Ketua Ekskul

150 13 1
                                    

Sebagai orang yang selalu pindah dari satu kota ke kota lainnya, aku bisa mengonfirmasi bahwa semakin lama, makna sebuah pertemanan menjadi hilang bagiku. Aku yang awalnya cukup baik dalam bersosial pun sedikit demi sedikit berubah, tiba-tiba menjadi seseorang yang lebih menutup diri dan menyandang status sebagai murid berang-berang, yaitu belajar pulang.

Aku adalah anak terakhir. Jarakku dan kakakku cukup jauh sehingga aku sudah terbiasa bermain sendirian sejak kecil. Kedua orang tuaku sibuk. Pekerjaan ayahku adalah alasan kami selalu berpindah kota. Karena sejak kecil aku selalu sendirian, maka aku menjadi anak yang sangat senang berbaur di sekolah. Bagiku, lingkungan baru dan teman yang banyak menjadi alasanku merasakan kesenangan tiap pergi ke sekolah.

Namun, dari SD sampai SMA, setelah berpindah dari satu kota ke kota lainnya, kupikir sudah tak ada gunanya berteman karena ujung-ujungnya berpisah juga. Selain itu, jika aku punya teman, aku hanya akan menjadi sedih karena aku harus pindah sekolah lagi. Jika aku tak punya teman, aku tak perlu merasa sedih.

"Iyan? Kamu denger, gak?"

Lamunanku buyar ketika Gita memanggil namaku dan seluruh anggota ekskul band di ruangan ini menoleh ke arahku. Aku menoleh sekitar, lalu menggaruk kepalaku yang tak gatal.

"Kamu gak dengerin ya, daritadi?" tanyanya lagi.

Aku menghela napasku. Perempuan yang rambutnya dikuncir kuda itu bernama Gita, kakak kelasku. Aku kelas sebelas, dia kelas dua belas. Dia adalah ketua ekskul band. Peraturan di sekolah aneh ini adalah semua murid diwajibkan untuk mengikuti ekskul. Kebetulan, ekskul band adalah ekskul yang paling sepi peminatnya sehingga aku iseng saja untuk mendaftar di sana. Tak kusangka, ketuanya secerewet ini dan akan ada event ke depannya.

"Ya?"

"Aku bilang, festival itu kan bulan depan, kamu keberatan gak kalau harus jadi vokalis band kita?"

Aku menunjuk diriku sendiri dengan ekspresi bingung yang aneh. "Aku?"

Gita mengangguk. "Keberatan?"

"Kenapa aku? Kan posisiku di sini gitaris," kataku, mencoba membela diri. Vokalis? Aku saja tak bisa bernyanyi. Seenaknya saja dia menunjukku sebagai vokalis.

"Yah, soalnya di antara kita gak ada yang bisa nyanyi, sih. Aku yakin, kamu pasti bisa kalau latihan terus. Waktu kita masih lama, kok, tiga bulan lagi," balas Gita, percaya diri. "Kalau kita menang di festival ini, ekskul band gak bakalan jadi dibubarin."

Cih. Memang sudah paling betul dibubarkan karena selain sepi peminat, ketuanya seenaknya begini. Pantas saja tak ada yang mau masuk. Lagipula, kenapa harus aku? Aku tau, wajahku melebihi ketampanan Ariel Noah, tapi sepertinya dia tak bisa menunjukku seenaknya begitu. Mentang-mentang aku ini anak baru, dia bisa seenaknya?!

Lagipula, aku punya satu kekurangan. Aku adalah tipikal orang yang demam panggung. Parah sekali. Aku bisa tiba-tiba menjadi gagap parah ketika aku di panggung. Kupikir, ini adalah genetik karena ayahku juga tipikal yang demam panggung, aku pernah melihatnya sendiri ketika pesta pernikahan tanteku, saat ayahku malah gagap saat menyanyikan lagu Noah. Entah kenapa Aziz Gagap mendadak menggantikan Ariel menjadi vokalis Noah saat itu.

Intinya, aku sangat tidak bisa melakukan apa yang Gita minta. Lebih baik aku atraksi di depan panggung daripada harus berbicara. Itu sama saja dengan bunuh diri dan merusak harga diri sendiri karena demam panggungku sangat parah.

Namun, tiba-tiba aku teringat sesuatu.

Baiklah, tenang. Bukankah biasanya aku selalu pindah sekolah sekali enam bulan? Dalam kata lain, sekali satu semester. Ini sudah masuk tiga bulan sejak aku bersekolah di sini dan jika festival itu tiga bulan lagi, bayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang