Hutan Terlarang

375 20 0
                                    

DILARANG melintasi pagar ini.

Tulisan itu berhasil menarik perhatianku dan membuatku berhenti melangkah. Aku hanya menatap tulisan itu dengan wajah datar, lalu kembali berjalan dengan mata yang sayu.

Aku mengantuk sekali. Aku tak tidur semalaman. Aku tak merasa nyaman di desa ini. Kotaku jauh lebih nyaman. Desa ini terlalu dingin dan berkabut, tak seperti kotaku yang hangat dan modern. Aku tak mengerti kenapa kedua orang tuaku harus merelakan rumah dan pekerjaan mereka di kota besar hanya demi menghabiskan waktu bersama nenek.

Nenek memang sudah sakit sejak lama, tapi kali ini, kondisinya lebih memprihatinkan. Aku tak mengerti, seharusnya kedua orang tuaku membawa Nenek ke kota dan mengobatinya di sana, apalagi tenaga medis di sana lebih bisa menjamin kesembuhan nenek. Namun, ibu dan ayah lebih memilih untuk pindah ke desa ini. Aku pun harus ikut pindah. Kuakui, desa ini tak sekampung itu. Gedung sekolahnya masih bagus, perumahan di sini pun bagus dan besar, seperti di perkotaan. Hanya saja, aku tak menyukai kepindahan kami. Itu saja. Aku kesal karena hal itu.

Aku menghentikan langkahku ketika aku sampai di sebuah danau yang luas. Hutan ini memang bukanlah hutan yang dipenuhi semak belukar. Anehnya, hutan ini rapi dan di antara danau itu, ada beberapa pohon cemara yang dikelilingi kabut. Benar-benar indah. Aku terpana dibuatnya. Aku takkan menemukan yang semacam ini di kota besar.

Belum puas aku memandangi keindahan yang ada di depan mataku ini, aku pun mendengar senandung. Senandung dari seorang lelaki. Aku menoleh kanan dan kiri, mencari sumber suara sampai mataku menjatuhkan pandangan ke sudut danau. Ada seorang lelaki tengah berenang dengan santai di sana, hanya mengenakan celana pendek selutut berwarna abu-abu.

Sepersekian detik, dia yang semula menutup matanya dan menikmati air danau yang bersih dan sejuk, dia pun membuka matanya dan menyadari keberadaanku. Lelaki itu pun bangkit dari posisinya, lalu berjalan ke arahku.

Aku sempat takut. Bagaimana jika dia hanyalah orang aneh yang bisa saja melakukan hal buruk kepadaku? Lagipula, bukankah dilarang melintas sampai ke sini? Kenapa dia malah berani berenang di danau itu?

"Nama kamu?"

Dia berdiri tepat di hadapanku. Tangannya menyapukan rambut basahnya ke belakang agar rambut yang sedikit panjang itu tidak mengganggu ke matanya.

"Dinda."

Dia mengangguk mengerti, lalu mengulurkan tangannya yang masih basah. "Dewa."

Aku tak mengerti apa yang terjadi pada senja itu, tapi hari itu adalah hari dimana aku mengenal seorang laki-laki yang bernama Dewa. Lelaki jangkung yang memiliki kulit sawo matang dan senyuman yang manis itu menjadi temanku sejak itu. Rumah kami pun ternyata tak jauh sehingga kami kerap bertemu dan menghabiskan waktu bersama.

"Kenapa kamu ngelewatin pager? Kamu tau kan, di sana ada tulisan kalau dilarang masuk ke hutan ini?" tanya Dewa, suatu hari.

"Entahlah. Gak ada alasan spesifik. Aku mau masuk aja." Aku menaikkan bahuku.

"Hutan itu terlarang. Warga setempat percaya kalau kamu masuk ke dalem hutan, kamu bakalan sial mulu," terang dewa.

"Oh, ya?"

Dewa mengangguk, lalu menunjuk danau tersebut. "Setelah danau itu, kalau kita terus jalan ke depan, kita bakalan berada di desa tetangga yang sebenernya, kita belum punya akses ke desa itu melalui jalan biasa."

Aku menaikkan sebelah alisku. "Beneran?"

Dia mengangguk. "Gak ada yang tau soal itu karena gak ada yang berani masuk ke hutan ini. Cuma aku yang tau. Oh, ya, sama kamu."

Aku terdiam sejenak. "Kalau kamu sendiri? Kenapa kamu ngelewatin pager? Kamu bahkan berenang di danau itu."

"Entahlah," Dia memberikan jawaban yang sama denganku. "Mungkin… karena namaku Dewa?"

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang