Lamaran

153 20 0
                                    

HARI ini, hari yang bahagia bagiku. Selain gaun putih yang menambah ayu penampilanku di depan cermin, aku juga bisa melihat betapa bahagia sekaligus terharu wajah ayah dan ibu. Hari ini, aku resmi akan menyandang nama belakang dari pria yang kucintai dan bersedia menjadi teman hidupku, yaitu Radit.

"Anak ayah cantik banget," puji ayah, baru saja memasuki ruangan. Aku menoleh, kemudian melemparkan senyuman manis ke arah lelaki paruh baya tersebut. "Semuanya udah siap. Ciena udah siap, kan? Gugup, gak?"

Aku menggeleng, masih tersenyum ramah. Sepertinya, daripada aku, ayah tampak lebih gugup. Meskipun ayah berusaha keras menutupi kegugupannya, aku terlalu mengenal ayah. Aku tau, ayah pasti gugup saat ini, mengingat ini adalah hari dimana dia melepaskan anak sulungnya menjadi milik pria lain seutuhnya.

"Oke, udah siap?" tanya ayah, memastikan sekali lagi.

Aku yang menggandeng tangan ayah pun mengangguk yakin. Sepersekian menit, pintu di hadapan kami terbuka. Aku bisa melihat ada banyak pasang mata dari para tamu undangan yang menyorot ke arah kami berdua. Ketika aku menatap lurus, aku bisa melihat Radit dengan jas putih sambil tersenyum manis, menatapku penuh haru. Aku dan ayah pun berjalan lurus dengan pelan menuju Radit. Aku menyapukan pandanganku, menatap kedua adikku yang tersenyum manis ke arahku, teman-teman masa SMA-ku, teman-teman masa kuliahku, teman-teman kerjaku, mereka semua tersenyum manis ke arahku.

Sampai akhirnya kami tiba di altar, ayah pun mencium punggung tanganku, sebelum pria itu membiarkan Radit meraih tanganku. Ayah pun berdiri menepi, tersenyum nanar ke arahku. Kedua matanya mengembun, tampak secercah kebahagiaan sekaligus kesedihan di wajah itu. Tatapan yang tulus dan selalu menghantarkan semburat kehangatan, tak pernah berbeda sejak delapan belas tahun yang lalu.

Acara berjalan dengan lancar. Setelah bertukar janji dan cincin, serta rangkaian acara lainnya, tibalah acara dimana orang-orang terdekat dari mempelai harus menyampaikan beberapa pesan di depan para tamu. Mulai dari orang tuaku, orang tua Radit, teman dekatku, teman dekat Radit, dan lainnya.

Namun, ayah memilih untuk menjadi orang yang menyampaikan pesan di urutan terakhir. Aku sendiri pun tak tau alasannya.

"Sebelumnya, saya mau berterimakasih kepada semua yang udah hadir hari ini di acara pernikahan anak saya. Semua orang yang mau hadir dan memeriahkan acara, memberikan doa baik untuk pernikahan anak saya," Ayah memberi jeda. "Siena, anak saya yang sekarang udah berusia 26 tahun, udah menemukan pria terbaik baginya, pria terbaik juga bagi kami, sebagai orang tuanya."

Ayah berhenti sejenak. Entah kenapa, suasana yang semula ceria karena deretan orang yang memberikan pidato adalah orang-orang humoris seperti sahabatku, sahabat Radit, ibuku, dan orang tua Radit, lantas menjadi sedikit sendu ketika ayah yang berpidato. Ayah pun memasang raut wajah yang tampak gugup, meskipun bibirnya tersenyum, tapi entah kenapa, aku bisa melihat ada kebahagiaan sekaligus kesedihan di wajahnya.

"Tepat delapan belas tahun yang lalu, saya mengencani seorang wanita yang memiliki satu anak perempuan, waktu itu. Saya melamarnya, setahun kemudian. Namun, setelah saya mendapatkan jawaban 'ya' dari Lauren untuk menjadi pasangan hidup saya, saya juga melamar anak perempuannya pada saat itu untuk menjadi anak perempuan saya," ujar ayah, terkekeh dengan air mata yang mulai mengalir di wajahnya. "Saya berlutut dan menyodorkannya cincin berbentuk Minnie Mouse karena itu adalah karakter favoritnya, waktu itu. Anak perempuan itu adalah Siena, perempuan kecil yang waktu itu masih berusia delapan tahun. Dia menerima lamaran saya untuk menjadi ayahnya waktu itu."

Aku tersenyum, mengusap air mataku. Ayah menatapku dengan tatapan tulus, tertawa kecil masih dengan tangisannya.

"Lalu, sekarang, anak perempuan saya yang selamanya tetap menjadi gadis kecil bagi saya, menikahi seorang pria pilihannya. I can't feel better than this. Jadi, Radit, kamu tau kamu bakalan jadi apa kalau nyakitin hati perempuan kesayangan ayah."

Gemuruh dari tepuk tangan dan kekehan terdengar setelahnya. Aku pun ikut bertepuk tangan, benar-benar bersyukur memiliki pria yang dengan bangga kusebut sebagai ayahku di dalam kehidupanku. Pria yang waktu itu selalu mendatangi rumahku dan selalu mengajakku keluar membeli es krim, menonton film bersama, dan membuat ibuku jadi wanita paling bahagia semasa hidupnya.

Pria yang berdansa bersamaku dengan alunan musik Love of a Lifetime oleh Firehouse pada hari pernikahannya dengan ibu, delapan belas tahun yang lalu. Pria yang membuat kehidupanku menjadi lebih bahagia, lebih lengkap, dan lebih layak. Entah bagaimana kehidupanku tanpa ayah di dalamnya.

Setelah acara pidato ini berakhir, aku dan ayah pun berdansa bersama, diiringi lagu yang sama seperti delapan belas tahun lalu menjadi musik di pernikahan ayah dan ibu. Pada waktu itu, kami berdansa dan tertawa bersama. Kali ini, kami berdansa dan tertawa bersama, meskipun dengan kedua mata yang mengembun karena terharu.

Entahlah, kupikir… mungkin, aku memang sempat dilahirkan oleh seorang ibu tunggal yang ditinggalkan suaminya ketika mengandung seorang bayi di perutnya. Namun, entah bagaimana, Tuhan mengirimkan malaikat untuk ibu dan untukku, setelah itu. Malaikat yang memberikanku lamaran terbaik di usiaku yang masih sangat muda, sampai kini tanggung jawabnya selesai dalam menjagaku. Sampai kapanpun, ayah akan selalu menjadi malaikat untukku.

-----------------------------------------------

24 Des 2022

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang