Tattoo yang Bernama Tiara

232 18 0
                                    

"SESUAI dugaan gue, lo bakalan dateng ke sini lagi setelah tiga bulan," Onad tertawa melihat kedatanganku dari pintu masuk. "How's life, bro?"

Aku hanya menghela napas, menghempaskan tubuhku ke kursi di hadapannya. "Lo bisa tebak kan, dari raut wajah gue?"

Onad tersenyum miring. "Karena tiga bulan yang lalu lo balikan lagi sama tuh cewek, berarti sekarang lo baru aja putus lagi. Bener, gak?"

Aku menaikkan alisku, membenarkan tebakannya. "Gue mau bikin tattoo lagi."

"Terus, beberapa bulan lagi, lo bakalan dateng ke sini lagi dan minta gue buat gambar tattoo nama Tiara lagi?" tanya Onad, meraih perlengkapannya. "Ngapain sih cewek labil kaya gitu masih dipertahanin?"

Aku hanya diam, tak menjawab apa-apa. Beberapa menit setelah menyiapkan kertas yang dicetak dari komputer dengan desain pilihan Onad dan mensterilisasi alat tattoo miliknya, dia pun kembali dengan semua perlengkapan yang dia butuhkan.

Onad adalah temanku. Meskipun usianya terpaut jauh dariku, tapi kami sudah sangat dekat, karena selama ini, aku selalu mempercayainya sebagai tattoo artist. Dia adalah orang pertama yang kudatangi tiap kali aku putus dari Tiara, maupun balikan dengan Tiara.

Tiara adalah mantan pacarku. Perempuan cantik berusia 22 tahun yang sudah berpacaran denganku selama dua tahun. Aku bisa jujur bahwa aku benar-benar di mabuk cinta kepadanya. Selama 23 tahun aku hidup di dunia ini, aku tak pernah mencintai perempuan seperti aku mencintainya.

Teman tongkronganku bahkan mengatakan bahwa mungkin aku sudah dipelet oleh Tiara, saking bucinnya aku kepada gadis itu. Dia cantik, anak baik, dan sangat berbeda denganku. Aku adalah laki-laki yang nakal, sangat membutuhkan dunia malam, dan berteman dengan orang-orang bejat, tapi aku tidak sampai ikutan bejat.

Aku men-tattoo perutku bagian kiri dengan namanya di bulan keenam aku berpacaran dengannya. Satu-satunya tatto yang membuat teman-temanku mencibir tiap kali mereka melihat perutku, dibandingkan tattoo lainnya.

Namun, setelah setahun kami berpacaran, dia memutuskanku dengan alasan yang tak jelas. Dia bilang dia butuh waktu untuk sendiri, dia harus fokus kepada kehidupannya dan pekerjaannya, dan dia ingin kami menjalani hidup sendiri-sendiri saja.

Aku meniban tattoo nama Tiara itu dengan desain tatto yang Onad pilihkan. Dia menggambar sebuah penghapus di perutku, meskipun terkesan aneh dan tak kreatif bagiku, tapi kata Onad, itu adalah tanda bahwa aku sudah menghapus nama Tiara dari kehidupanku.

Namun, ternyata tak semudah itu. Tiara menghubungiku lagi dua bulan setelahnya. Dia bilang bahwa dia tak bisa melakukan apapun tanpa diriku, dan dia membutuhkanku. Tak bisa kupungkiri, aku juga masih sangat mencintainya. Aku mungkin bisa bersikap normal ketika aku berkumpul dengan teman-temanku, tapi siapa yang tau jika malam tiba dan aku hanya sendirian? Isi kepalaku berkelana ke jalan tak berujung jika sudah mengingat Tiara. Tiara bilang, tak peduli apapun yang terjadi, yang dia inginkan hanyalah terus berada di sampingku.

Akhirnya, aku kembali mendatangi Onad untuk kembali men-tattoo tubuhku dan menulis nama Tiara kembali di perutku bagian kanan. Aku percaya, Tiara takkan pernah meninggalkanku lagi. Toh, dia bilang, dia tak bisa tanpaku dan dia ingin terus bersamaku.

Namun, beberapa bulan kemudian, Tiara kembali memutuskanku. Alasannya masih sama, yaitu dia butuh waktu untuk sendiri dan kehadiranku membuat konsentrasinya buyar dan kesulitan untuk fokus.

Lalu, apa yang harus kulakukan? Aku kembali mendatangi Onad untuk meniban tattooku kembali. Aku selalu membiarkannya memilih desain tattoo yang cocok untuk menutupi nama itu.

Tak sampai disana. Tiara selalu datang dan pergi sesukanya, mengacaukan perasaanku. Disaat aku sudah mulai ikhlas dan ingin membuka hati kepada perempuan baru, dia datang lagi, menggangguku. Aku mencintainya, tapi kenapa dia tega sekali membuatku bingung?

"Gue harap ini yang terakhir ya, nyet," ujar Onad mulai meniban tattooku. Ini sudah ketiga kalinya dia meniban tatto dengan nama Tiara itu. "Lo gak kasian apa sama badan lo?"

Aku hanya diam, tak menjawab apa-apa. Lebih tepatnya, tidak memiliki tenaga untuk menjawab ucapan Onad.

"Lo dengerin gue, gak?"

"Iya," kataku, menghela napas. "Gue capek, tapi gue setuju banget kalau cinta itu buta. Totally blind."

"Lo berharap apa sama perempuan labil kaya dia?" kata Onad. "Sekarang dia bilang dia sayang sama lo, tapi beberapa menit kemudian dia bilang dia butuh waktu untuk sendiri. Itu yang lo pertahanin?"

Aku terdiam lagi.

"Lo tau kan, manusia tanpa masalah itu mustahil?" tanya Onad. "Setelah masalahnya itu kelar, terus ntar dateng masalah baru? Dia mau tetep ngelakuin itu ke lo? Butuh waktu sendiri untuk fokus dan lain-lain?"

Aku tetap diam.

"Lo ngerti gak sih, Tiara yang sekarang itu bukan Tiara yang dulu mampu bikin lo jadi sebucin ini?" tanya Onad. "Dia yang sekarang itu adalah Tiara berbeda yang bahkan kita gak tau, dia masih punya perasaan sama lo atau gak. Lagian, kalau dia sayang sama lo, dia gak bakalan terus-terusan tarik ulur dan tega bikin lo sebingung ini."

"Tapi, kan gue juga yang salah nerima dia dateng lagi, Nad," kataku, lesu. "Jangan nyalahin dia sepenuhnya kaya gitu lah."

"Belain mulu," Onad mencibir. "Kalau gitu, lo gak boleh nerima dia buat dateng lagi."

"Lo bener," kataku. "Gue gak boleh nerima dia lagi dan nyakitin diri gue sendiri."

"Itu lo pinter," kata Onad. "Mulai sekarang, lupain dia. Cari perempuan yang lebih dewasa dan bersyukur sama kehadiran lo di sisinya."

Aku mengangguk. "Pasti. Thanks, Nad."

Usai meniban tattoo tersebut dan membayar tagihan, aku pun memasuki mobilku dan berkendara untuk pulang ke rumah.

Sekarang, Tiara, kamu bukan sesuatu yang harus aku lindungi lagi, tapi sesuatu yang harus aku lawan. I know, I love you. Tapi, aku gak bisa terus-terusan bego, biarin kamu masuk dan berantakin perasaanku semau kamu. Iya sih, aku yang setuju dan bukain pintu buat kamu. Tapi... ya, udah, ya. Hidup terus berjalan, kan? Anggaplah aku cuma pesinggahan dan kamu pun juga persinggahan bagiku. 'Kita' ada sebagai pelajaran. Mungkin, supaya ke depannya aku bisa lebih pinter di suatu hubungan dan gak iye-iye aja ngadepin orang yang seenaknya sama aku, kaya yang pernah kamu lakuin.

Aku pernah percaya banget dan berharap kamu sebagai orang terakhir bagi aku, tapi kamu mengacaukan semua rencana aku dan bikin semua kepercayaan aku hilang. Kamu tau? Tiap kali kamu mutusin aku dan mengacaukan perasaanku, kepercayaanku buat kamu menghilang. Emang gak instan dan sedikit demi sedikit, tapi pasti.

Udah, ya. Kali ini, kita beneran sendiri-sendiri aja, kaya yang kamu bilang.

------------------------------------

6:10 PM, 11 Nov 2021

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang