Keputusan Terbaik

347 20 0
                                    

AKU memandangi langit-langit kamarku dengan tatapan kosong. Keheningan sudah beranak pinak di ruangan ini sejak dua jam yang lalu. Di kamar yang hening ini, aku hanya bisa mendengar suara ketukan kecil dari arloji yang berposisi tak jauh dari tempat tidurku.

Aku mengubah posisiku ke kanan dan ke kiri, tapi tak kunjung menemukan posisi yang nyaman. Mataku kupejamkan, tapi pikiranku terlalu berisik sehingga aku tak kunjung terbang mengunjungi bunga tidur.

Aku mengubah posisiku menjadi duduk. Tanganku terulur untuk menyalakan lampu tidur di sebelah tempat tidurku sehingga kamarku yang tadinya gelap, seketika berubah menjadi remang-remang oleh nuansa jingga.

"Menikahlah denganku, Sofia."

Aku masih mengingat bagaimana dia berlutut di hadapanku, malam itu. Seketika, makan malam biasa yang sudah biasa kami gunakan sebagai perayaan hari jadi hubungan kami, berubah menjadi makan malam romantis dengan cincin berlian yang dia sodorkan di hadapanku.

Aku menerima lamaran itu. Aku sudah berpacaran lama dengan Alex. Aku tau betul dirinya, dia pun tau betul diriku. Aku sangat mencintainya dan bagiku, tak ada alasan bagiku untuk tidak menerima lamarannya saat itu.

"Kemarin, waktu kamu ada kerjaan ke luar kota, kita ngundang Alex untuk makan malem," kata ibuku, seminggu setelah Alex melamarku.

Waktu itu, aku hanya bisa mengernyitkan dahi, bingung. "Alex gak ngomong apa-apa sama aku soal itu."

"Kita pengen kamu pikirin lagi mateng-mateng soal hubungan kalian, Sofia," ujar ayahku. "Alex sama sekali gak tertarik untuk punya anak. Kamu yakin mau ngikutin peraturan itu?"

"Bu, Yah, ini hidup aku. Aku cinta Alex, terus apa lagi? Kita gak pernah tau ke depannya. Gimana kalau Alex berubah pikiran?"

"Dan gimana kalau dia gak bakalan pernah berubah pikiran?" balas Ibu. "Itu red flag dan seharusnya kamu udah lari sejak awal, Sofia."

"Kita yang paling tau kamu. Kamu pengen menikah dan punya anak. Kalian punya keinginan yang beda. Untuk itu, harus ada yang ngalah. Kamu siap untuk terus ngalah sepanjang hidup kamu?"

Aku bertengkar dengan ayah dan ibu, siang itu. Aku sepenuhnya berada di pihak Alex. Dia adalah orang yang kucintai dan katakan padaku siapa di dunia ini yang tak ingin menikah dengan orang yang mereka cintai. Menata kehidupan bersama, menua bersama, dan...

Punya anak.

Aku sudah tau kalau Alex tak ingin punya anak sejak awal kami berpacaran. Namun, aku mencintainya. Terdengar bodoh, tapi aku merelakan segala keinginanku agar tetap bersama orang yang kucintai. Aku rela mengalah dan mengikuti peraturannya asalkan aku bersamanya. Apa yang terjadi jika tidak ada dia di kehidupanku? Mungkin, aku akan hancur. Itulah yang kupikirkan saat itu.

Pikiranku tak tenang akan hal itu. Aku memiliki cincin yang Alex berikan di jari manisku, tapi aku justru meragukan masa depanku bersamanya karena ucapan orang tuaku pun benar.

Semua berjalan seperti itu sampai suatu hari, Karina, kakak perempuanku, mengadakan pesta ulang tahun untuk anak perempuannya yang bernama Chiara. Chiara berulangtahun yang ke tiga tahun, waktu itu. Dia baru bisa berbicara sedikit. Dia lucu sekali. Wajahnya mirip sekali denganku karena wajahku dan Karina pun sangat mirip.

Alex juga diundang. Kupikir, dia akan membenci anak-anak. Namun, di luar dugaan. Malam itu, aku melihat sisi hangat dari Alex. Dia sangat lembut dan tau cara memperlakukan anak kecil dengan baik. Dia menggendong Chiara, mengajak Chiara bermain, dan memberikan Chiara kado ulang tahun yang lucu.

"Chiara kayanya suka banget sama kamu," ucapku, malam itu. Aku duduk di sebelahnya yang sudah ngos-ngosan setelah main lari-larian bersama Chiara.

Dia terkekeh. "Kayanya sih gitu."

"Rasanya hangat ngebayangin gimana kamu jadi seorang ayah," kataku lagi. "Kamu pasti bakalan jadi ayah yang hebat."

Alex terdiam cukup lama.

"Aku sempet ngebayangin betapa hangatnya rumah kita nanti karena di rumah itu ada satu anak kecil yang mirip banget sama kamu," tambahku. "Atau mirip banget sama aku."

"Sofia," Dia memberi jeda. "Kamu tau keputusanku, kan?"

Aku menghela napasku. Sakit. Aku gagal mendobrak 'pintu' yang ada di dalam hatinya.

"Keputusanku gak akan berubah. Kamu tau itu sejak awal, kan?"

Tidak. Aku bukannya gagal mendobrak pintu itu. Hati itu terbuat dari tembok yang kokoh dan apa yang ingin didobrak? Sejak awal, memang tak ada pintu di dalam hatinya. Barusan, aku seperti orang bodoh saja mendobrak sesuatu yang sudah jelas tak akan pernah bisa dihancurkan.

"Kamu pernah gak, sekali aja nanya soal keinginanku?" Aku tersenyum lirih. "Apa yang kupengen ke depannya dan rumah tangga kaya apa yang pengen aku bangun... kamu pernah gak, penasaran soal itu?"

Alex hanya diam, malam itu. Dia tak menjawab apapun.

"Kamu emang gak nanya dan gak penasaran, tapi biar aku kasih tau," Aku memberi jeda. "Aku pengen nikah sama orang yang aku cinta. Bukan cuma untuk sekedar saling mencintai, tapi menata kehidupan bareng, suka duka bareng, dan... punya anak. Punya anak yang banyak."

Alex tak merespon apapun, tapi dia masih mendengarkanku.

"Semua orang punya keputusan dan aku hargain keputusan kamu untuk gak mau punya anak. Setelah kupikir-pikir, aku gak bisa ngikutin peraturan kamu," ucapku tersenyum, menahan tangisan. "Aku cinta kamu, kupikir itulah kenapa aku terima lamaranmu. Jauh di lubuk hati aku, aku pengen banget nikah sama kamu, hidup bareng kamu, dan menua bareng kamu. Tapi, kamu tau? Cinta aja gak cukup."

Cinta saja takkan pernah cukup. Alex punya keputusan, aku pun punya keputusan. Akhirnya, aku memutuskan hubungan kami malam itu.

Di sinilah aku kembali, di atas tempat tidurku. Meskipun sudah sebulan berlalu sejak kami berpisah, tapi aku masih memikirkannya, merindukannya, dan menginginkannya untuk berada di dekatku. Biasanya, tiap kali dia ada kerjaan di luar kota dan aku merindukannya, aku akan memeluknya ketika kami bertemu kembali. Kini, kerinduan ini sia-sia. Takkan ada pelukan darinya lagi. Aku hanya bisa menahan perasaan ini karena aku punya keputusan dan aku harus lari untuk itu.

Aku tau, keputusan ini adalah yang terbaik untukku. Namun, aku tak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku masih merindukannya. Andai saja kami tidak memiliki perbedaan keputusan, mungkin kami akan baik-baik saja dan tetap melangsungkan pernikahan itu. Hidup bersama, memiliki anak yang banyak, memiliki rumah yang hangat, dan menua bersama.

Sayangnya, dia memiliki keputusannya, aku pun memiliki keputusanku sehingga cinta takkan pernah cukup untuk menjadi solusi dari hubungan kami berdua.




-------------------------------

19 Februari 2022

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang