Under The Umbrella

1.7K 114 11
                                    

APA hal yang paling kamu benci di dunia ini?" tanyaku kepadanya.

Dia, yang sedang menyikat gigi, menjawab samar. "Hujan."

Setahun yang lalu, aku pindah ke sebuah kota yang tak bisa disebut kota, namun tak pula bisa disebut desa. Tak ada mall, tak banyak kafe-kafe gaul, dan jalan rayanya tak sebesar dan tak seramai Jakarta, kota yang menjadi tempatku tumbuh.

Nenek dan Kakekku tinggal di desa ini. Sejak kecil, orang tuaku selalu disita oleh waktu kerja. Mereka berdua adalah pekerja keras. Sayang, aku adalah anak tunggal yang mendambakan kasih sayang besar.

Aku meminta agar diperbolehkan SMA di sini. Meski awalnya mama dan papaku menentang keras, namun akhirnya luluh juga setelah mendengar penjelasan dan alasanku untuk tinggal bersama Kakek dan Nenek.

Lagipula, sejak kecil, aku selalu dirawat oleh merela. Maksudku, bahkan, aku merasa lebih hangat di antara mereka, dengan pekerjaan Kakek sebagai pemilik pabrik susu, keju, yogurt, yang amat laku di pasaran, membuatnya dapat menghasilkan uang tanpa harus bekerja di luar, seperti yang orang tuaku lakukan.

Orang tuaku bukannya bekerja karena kekurangan uang. Mereka cinta pekerjaan mereka. Bahkan setelah sukses di satu bidang, mereka mencoba menggeluti bidang lain, dan begitu seterusnya.

Namun, yang tak kuketahui setibanya di rumah Kakek dan Nenek adalah rumah itu tak hanya ditinggali oleh mereka.

Julian, sepupuku, juga tinggal disana. Dia hanya satu tahun lebih tua dariku. Papinya adalah abang dari mamaku. Orang tuanya bekerja di Bogor, dan nasibnya hampir sama denganku.

Aku ingat dia. Dari 12 saudara sepupuku, aku paling ingat sama dia. Sejak kecil, keluarga kami sudah menjodoh-jodohkan kami berdua, di setiap pertemuan keluarga. Hanya kami berdua 'sepupu' yang bisa menikah di antara 12 orang cucu Kakek dan Nenek.

Yah. Meski dia tampan, tinggi, dan kriteria cowok idamanku, aku tak suka dia.

Awalnya, dia sedikit sinis dengan kedatanganku. Dia pikir, kedatanganku hanya akan mengurangi kasih sayang yang Kakek dan Nenek berikan padanya. Aku paham dengan perasaan itu. Barangkali, dia mengalami rasa kesepian yang lebih buruk daripada aku, makanya dia sampai separno itu.

Minggu pertamaku benar-benar bencana. Nenek menyuruh Julian untuk memboncengku dengan sepedanya, pergi bersama ke sekolah. Julian mematuhi itu. Sayang sekali, dia sering meninggalkanku di sekolah ketika pulangnya, alhasil, aku harus jalan kaki.

Nenek berulang kali memarahinya, dan alasan yang Julian berikan pun bermacam-macam. Dia bilang lupa lah, malu di depan teman-temannya lah, bahkan dia pernah bilang tak bisa menemukanku, sehingga dia pulang duluan.

Padahal, kelas kami bersebelahan.

Tak hanya dia yang bisa membuatku kesal. Aku juga bisa membuatnya kesal!

Pernah suatu kali, dia tak bisa mengerjakan tugasnya dalam file powerpoint. Dia mungkin memiliki penampilan yang keren, tapi sayang, dia benar-benar gaptek. Aku bahkan tertawa keras ketika mengetahui hal itu.

Dia meminta tolong kepada Nenek dan Kakek, tentu saja, tak ada yang bisa. Nenek bilang, lebih baik dia meminta tolong kepadaku. Dia sempat menolak, namun pada tengah malam, setelah aku sudah berada dalam bunga tidur, dia malah membangunkanku dan memberikan puppy eyes-nya, memintaku membantunya.

Kalian tau apa yang keluar dari mulutku saat itu?

GOBLOK!

Akhirnya, aku menghiraukan permintaan dia dan mengusirnya dari kamarku, lalu aku mengunci kamarku. Dia masih memanggil dari luar, dengan suara yang sedikit kesal. Pernahkah kalian mendengar bagaimana itu? Ketika seseorang ingin marah tapi tak bisa, karena dia ingin minta bantuan.

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang