19 Years-Old Boy

201 22 0
                                    

HARI ini adalah hari ulang tahunku yang ke 32 tahun. Aku memandangi wajahku di cermin. Aku mengenakan dress hitam yang menawan, riasan yang tipis, serta rambut yang lebih pendek. Hari ini, aku menghabiskan waktuku seharian di salon untuk merayakan malam ini. Tak dengan siapapun. Hanya aku. Makan malam di sebuah restoran yang mewah.

Aku menikmati kesendirianku. Mungkin, jika diingat-ingat, aku terakhir kali berhubungan dengan seorang lelaki adalah ketika usiaku menginjak 27 tahun. Ketika aku sedang sibuk bekerja dan menata masa depan, aku dipertermukan dengan seorang lelaki yang menawan. Andai saja hari itu kami tidak terjebak di sebuah lift, mungkin dia takkan pernah ada di kehidupanku dan mungkin, nama Kavi takkan pernah menjadi sesuatu yang istimewa di telingaku. Namun, nyatanya, lelaki yang berjarak delapan tahun denganku itu pernah mengisi hatiku. Kami pernah berada di kapal yang sama. Sayang sekali, aku menghancurkan semua rencana masa depan yang pernah kami tata bersama.

Dia adalah seorang penyanyi, meskipun masih musisi baru dan tak banyak yang mengenalinya. Dia jago sekali bermain alat musik, terutama gitar. Dia sering bernyanyi untukku, meskipun selera musik kami berbeda. Sejujurnya, kami memiliki banyak perbedaan. Namun, aku suka berada di dekatnya karena aku merasa bisa mempelajari hal baru ketika bersamanya.

"Kamu ngapain di sini?" tanyaku, suatu hari. Aku yang sedang mengeringkan rambut dan baru pulang kerja, menatap bingung ke arahnya yang tersenyum di depan pintu apartemenku.

"Gak ada alasan spesifik. Aku cuma mau lihat Kak Tessa," jawabnya, tersenyum lebar. Senyumannya dengan kedua mata yang menyipit ketika tertawa itu selalu berhasil mengusir perasaan buruk dari hatiku, entah itu amarah, kekesalan, ataupun lelah.

"Udah kubilang jangan panggil kak," ujarku, kembali duduk dan lanjut mengeringkan rambut. "Kamu gak tau rasanya jadi wanita 27 tahun."

Kavi pun mengusap kepalaku penuh sayang, tersenyum hangat. "Kamu juga gak tau rasanya jadi pria 19 tahun."

Aku memicingkan mataku. "Pria? Lebih tepatnya, cowok."

"Emangnya bedanya apa?"

"Pria itu lebih cocok dipake buat laki-laki dewasa," kekehku. "Kamu kan belom."

Kavi menaikkan sebelah alisnya. "Oh, ya? Aku baru tau kalau pria dan laki-laki itu dua hal yang beda."

"Gak tau, sih. Menurutku doang, kayanya."

Dia adalah lelaki yang spesial. Dia adalah orang yang lucu, memiliki guyonan yang menarik, pendengar yang baik, sabar, dan selalu berusaha mengerti keadaanku. Terkadang, aku yang bodoh justru memanfaatkan kesabarannya untuk bersikap egois dan kekanakan, meskipun jarak usia kami yang cukup jauh. Dia selalu berusaha mengerti keadaanku yang pekerja keras dan jarang ada untuknya. Padahal, jika situasinya dibalik, aku tak pernah mau mengerti kondisinya.

Aku merasa sempurna jika aku bersamanya. Dia memiliki segala hal yang kuinginkan. Dia adalah lelaki yang sempurna dan dia bisa membuatku merasa lengkap. Aku pun sangat mengagumi kebesaran hatinya yang terkadang justru lebih luas dibanding anak seusianya. Dia adalah lelaki yang dewasa, meskipun terkadang, aku tetap bisa melihat sifat kekanakan pada dirinya secara natural.

Namun, kehidupan kami jelas berbeda. Di saat dia masih sibuk memikirkan kuliah, aku sudah sibuk menata masa depan, tuntutan sosial, dan sebagainya. Terkadang, tekanan yang kuterima sebagai orang dewasa dengan usia yang sudah matang membuatku kehilangan kendali dan melampiaskan rasa lelahku kepada Kavi. Terkadang, aku merasa ketika dia takkan pernah bisa tau rasanya menjadi orang dewasa yang dipenuhi tuntutan sosial seperti pernikahan, pekerjaan, dan sebagainya, membuatku kesal. Oleh karena itu, benang kusut yang ada di kepalaku menjelma menjadi sebuah pistol yang menghancurkan hatinya. Hubungan kami pun menjadi dingin. Dia selalu mencoba untuk mengerti, tapi aku tetap saja mendorongnya untuk pergi. Sampai akhirnya, dia menyerah dan kami pun putus.

Aku masih mengingat masa dimana kami teleponan dan aku bisa mendengar hidungnya yang berisik, menahan tangisan. Dia sangat mencintaiku. Bahkan, sebelum kami berpisah, dia menjelaskan betapa dia menyayangiku. Namun, yang kulakukan hanyalah menyakitinya dan membuatnya bingung. Kupikir, itu bukanlah hal yang pantas untuk kuberikan kepada seseorang yang sudah melimpahkanku seluruh kasih sayangnya.

"Aku sayang banget sama kamu. Andai aku diizinkan untuk berharap, aku pengen punya akhir yang baik sama kamu, tapi aku pun tau, hubungan ini gak bisa jalan kalau cuma aku yang pertahanin," katanya dengan suara yang lirih, waktu itu.

Kami pun hilang kontak. Dia menghilang. Dia mengganti semua alamatnya. Dia mengganti semua sosial medianya, nomor teleponnya, apapun. Satu yang kusadari. Dia menghilang bagaikan ditelan bumi bukan karena dia ingin menghindariku. Namun, jika dia tak mengganti semuanya, hatinya akan terus berharap dan itu pasti akan terus menyakitinya. Terkadang, tujuan seseorang menghilang bukan karena dia ingin melupakan. Takkan ada yang bisa mengerti betapa sakitnya berharap dan menunggu. Itulah kenapa aku tak pernah masalah dengan hilang kontak setelah hubungan berakhir.

Dia sempat mengadakan konser, dua tahun setelah kami putus. Aku datang ke konsernya, semata-mata hanya untuk melihat dirinya. Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia masih tampak sama? Namun, di antara lagu ciptaannya yang dia bawakan, dia mencover salah satu lagu dari Taylor Swift yang berjudul Dear John. Dia menyanyikan lagu itu dengan gitar kesayangannya di atas panggung. Berbeda dengan lagu lainnya yang dia nyanyikan, lagu itu benar-benar membawakan gumpalan awan hitam bagi dirinya. Tak hanya baginya, tapi juga bagiku.

And I lived in your chess game,
But you changed the rules every day
Wondering which version of you I might get on the phone

Hampir keseluruhan dari lirik itu menjelaskan betapa kekanakannya diriku.

Don't you think I was too young to be messed with?
The girl in the dress cried the whole way home, I should've known

Tiap bait lirik lagu itu menyakitiku karena semuanya benar.

Don't you think nineteen is too young
To be played by your dark twisted games, when I loved you so?
I should've known

Aku tau, meskipun dia berusaha bersembunyi di balik kata ganti 'she' yang tak dia ubah, sebenarnya lagu itu menggambarkan suasana hatinya sepenuhnya. Sepulang dari konser itu, aku hanya bisa menangis semalaman.

Padahal, dia hanyalah seorang lelaki 19 tahun yang mencintaiku sepenuh hatinya, tapi aku justru membuatnya kebingungan. Dia hanyalah seorang lelaki yang berusaha untuk selalu mengerti aku, tapi aku justru membuatnya mengikuti semua peraturanku. Benar katanya, dia hidup di sebuah catur milikku dan aku justru mengubah peraturan dari permainan itu setiap saat. Dia hanya mencoba untuk selalu mengerti dan mengikuti kemauanku, tapi aku tetap menyakitinya dan tak memberikan cinta yang sebanding dengan miliknya.

Namun, daripada memperbaiki semuanya, kuharap dia menemukan perempuan yang jauh lebih baik. Perempuan yang sama sepertinya, penuh kasih sayang, tidak egois dan kekanakan sepertiku. Pada akhirnya, semua yang bisa kulakukan hanyalah mengharapkan yang terbaik untuknya.

------------------------------------

13 Sep 2022

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang