adalah cokelat yang ada di dalam cangkir ini, kamu adalah cangkir jingga yang menjadi wadahku. Aku adalah sesuatu yang hangat dan enak, kamu adalah tempatku. Kamu adalah cangkir jingga, bukan cangkir merah, kuning, apalagi hitam.

Kamu adalah cangkir jingga, yang kupercayai sebagai sesuatu yang membuatku semakin istimewa. Para lelaki yang menginginkanku hanyalah cangkir merah. Aku, si cokelat hangat, mungkin tetap akan menjadi cokelat yang enak di cangkir manapun. Namun, kita sedang berbicara mengenai siapa yang lebih bisa membuatku menjadi istimewa dan mereka tetap takkan pernah bisa menjadi kamu, lelaki kesayanganku.

Aku beruntung memilikimu. Kamu adalah cangkir jingga kesayanganku, sesuatu yang menjadikanku semakin istimewa. Hanya kamu, tak ada yang lain.

-----------------------------------------

10 Feb 2022

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang